Di Johannesburg kami tinggal di daerah yang bernama Sandton City. Daerah tersebut adalah daerah elite dengan kumpulan hotel dan pusat perbelanjaan di sekitarnya. Keamanan di daerah Sandton juga cukup terjamin dibandingkan dengan daerah yang lainnya. Tempat yang unik di Sandton City adalah Nelson Mandela Square. Di tempat yang dinamakan pahlawan anti apartheid yang juga presiden Afsel ini, terdapat banyak restoran dan dikelilingi oleh perhotelan dan pusat perbelanjaan. Tempatnya tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk makan di restoran yang ada.
Salah satu restoran yang terkenal adalah Butcher Shop. Sesuai dengan namanya, restoran ini menjual makanan dengan daging sebagai menu utamanya. Bahkan restoran ini menjual daging mentah untuk dibawa oleh para turis yang datang. Saya, dan beberapa kru sepakat untuk makan di restoran ini. Sayangnya karena "kurang" halal, saya tidak mencoba untuk makan daging. Saya merasa lebih baik memesan ikan yang di grill/ bakar. Dengan harga rata-rata sekitar US$ 15-20/porsi (cukup terjangkau untuk biaya hidup rata-rata di Afsel) makanan yang disediakan cukup mewah dan sangat enak.
Terbang ke Cape Town
Hari ketiga kami terbang ke Cape Town. Berbeda dengan Johannesburg yang mempunyai ketinggian 5500 kaki di atas permukaan laut, maka Cape Town adalah kota pantai yang tingginya hanya beberapa kaki di atas permukaan laut. Sebagai perbandingan, kota Bandung mempunyai elevasi/ ketinggian sekitar 2500 kaki di atas permukaan laut.
Masalah dengan kota dengan elevasi yang tinggi, adalah kinerja pesawat yang berkurang karena berkurangnya kerapatan udara. Mesin pesawat terutama mesin piston, butuh udara yang mengalir masuk ke mesin untuk bisa bekerja dengan optimal. Sayap pesawat juga butuh aliran udara untuk bisa menahan beban berat pesawat. Maka untuk terbang dari bandar udara dengan elevasi tinggi di butuhkan landasan yang lebih panjang untuk mendapatkan kinerja yang sama dengan kinerja pesawat di elevasi yang sama dengan permukaan laut.
Di bandar udara Johannesburg, kami pergi ke terminal internasional karena penerbangan kami sebenarnya adalah penerbangan transit internasional yang bertujuan ke Cape Town dan melewati Johannesburg. Setelah bertukar tempat dengan awak pesawat yang baru datang, kami memulai penerbangan ini. Jaraknya sekitar 1 jam 45 menit penerbangan dari Johannesburg. Patut diketahui juga bandar udara di Johannesburg ini juga merupakan bandar udara yang cukup sibuk.
Salah satu restoran yang terkenal adalah Butcher Shop. Sesuai dengan namanya, restoran ini menjual makanan dengan daging sebagai menu utamanya. Bahkan restoran ini menjual daging mentah untuk dibawa oleh para turis yang datang. Saya, dan beberapa kru sepakat untuk makan di restoran ini. Sayangnya karena "kurang" halal, saya tidak mencoba untuk makan daging. Saya merasa lebih baik memesan ikan yang di grill/ bakar. Dengan harga rata-rata sekitar US$ 15-20/porsi (cukup terjangkau untuk biaya hidup rata-rata di Afsel) makanan yang disediakan cukup mewah dan sangat enak.
Terbang ke Cape Town
Hari ketiga kami terbang ke Cape Town. Berbeda dengan Johannesburg yang mempunyai ketinggian 5500 kaki di atas permukaan laut, maka Cape Town adalah kota pantai yang tingginya hanya beberapa kaki di atas permukaan laut. Sebagai perbandingan, kota Bandung mempunyai elevasi/ ketinggian sekitar 2500 kaki di atas permukaan laut.
Masalah dengan kota dengan elevasi yang tinggi, adalah kinerja pesawat yang berkurang karena berkurangnya kerapatan udara. Mesin pesawat terutama mesin piston, butuh udara yang mengalir masuk ke mesin untuk bisa bekerja dengan optimal. Sayap pesawat juga butuh aliran udara untuk bisa menahan beban berat pesawat. Maka untuk terbang dari bandar udara dengan elevasi tinggi di butuhkan landasan yang lebih panjang untuk mendapatkan kinerja yang sama dengan kinerja pesawat di elevasi yang sama dengan permukaan laut.
Di bandar udara Johannesburg, kami pergi ke terminal internasional karena penerbangan kami sebenarnya adalah penerbangan transit internasional yang bertujuan ke Cape Town dan melewati Johannesburg. Setelah bertukar tempat dengan awak pesawat yang baru datang, kami memulai penerbangan ini. Jaraknya sekitar 1 jam 45 menit penerbangan dari Johannesburg. Patut diketahui juga bandar udara di Johannesburg ini juga merupakan bandar udara yang cukup sibuk.
Kami terbang dari landasan 03L (03 Left), yaitu landasan yang menghadap ke arah 030° (000° adalah utara, 090° adalah timur). Ada dua landasan di bandar udara ini, jadi yang satu disebut 03 Left, dan yang satunya 03 Right. Saat ini seperti biasanya di sini, landasan 03R dipakai untuk mendarat, dan 03L dipakai untuk lepas landas.
Setelah lepas landas, kami diberi clearance untuk climb ke 8000 kaki,
Setelah lepas landas, kami diberi clearance untuk climb ke 8000 kaki,
Johannesburg Departure: ilmuterbang 582 climb 8000 feet.
ilmuterbang 582: climb 8000 feet, ilmuterbang 582
Mendekati 7000 kaki, saya menyadari ada pesawat yang turun ke ketinggian 9000 kaki. Jadi kami akan berhenti naik di 8000 kaki dan pesawat tersebut akan berhenti turun di 9000 kaki untuk menghindari tabrakan. Setelah kami melewati pesawat tersebut, maka kami akan melanjutkan naik ke ketinggian jelajah 41000 kaki dan pesawat tersebut turun dari 9000 kaki untuk mendarat di Joburg.
Ternyata karena pesawat kami relatif ringan, maka pesawat mendaki dengan cepat yaitu 3000 kaki permenit, lebih cepat dari biasanya yang sekitar 1500-2000 kaki per menit. Sedangkan pesawat lain yang sedang turun itu juga turun dengan cepat ke 9000 kaki.
TCAS event
Saya mencoba mengurangi rate of climb (kecepatan mendaki) menjadi 1500 kaki per menit. TERLAMBAT!!, alat TCAS (Traffic Collision and Avoidance System) yang mendeteksi jika ada pesawat mendekati dengan cepat, mengeluarkan peringatan (TA, Traffic Advisory) dengan mengeluarkan suara " TRAFFIC TRAFFIC!!". Biarpun kami berhenti menanjak di 8000 kaki dan pesawat tersebut berhenti turun di 9000 kaki, tapi karena kami saling mendekati dengan kecepatan yang tinggi (high closure rate), maka TCAS keburu memberi peringatan karena mendeteksi akan ada tabrakan dalam waktu sekitar 30 detik jika tidak ada reaksi dari penerbang untuk menggerakkan pesawat menjauh dari pesawt lain (istilahnya intruder).
Sebenarnya hal ini normal, tapi jika seandainya kami mendaki dengan lebih cepat lagi, dan pesawat yang lain turun dengan lebih cepat juga, maka akan ada RA (Resolution Advisory) yang akan menyuruh kami untuk turun "TRAFFIC TRAFFIC DESCEND DESCEND !!" dan di pesawat lainnya akan ada perintah untuk mendaki, "TRAFFIC TRAFFIC CLIMB CLIMB !!" untuk mencegah tabrakan.
Alat TCAS ini harus dipatuhi, biarpun berlawanan dengan perintah ATC. Salah satu akibat tidak mematuhi perintah alat TCAS ini adalah kecelakaan antara sebuah pesawat Rusia dan pesawat kargo DHL. ATC melakukan kesalahan dalam memberikan perintah sehingga kedua pesawat saling mendekat. TCAS di kedua pesawat memberikan peringatan tapi salah satu pesawat tidak mengindahkan peringatan itu sehingga terjadilah kecelakaan.
2 tahun kemudian, seorang Rusia yang istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan tersebut, membunuh petugas ATC yang berdinas pada saat kecelakaan.
Cerita tentang kecelakaan tersebut dapat dilihat di:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bashkirian_Airlines_Flight_2937
Mendarat di Cape Town
Sebelum turun dari ketinggian jelajah, kami memanggil Apron Control di frekuensi 122.65 Mhz untuk melaporkan perkiraan kedatangan, jumlah penumpang, dan meminta nomor gate untuk tempat parkir kami. Apron Control memberi tahu lokasi parkir kami di Gate nomor 5. Ini adalah prosedur khas di Afsel.
Biasanya setelah mendarat, penerbang akan dipindah dari frekuensi Tower ke frekuensi Ground dan mendapatkan informasi lokasi parkir di frekuensi Ground. Tapi di Afsel, setelah penerbang pindah ke frekuensi Ground, malah petugas ATC di frekuensi Ground akan menanyakan lokasi parkir kepada penerbang dan akan memberikan rute ke tempat parkir berdasarkan informasi dari penerbang.
Matahari mulai terbenam saat kami mendekati kota Cape Town. Saya segera berniat shalat jama' karena tidak memungkinkan untuk shalat Maghrib saat itu.
Pemandangan pegunungan di sekitar kota Cape Town cukup indah, terutama Table Mountain yang berdiri dengan tegak.
Kami mendarat di landasan 19 (menghadap ke 190°) dan setelah mendarat menuju tempat parkir nomor 5.
Alat TCAS ini harus dipatuhi, biarpun berlawanan dengan perintah ATC. Salah satu akibat tidak mematuhi perintah alat TCAS ini adalah kecelakaan antara sebuah pesawat Rusia dan pesawat kargo DHL. ATC melakukan kesalahan dalam memberikan perintah sehingga kedua pesawat saling mendekat. TCAS di kedua pesawat memberikan peringatan tapi salah satu pesawat tidak mengindahkan peringatan itu sehingga terjadilah kecelakaan.
2 tahun kemudian, seorang Rusia yang istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan tersebut, membunuh petugas ATC yang berdinas pada saat kecelakaan.
Cerita tentang kecelakaan tersebut dapat dilihat di:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bashkirian_Airlines_Flight_2937
Mendarat di Cape Town
Sebelum turun dari ketinggian jelajah, kami memanggil Apron Control di frekuensi 122.65 Mhz untuk melaporkan perkiraan kedatangan, jumlah penumpang, dan meminta nomor gate untuk tempat parkir kami. Apron Control memberi tahu lokasi parkir kami di Gate nomor 5. Ini adalah prosedur khas di Afsel.
Biasanya setelah mendarat, penerbang akan dipindah dari frekuensi Tower ke frekuensi Ground dan mendapatkan informasi lokasi parkir di frekuensi Ground. Tapi di Afsel, setelah penerbang pindah ke frekuensi Ground, malah petugas ATC di frekuensi Ground akan menanyakan lokasi parkir kepada penerbang dan akan memberikan rute ke tempat parkir berdasarkan informasi dari penerbang.
Matahari mulai terbenam saat kami mendekati kota Cape Town. Saya segera berniat shalat jama' karena tidak memungkinkan untuk shalat Maghrib saat itu.
Pemandangan pegunungan di sekitar kota Cape Town cukup indah, terutama Table Mountain yang berdiri dengan tegak.
Kami mendarat di landasan 19 (menghadap ke 190°) dan setelah mendarat menuju tempat parkir nomor 5.