Dunia penerbangan, terkhusus aspek keselamatan penerbangan, adalah ranah yang pelik dan kompleks. Begitu kompleksnya hingga pengamat penerbangan Christine Negroni mengaitkan penyelidikan penyebab jatuhnya pesawat dengan “curse of knowledge”, atau “kutukan” dari pengetahuan, yakni ketika sesuatu itu terlalu rumit dan kompleks untuk dipaparkan di level dasar (Crash Detectives: How to Solve Air Disaster Mystery, www.aerotimes.aero). Negroni hendak mengatakan bahwa aspek keselamatan penerbangan terkhusus kecelakaan udara bukanlah dimaksudkan untuk konsumsi orang kebanyakan. Meski infromasi deras diberitakan oleh media dan sumber-sumber lainnya, ia belum tentu sumber ilmu karena informasi bisa benar dan bisa juga keliru, namun informasi yang benar dan persepsi yang benar itulah ilmu.
Terdapat banyak faktor di balik sebuah kecelakaan udara, di antaranya adalah faktor bandara, maskapai, human factors (interaksi dengan sistem pesawat dan serta automation dependency), jadwal penerbangan, cuaca, komunikasi antara petugas menara kendali dan penerbang, dan beban kerja penerbang. Secara singkat, tiga faktor utama [duniawi] sebagai penyebab kecelakaan pesawat adalah faktor teknis, cuaca, dan kesalahan manusia (Agus Hariadi. Human Factor Analysis. Ilmuterbang.com).
Miskonsepsi terjadi ketika informasi diterjemahkan secara keliru sehingga membentuk persepsi yang keliru. Contoh sederhana adalah kenyamanan penumpang saat roda-roda pesawat menyentuh landasan pacu dalam proses pendaratan (touchdown). Mendarat “dengan hentakan keras” seringkali dipahami sebagai sesuatu yang negatif dan dikaitkan dengan “inkompetensi” serta lack of skill penerbang. Meski memang ada keterkaitan antara “hard landing” dengan keputusan penerbang, namun “keras” atau tidaknya touchdown juga ditengarai oleh berbagai faktor lain, semisal berat pesawat, panjang landasan pacu, angin, dan juga keadaan permukaan landasan pacu, misalnya ketika permukaan tarmac tergenang air atau bersalju.
Dalam sebuah kecelakaan dulu orang tahunya hanya human error, pilot error dan error-error lain, yang berhubungan dengan manusia itu sendiri. Contohnya kesalahan pengemudi yang mengantuk, pilot yang salah menekan tombol, masinis yang salah tidak menginjak pedal, dll. Manusia-manusia ceroboh yang salah.
Sekarang sebaliknya, makin diyakini bahwa melakukan kesalahan tanpa sengaja atau error adalah bagian dari kehidupan manusia. Tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Biarpun hanya sedikit. Hanya sayangnya kesalahan yang dilakukan manusia dalam moda transportasi sering berakibat fatal.
Dulu setiap kali terjadi kecelakaan karena human error maka langkah selanjutnya adalah membuat pelajaran atau peraturan atau SOP atau bahkan hukuman agar kesalahan tersebut tidak diulangi. Apa daya, manusia punya kecenderungan berbuat salah. Kesalahan yang ada sayangnya tetap diulangi. Biarpun dengan hukuman yang berat.
Sekarang di dunia teknologi fokusnya diubah dari yang tadinya memaksa manusia untuk menghindari kesalahan dengan aturan-aturan atau hukuman, menjadi ke cara baru untuk merancang apapun sesuai dengan kondisi manusia itu sendiri. Interaksi manusia dengan teknologi dibuat sesuai dengan ergonomik dan psikologi manusia yang memang cenderung berbuat kesalahan.
Contoh paling mudah adalah dengan memakai warna yang berbeda untuk hal yang berbeda. Dulu tahun 70an waktu saya kecil kalau beli kabel listrik maka yang kita dapat adalah sepasang kabel melekat yang berwarna putih. Sedangkan sekarang kalau kita beli kabel listrik kemungkinan besar oleh penjual akan ditawarkan sepasang kabel dua warna, merah dan hitam.
Sudah tahu kan kenapa merah dan hitam? Agar tidak tertukar antara sambungan positif (merah) dan sambungan negatif (hitam). Kemungkinan barang elektronik kita terbakar karena salah pasang kabel akan berkurang.
Dear admin ilmuterbang, saya hanya sekedar ingin menyampaikan opini saya tentang culture/budaya di dunia penerbangan yang penuh dengan automation. Diawali dari pengalaman saya ketika pertama lulus ab-initio training, di mana 6 bulan pertama menjalani line flying saya dimanjakan dengan autopilot dan FMS. Dan ketika saya kembali ke simulator dan harus menerbangkan pesawat tanpa autopilot maupun autothrust, saya merasa tingkat kesusahannya menjadi lebih tinggi. Sebabnya karena ketrampilan (skill) terbang secara manual yang menurun, instrument scanning yang melambat, sehingga mengakibatkan beban kerja yang sangat tinggi. Saat itu juga saya merasakan bagaimana skill menerbangkan pesawat secara manual dengan mudah terkikis apabila tidak sering digunakan.
Di “jaman now”, dan di dalam konteks penerbangan komersil, di mana pesawat dilengkapi peralatan avionics yang semakin canggih, beban kerja seorang pilot semakin berkurang. Ada FMS yang membantu pilot mengatur penerbangannya, ditambah dengan autopilot yang membantu menerbangkan pesawat dari beberapa detik sejak lepas landas hingga mendaratkan pesawat dengan fitur autoland. Tidak bisa dipungkiri fitur canggih tersebut sangat berpengaruh positif terhadap keselamatan penerbangan, akan tetapi ada kekhawatiran fitur tersebut terlalu memanjakan pilot sehingga melahirkan sebuah masalah baru, yaitu “automation dependency.”
Canggihnya sistem autopilot maupun FMS pesawat transport membuat pilot airline memiliki sangat sedikit waktu untuk terbang secara manual atau sering disebut hand-flying. Automation dependency bisa mengakibatkan terkikisnya ketrampilan penerbang dalam menerbangkan pesawat secara manual, terutama penerbang-penerbang yang memulai karirnya dengan menggunakan pesawat yang serba otomatis. Hal ini bisa diperburuk dengan kebijakan operator/airline yang tidak mendorong atau menganjurkan pilotnya untuk lebih banyak terbang secara manual.
Selengkapnya: Automation dependency, penyakit baru untuk pilot
Berikan komentar anda dan membuat diskusi terbuka di grup FB ilmuterbang.com di:
Gunakan fasilitas cari di FB dengan kata kunci ilmuterbang.com
Follow @ilmuterbang