Ke Johannesburg
Pada waktu check in di komputer di Flight Operation,-sama dengan mesin absensi-, saya melihat nama kapten yang terpampang di layar monitor yang akan terbang bersama saya ke Johannesburg, cihuuuy... capt. Chandra.. Orang Indonesia juga. Selama 5 tahun bekerja di perusahaan ini, saya baru merasakan 2 kali terbang sama-sama orang Indonesia. Ini yang ketiga kalinya dan kedua kali bersama kapten Chandra.
 
Kenapa cihuy, karena saya tidak perlu memakai bahasa Inggris selain standard call out dan briefing. Jadi tidak susah menterjemahkan ke bahasa Inggris. Apalagi perjalanan kali ini memakan waktu 8 jam 10 menit. Jadi di kokpit bisa penuh dengan cerita dan bercanda dalam bahasa Indonesia, eh maksud saya bahasa Jakarta. Bertemu dengan kapten Chandra, lalu kami membahas flight plan, cuaca, NOTAM, kondisi pesawat. Setelah kami memutuskan berapa banyak bahan bakar yang akan dibawa, kami pergi ke pesawat. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Erik, pramugara campuran Betawi Manado yang selalu tersenyum, dan Feisal, First Officer asal Indonesia juga. Wah, hari ini tidak terasa berada di negeri orang..
 
Penerbangan dimulai dengan ritual seperti biasa, pre-flight, briefing, passenger announce, purser minta ijin tutup pintu dan kemudian pushback (di dorong mundur oleh truk pendorong). Setelah pushback, kami taxi ke landasan. Before take off checklist sudah kami selesaikan sebelum memasuki landasan, termasuk mematikan kedua Pack (alat pengatur tekanan dan suhu udara) sehingga kami terbang dengan kondisi Packs Off, untuk menghemat sedikit bahan bakar dan mendapat sedikit tambahan tenaga buat take off. Ini adalah kebijakan yang memberikan kontribusi pada penghematan.
 
Setelah lepas landas, kedua pack mulai kami nyalakan kembali di 1000 kaki, dan juga menarik flaps ke posisi 0, dan mulai berakselerasi ke kecepatan normal. Cuaca sangat indah, suhu 26° C dan tidak ada guncangan berarti sepanjang perjalanan. 
Memasuki Afrika
Memasuki Afrika dari arah Timur Laut, FIR (Flight Information Region) pertama yang kami masuki adalah Mogadishu di Somalia.  Kami memanggil Mogadishu di frekuensi  HF 13288 Hz. Ada yang unik dari terbang di atas benua Afrika ini. Di waktu yang lampau (sampai sekarang), Afrika adalah benua yang terdiri dari banyak negara yang kurang maju, saling berperang baik antar negara maupun antar suku dan punya reputasi buruk dalam pelayanan. Hal ini mempengaruhi pelayanan lalu lintas udaranya juga. Karena itu ada prosedur khusus yang dikenal dengan Inflight Broadcast Procedure. Jadi disamping berkomunikasi dengan ATC setempat, prosedur ini mengharuskan penerbang untuk menyiarkan data penerbangannya di frekuensi 126.9 Mhz.Hal ini dimaksudkan agar pesawat lain yang terbang di jalur yang sama dan di ketinggian yang sama akan waspada dengan kemungkinan terjadinya tabrakan.
 
Oleh karena itu kami mulai menyiarkan posisi kami di frekuensi tersebut, di radio VHF nomor 2 (ada 3 radio VHF, dan 2 radio HF di pesawat kami). Sebagai tambahan radio no 3 yang biasanya dipakai untuk komunikasi data, kali ini kami pakai untuk memantau 121.5 Mhz, yang merupakan frekuensi untuk keadaan darurat.

Berikut transmisi radio yang kami lakukan:
All Stations, this is ilmuterbang 582,
Flight level 360,
South West bound from Majapahit to Johannesburg,
position VEDET 0648,
estimating position  EGTUL 0725,
ilmuterbang 582,
Flight Level 360,
South West Bound

Artinya, perhatian semua stasiun, ini adalah ilmuterbang penerbangan 582, pada ketinggian 36000 kaki, mengarah ke Barat Daya, dari Majapahit ke Johannesburg, melewati posisi VEDET (sebuah titik perbatasan antara Yemen dengan Somalia) pada pukul 0648, dan perkiraan terbang di atas posisi EGTUL pada pukul 0725, ilmuterbang 582, 36000 kaki, ke arah Barat Daya.
 
Kapankah kita harus melakukan broadcast tersebut, berikut adalah yang tertulis di Jeppesen Text bagian En route:
  1. 10 menit sebelum memasuki area, atau jika lepas landas dari area tersebut, maka harus menyiarkan informasi ini secepat mungkin.
  2. 10 menit sebelum melewati sebuah reporting point (dalam contoh di atas: Vedet dan Egtul) atau 10 menit sebelum memasuki sebuah jalur penerbangan (ATS route). Jika jarak dua buah titik sangat panjang, maka penerbang akan menyiarkan posisinya setiap 20 menit.
  3. 2 atau 5 menit sebelum mengubah ketinggian.
  4. Pada waktu mengubah ketinggian.
  5. Kapan saja penerbang merasa perlu untuk melakukan broadcast.

Mencegah tabrakan

Apa yang terjadi jika seorang pilot mendengar ada broadcast dan pesawat yang melakukan broadcast tersebut berlawanan arah atau bersinggungan arah dengan pesawatnya juga mempunyai ketinggian yang sama? Dia harus melakukan hal di bawah ini:
  1. Jika tidak ada pilihan manuver lain, maka pilot tersebut harus menurunkan ketinggian pesawat sebanyak 500 kaki.
  2. Menyalakan semua lampu pesawat sehingga pesawat lain dapat melihat dengan jelas jika memungkinkan.
  3. Secepat mungkin menjawab broadcast dari pesawat yang lain, dan memberi tahu reaksi yang dilakukan.
  4. Memberi tahu ATC keputusan yang sudah dilakukan.
  5. Jika masalah sudah selesai maka pesawat harus dikembalikan di ketinggian dan rute yang seharusnya.

Masalah lain dengan komunikasi adalah banyaknya penerbangan yang tidak menggunakan bahasa Inggris dan pemakaian frekuensi yang sembarangan. Banyak penerbangan kargo yang menggunakan jasa penerbang dan pesawat dari Rusia yang tidak fasih berbahasa Inggris dan juga banyak penerbangan lokal yang menggunakan bahasa Perancis karena sebagian besar benua Afrika pernah dijajah oleh bangsa Perancis. Bahkan frekuensi 121.5 Mhz, yang merupakan frekuensi darurat banyak digunakan secara tidak bertanggungg jawab oleh orang-orang di Afrika. 

ETOPS
Selain masalah dengan komunikasi yang buruk dan pelayanan ATC, terbang di Afrika juga perlu perhatian khusus, karena tidak semua bandar udara aman dijadikan alternatif jika terjadi keadaan darurat. Bandar udara utama juga berada saling berjauhan satu sama lain. Ini menimbulkan masalah dengan legalitas penerbangan.
 
Untuk lulus sertifikasi, pesawat komersial dengan 2 mesin harus sanggup untuk terbang selama 1 jam dengan satu mesin mati. Maksudnya, jika salah satu mesin mati, maka pesawat mempunyai kelayakan terbang selama 1 jam untuk mencapai bandar udara terdekat. Peraturan tersebut tidak berlaku untuk pesawat dengan 3 mesin atau lebih.
 
Pada zaman modern ini, hampir semua pesawat dengan 2 mesin memiliki kemampuan untuk terbang lebih dari 1 jam dengan salah satu mesin mati. Tapi kinerja mesin ini harus dibuktikan dengan program yang dinamakan ETOPS (Extended Twin Operations) untuk bisa terbang secara legal. ETOPS ini membutuhkan sertifikasi bagi pesawat, program pemeliharaan dan penerbangnya. Silahkan baca artikel tentang ETOPS di website ini. Anda dapat mencarinya dengan mudah dengan cara memasukkan kata ETOPS di kolom Cari di kanan atas.
 
Kami memiliki sertifikasi untuk melakukan ETOPS selama lebih dari 2 jam. Jadi terbang di atas benua Afrika bukanlah masalah. Penerbangan kami hari ini memiliki 2 segmen ETOPS. Entry point (titik awal) Segmen pertama adalah pada saat kami berjarak sekitar 400 nm (nautical mile) dari Sanaa, Yemen. Pada saat itu selama 50 menit, bandara terdekat adalah Sanaa dan Daressalaam di Tanzania yang berjarak kurang lebih 1.5 jam terbang.
 
10 menit sebelum memasuki ETOPS entry point, kami memasukkan kota Sanaa dan Daressalaam di ACARS (Aircraft Communications Addressing and Reporting System) yang berkomunikasi dengan satelit untuk mendapatkan berita cuaca terbaru di kedua kota tersebut.
 
Kami harus mempertimbangkan diversion (mengubah rute) atau harus membatalkan penerbangan ETOPS tersebut jika:
  1. Jika cuaca tidak memungkinkan untuk mendarat di Sanaa atau Daressalaam jika terjadi keadaan darurat atau bandar udara yang dimaksud ditutup karena berbagai hal
  2. Terjadi masalah dengan sistem pesawat yang memerlukan tambahan bahan bakar.
  3. Jika terjadi masalah kesehatan dengan pilot (pilot incapacitation)

Pilihan dalam kondisi tersebut kami harus mencari rute lain, mencari bandar udara alternatif lain atau mendarat di sebuah bandar udara untuk menambah bahan bakar jika rute alternatif yang dipilih membutuhkan tambahan bahan bakar.

Alhamdulillah, kedua bandar udara tersebut mempunyai cuaca yang baik dan tidak ada gangguan operasional, sehingga kami dapat meneruskan penerbangan. Memasuki segmen ETOPS yang keduapun tidak ada masalah. Bandar udara yang terdekat pada segmen ETOPS yang kedua ini adalah Johannesburg, kota tujuan kami. Jadi jika terjadi masalah dengan mesin maka kami akan tetap meneruskan penerbangan ke Johannesburg.

Mendarat di Joburg 

Akhirnya kami berkomunikasi dengan ATC Johannesburg. Di seluruh benua Afrika, ATC di Afrika Selatan adalah yang paling baik pelayanannya. Tidak ada keharusan untuk berkomunikasi di frekuensi 126.9 Mhz.
 
Sebelumnya kami mendapat berita cuaca terbaru di frekuensi ATIS (AUTOMATIC TERMINAL INFORMATION SERVICE) 126.2 Mhz. ATIS adalah mesin pemancar keadaan cuaca.

Johannesburg Information Victor, Weather report at 1220, Runway in use runway 03, departure runway 03 Left, arrival runway 03 right, surface wind 330 degrees 6 knots, visibility 8 kilometer, cloud few 3000 feet, temperature 26°, dew point 17°, altimeter 1021 nosig

Bagaimana cara mengerti ATIS ini silahkan baca di artikel tentang ATIS.
 
Saya sebagai PF (Pilot Flying, yang menerbangkan pesawat) mulai melakukan briefing untuk prosedur mendarat di landasan 03 Right. Kapten mendengarkan briefing saya dengan seksama dan menambahkan beberapa hal yang dirasa perlu.
 
Sekitar 130 nm (nautical mile) kami mulai minta turun dari ketinggian jelajah 38000 kaki. Saya lupa memberitahu bahwa dalam perjalanan tadi kami naik dari ketinggian 36000 kaki ke 38000 kaki untuk menghemat bahan bakar.
 
ilmuterbang 582: Johannesburg ilmuterbang 582 request descend
Johannesburg: (dengan aksennya yang kental seperti orang Inggris) ilmuterbang 582, descend flight level two hundred
ilmuterbang 582: descend flight level two zero zero, ilmuterbang 582
 
Lalu kami turun ke ketinggian 20 ribu kaki atau FL 200. Pembacaan FL two zero zero menjadi FL two hundred hanya dilakukan oleh Inggris, beberapa negara Eropa dan Afrika selatan. Sedangkan pembacaan baku dari ICAO (International Civil Aviation Organization) adalah Flight Level Two Zero Zero.
 
Lalu selanjutnya kami dipandu oleh ATC dengan radarnya untuk mendarat di Johannesburg dengan menggunakan ILS (Instrument Landing System).
  
Jalan-jalan di Joburg
 
Afrika Selatan sampai saat ini bukanlah merupakan negara yang aman bagi orang asing karena masih ada sisa-sisa masalah akibat politik apartheid pada masa lalu. Karena itu kami tidak dianjurkan untuk pergi sendirian keliling kota.
 
Sampai di hotel, kami dan beberapa awak kabin sepakat untuk makan malam di Mandela Square, sebuah tempat yang berisi beberapa restoran dan dikelilingi oleh pusat belanja. Di Mandela Square ada sebuah patung besar Nelson Mandela yang merupakan pahlawan anti apartheid. 
 
Hari berikutnya kami mendapat 1 hari libur, sehingga kami manfaatkan dengan berjalan-jalan ke sebuah taman safari. 
 
Ada beberapa paket wisata dan obyek wisata yang dapat didatangi di Joburg, kebanyakan adalah wisata budaya, wisata sejarah dan wisata alam. Kami memilih wisata ke Lion Park yang jaraknya cukup dekat dengan hotel.
 
Untuk itu kami menyewa mobil dari hotel. Setiap orang diharuskan membayar 375 Rand atau sekitar 45 dolar Amerika. 275 Rand untuk sewa mobil dan pengemudi, sedangkan 100 Rand untuk masuk ke obyek wisata. Cukup mahal untuk sebuah tur sederhana karena memang biaya hidup di Afrika Selatan terbilang mahal dibandingkan dengan negara Asia pada umumnya. Mobil yang digunakan ternyata adalah sebuah mobil yang tergolong mewah di Indonesia, Land Rover.
 
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit, dan ternyata Lion Park adalah seperti Taman Safari di Jawa Barat tapi dengan gaya Afrika.
 
 
Memasuki Lion Park