Sedikit tentang Kathmandu

Tidak banyak orang di Indonesia mengenal kota ini. Kathmandu adalah ibukota Nepal. Negara yang terdiri dari pegunungan Himalaya dan cukup terkenal bagi orang Eropa sebagai tempat wisata. Gunung tertinggi Everest berada di negara ini

Nepal mengandalkan turisme sebagai pendapatan yang cukup besar. Sayangnya kericuhan politik di negara tersebut yang penuh dengan demonstrasi dan aksi mogok membuat jumlah turis ke Nepal menurun akhir-akhir ini.

Turisme di Kathmandu terutama adalah trekking, jalan di pegunungan dan juga mengelilingi pegunungan/mountain view. Ada pilihan untuk melihat pegunungan dengan pesawat atau helikopter. Untuk turis dari Eropa dengan kantong yang cukup tebal, berkeliling di pegunungan Himalaya dengan pesawat kecil tidak terlalu mahal dibandingkan dengan pemandangan yang eksotik yang didapat. Puncak gunung di Himalaya selalu tertutup salju karena tingginya. Sedangkan di bagian kaki gunung terdapat hutan-hutan hijau yang juga cukup indah. Pemandangan ini mengingatkan saya pada pemandangan di Papua. Sayang pemerintah Indonesia kurang mengembangkan turisme di Papua.
 

Bahkan biarpun tidak terlalu tinggi, tapi puncak Jayawijaya juga dapat menjadi pusat turisme baik domestik maupun internasional.

 

Pegunungan HimalayaTerbang di pegunungan Himalaya

Kembali ke penerbangan di Himalaya. Ada beberapa rute di utara Himalaya yang dipakai untuk penerbangan dari arah Eropa-Iran-Rusia ke Cina dan Jepang. Rute ini melewati gunung-gunung yang sangat tinggi dan cukup berbahaya jika pesawat mengalami keadaan darurat.

Keadaan darurat yang berbahaya bagi pesawat udara di rute ini adalah jika terjadi dekompresi dan kegagalan mesin.

 
Dekompresi
 

Artikel yang menjelaskan tentang dekompresi atau depressurization dapat anda baca juga di sini (Mimpi airlines membahas Depressurisation). Secara sederhana dekompresi adalah keadaan di mana sistem pesawat udara tidak mampu mempertahankan tekanan dalam kabin yang membantu penumpang dan awak pesawat untuk bernafas. Jika pesawat kehilangan kemampuan ini, maka pilot akan menurunkan pesawat ke ketinggian 10000 kaki yaitu ketinggian maksimum dimana manusia dapat bernafas. Bernafas di ketinggian 10000-14000 kaki bukanlah hal yang mudah, tapi dengan ketinggian pegunungan Himalaya yang mencapai ketinggian 29000 kaki, maka pilot tidak bisa menurunkan pesawat ke ketinggian yang lebih rendah. Bahkan mungkin pilot akan terpaksa mempertahankan pesawat di ketinggian aman agar tidak menabrak gunung. Pada saat itulah masker oksigen dikenakan oleh seluruh orang yang ada di pesawat untuk bertahan hidup.

Kegagalan mesin

Pada saat terjadi kegagalan mesin, engine failure atau kerusakan mesin, pesawat dengan mesin lebih dari satu (multi engine) akan berkurang kemampuannya dan harus turun ke ketinggian tertentu. Ketinggian ini disebut Single Engine Ceiling untuk pesawat dengan dua mesin.
Jika pesawat terbang di daerah dataran rendah tidak menjadi masalah karena pesawat bisa turun ke single engine ceiling dengan leluasa. Tidak ada halangan yang berarti.
 
Di sini masalah terjadi di pegunungan Himalaya ini. Contohnya sebuah pesawat Airbus A330 dengan dua mesin, jika salah satu mesin mati, maka mesin yang tinggal hanya mampu menerbangkan pesawat di ketinggian sekitar 21000 kaki sampai 25000 kaki tergantung berat pesawat pada saat itu. Dengan ketinggian aman (MORA: Minimum Off Route Altitude) yang mencapai 31000 kaki di pegunungan Himalaya, maka pesawat harus mencari rute yang aman jika terjadi keadaan darurat mesin mati.

Oleh sebab itu untuk terbang di atas pegunungan Himalaya dan beberapa dataran tinggi di Cina, Iran dan Rusia, perusahaan penerbangan membuat drift down route.

 
Drift Down Route
Pada saat terjadi keadaan darurat berupa dekompresi ataupun engine failure di dataran tinggi seperti Himalaya, penerbang tidak dapat langsung menurunkan pesawatnya ke ketinggian aman untuk bernafas (10000 kaki) atau ke single engine ceiling. Oleh karena itu, dirancanglah sebuah rute untuk keluar dari rute normal pada saat terjadi keadaan darurat. Rute ini di sebut drift down route atau sering disebut escape route.
 
Biasanya oksigen untuk penumpang pada pesawat jet komersial dapat bertahan selama 15 sampai 22 menit. Maka drift down route untuk dekompresi dirancang untuk keluar dari rute normal dengan terbang di atas 10000 kaki selama maksimum 22 menit sampai pesawat sampai ke dataran yang lebih rendah dan dapat turun ke ketinggian 10000 kaki.
Begitu pula dengan drift down route bagi engine failure. Jika terjadi keadaan mesin mati, maka pilot akan mengikuti rute darurat untuk turun ke single engine ceiling.
 

Kathmandu dari udaraMendekati di Kathmandu

Kathmandu yang dikelilingi oleh pegunungan Himalaya berada pada ketinggian sekitar 4500 kaki, Bandingkan dengan kota Bandung yang mempunyai ketinggian sekitar 2000-2500 kaki. Posisi kota ini bisa dibayangkan seperti berada di dasar sebuah mangkok. Dengan posisi “mangkok” yang seperti ini sangat sulit buat pesawat besar untuk mendarat di Kathmandu, karena pesawat harus menukik dengan tajam untuk dapat turun ke satu-satunya bandar udara di Kathmandu itu. Masalah dengan pesawat besar adalah beratnya. Pada saat menukik, pesawat akan mendapat tambahan kecepatan, padahal seharusnya kecepatan diturunkan untuk mencapai kecepatan untuk mendarat.

Karena itu di perusahaan tempat saya bekerja, untuk bisa mendapat jadwal terbang ke Kathmandu, seorang pilot harus menyelesaikan paling sedikit 6 bulan terbang di tipe pesawat tersebut. Jadi jika ada pilot yang baru masuk atau baru pindah type rating, maka dia harus menunggu 6 bulan sebelum dapat terbang ke Kathmandu.
 
Setelah 6 bulan pun, tidak begitu saja pilot tersebut dapat pergi ke Kathmandu. Dia harus mengikuti pelatihan di simulator dan terbang pertama ke Kathmandu harus didampingi oleh seorang instruktur.
 
Untuk pesawat jet terutama pesawat berbadan lebar (wide body), hanya ada satu rute untuk masuk ke Kathmandu. Juga hanya ada satu pintu keluar pada saat terbang meninggalkan Kathmandu.

Jika terjadi kerusakan mesin pada waktu lepas landas dari Kathmandu, kami harus terbang berputar di dalam “mangkok” untuk mencapai ketinggian 7500 kaki di atas kota Kathmandu dan harus mencapai 10500 kaki pada saat meninggalkan “mangkok”.

Kami memasuki Nepal dari India. ATC dari kota Varanasi memandu kami. 

(callsign ilmuterbang kami pakai untuk mengganti nama perusahaan tempat saya bekerja)

Varanasi: ilmuterbang 352, clear to contact Kathmandu at 126.5
ilmuterbang 352: Contact Kathmandu at 126.5, thank you and good day, ilmuterbang 352
Varanasi: Good day
ilmuterbang 352: Kathmandu, ilmuterbang 352good morning
Kathmandu: Good morning ilmuterbang 352, Squawk 2251, weather at Kathmandu at 0220 wind calm, Visibility 4000m, cloud few 5000 feet, temperatur 19, QNH 1015, clear to Nopen, call when ready descend
(Squawk adalah kode untuk membedakan antara satu pesawat dengan pesawat lain di layar radar, sedangkan QNH adalah tekanan udara di bandar udara Kathmandu dalam millibar).
 
ilmuterbang 352: Squawk 2251, QNH 1015, clear to Nopen, call you when ready descend, ilmuterbang 352 (kami mengubah kode transponder menjadi 2251)
Kathmandu: ilmuterbang 352, radar contact, 50 miles to SMR (dibaca Sierra Mike Romeo, yaitu Simara, salah satu radio navigasi di Nepal), clear to Nopen for runway 02
 

Setelah siap untuk turun dari ketinggian jelajah, kami memanggil Kathmandu.

ilmuterbang 352: Kathmandu ilmuterbang 352, ready for descend.
Kathmandu: ilmuterbang 352 descend 12500 feet on 1015
ilmuterbang 352: descend 12500 feet, ilmuterbang 352
Kathmandu: ilmuterbang 352, we have one traffic landing at Kathmandu, make one orbit over Nopen
ilmuterbang 352: One orbit over Nopen, ilmuterbang 352. (kami berputar satu kali di titik navigasi/waypoint Nopen)
 

Setelah menyelesaikan satu putaran di Nopen

Kathmandu: ilmuterbang 352, descend 11500 feet, clear for VOR/DME Approach Runway 02
ilmuterbang 352: Descend 11500 feet, Clear for VOR/DME Approach runway 02, ilmuterbang 352
 

Kami mendapat ijin untuk melakukan approach dengan menggunakan radio VOR (Very High Frequency Omni Radio) yang terletak di ujung andar udara Kathmandu.

Kemudian dari titik Nopen (Sekitar 15 mil dari VOR) kami mulai turun dari ketinggian 11500 kaki dan mulai melakukan approach (manuver untuk mendarat)

 

Mulai turun di antara pegunungan untuk melakukan approachVOR/DME Approach Runway 02

Ada yang unik dari approach ini. Approach yang normal, baik dilakukan secara visual (visual approach) maupun memakai instrumen (instrument approach) biasanya mempunyai kemiringan 3°. Maksudnya arah turunnya pesawat (descend path) pesawat membentuk sudut 3° terhadap landasan. Tapi karena uniknya pegunungan di Kathmandu, maka kami harus melakukan descend 3.2° sampai 10 mil dan 6.1° sampai 5 mil, dan kembali ke normal descend path 3° sampai mendarat.
 
Pada saat melakukan descend 6.1°, pesawat akan meluncur dan kecepatannya akan cenderung bertambah dan membahayakan pendaratan. Hal inilah yang harus diwaspadai pada tahap ini. Contoh dari akibat kecepatan yang berlebihan dapat dilihat dari kecelakaan Garuda di Jogjakarta pada bulan Maret 2007. Hal ini juga yang menyebabkan tidak semua jenis pesawat dapat mendarat di Kathmandu.
 
Ketepatan dari sinyal VOR di darat dan radio penerima di pesawat, harus dibandingkan dengan posisi GPS, karena jika pesawat bergeser dari jalurnya akan berakibat tabrakan dengan pegunungan sekitar.
 

Ujung landasan 02Mendarat di Kathmandu

Pada jarak 10 mil dari VOR, Kahtmandu approach memanggil kami untuk pindah ke frekuensi tower di 118.1 Mhz.
 
ilmuterbang 352: Tower Good morning, ilmuterbang 352 VOR DME Approach runway 02
Tower: Good morning, Ilmuterbang 352, clear to land runway 02
ilmuterbang 352: clear to land runway 02, ilmuterbang 352
 

Pada ketinggian 600 kaki kami dapat melihat lampu landasan diantara kabut dan asap yang menyelimuti kota Kathmandu.

 
Kapten: Runway Insight, Auto Pilot Off and Flight Director Off. (Kapten mematikan autopilot dan FO mematikan Flight Director).
First Officer: Check, Flight Director Off
 


Parkir

Kami mendarat dengan mulus di landasan, berbelok masuk ke taxiway dan parkir dengan dibantu oleh marshaller (petugas yang memandu parkir dengan menggunakan alat seperti pemukul pada permainan tenis meja).Di bawah ini kami sajikan beberapa foto tentang keadaan bandar udara dan kota Kathmandu.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pesawat-pesawat yang beroperasi di Kathmandu

Dari Kathmandu, banyak turis melanjutkan perjalanan ke kota-kota di pegunungan Himalaya dengan pesawat-pesawat yang lebih kecil

Di gambar kanan bawah terlihat sebuah pesawat Fokker F100 yang teronggok tanpa mesin milik Cosmic Air. Kami tidak tahu apakah maskapai tersebut masih beroperasi atau tidak. Sebelumnya semua penerbang Fokker F100 Cosmic Air adalah orang Indonesia dan ada dari pesawat-pesawat Fokker F100 tersebut yang sebelumnya dioperasikan oleh Sempati Air. 

Bandar Udara Tribhuvan International, Kathmandu

Kota Kathmandu

Kalau tidak salah, kendaraan umum roda tiga di gambar bagian bawah digerakkan oleh tenaga listrik dari baterai. Salah satu inovasi yang patut ditiru.