Penerbang adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Sayangnya kesalahan “kecil” seorang penerbang bisa berakibat fatal. Berikut ini adalah salah satu insiden kesalahan “kecil” yang dikirimkan ke Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. agar menjadi pelajaran bagi rekan penerbang yang lain. Jika anda seorang praktisi penerbangan baik penerbang atau yang lainnya seperti engineer, dispatcher atau awak kabin dan mempunyai pengalaman yang mempunyai hubungan dengan keselamatan penerbangan, silahkan kirimkan pada kami.

Penerbangan Singapore-Jakarta

  • Tipe pesawat: Airbus A330
  • Captain: Lebih dari 4000 jam terbang on type A330, total lebih dari 10000 jam terbang
  • First Officer: Lebih dari 2000 jam terbang on type A330, total 4000 jam terbang

Kedua penerbang adalah penerbang yang cukup senior di maskapai tersebut, saling mengenal, pernah terbang bersama sekitar 2 tahun sebelumnya. Karena maskapai ini cukup besar dengan hampir 1000 penerbang, maka kemungkinan bertemu kembali dalam sebuah penerbangan adalah cukup kecil.

Berikut cerita dari First Officer:

Penerbangan ke Singapore

Saya datang di dispatch office, lalu check in di komputer, dan nama kapten x terpampang di komputer. Saya rasa saya kenal beliau, tapi saya tidak terlalu ingat kapan saya terbang dengan kapten ini.

Setelah saya mengambil dokumen penerbangan, kapten x datang, dan kemudian beliau mulai melakukan briefing tentang penerbangan ini. Saat itu saya baru ingat, kapten x ini adalah kapten yang sangat teliti. Dia melakukan briefing dengan detil (dan membosankan). Bahkan selama 8 jam penerbangan menuju Singapore, beliau sibuk mencari tahu runway mana yang akan digunakan di Singapore, Saya agak bosan juga, karena kita semua tahu dengan 4 kemungkinan runway yang digunakan, maka akan lebih baik kita tunggu sampai dekat dengan Singapore dan baru mencari tahu runway mana yang akan digunakan. Saya memang agak malas tentang hal ini.

Sesaat sebelum pergi ke pesawat, kami berdiskusi siapa yang akan terbang lebih dulu. Akhirnya ditentukan beliau akan menerbangkan pesawat ke Singapore, dan saya akan menerbangkan pesawat ke Jakarta hari berikutnya.
 
Saya sebagai kopilot sangat terkesan dengan kemampuan beliau mengingat kata demi kata dari SOP (Standard Operating Procedure). Bahkan jika saya melakukan hal yang benar, tapi dengan urutan yang salah, maka beliau akan komplain, dengan sopan, jadi biarpun agak sebal, saya turuti juga kata-katanya. Terus terang saya agak tegang karena berjaga untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun.
 
Akhirnya kami sampai di Singapore, dan hari berikutnya kami bersiap pergi ke Jakarta. Penerbangan hanya memakan waktu 1 jam 15 menit. Seperti biasa, kapten x membaca flight plan dari A sampai Z. Lalu setelah pintu pesawat ditutup, kami taxi out ke runway in use, yaitu runway 20R. Berikut data Take off:
  • Outside temperature: 26°C
  • Flex temperature: 59°C
  • Flaps: 1
  • Air Conditioning Packs: Off (sama dengan Bleed Off di pesawat selain airbus).

SOP perusahaan kami mengharuskan bleed/pack off untuk take off, dan tidak menggunakan APU bleed untuk mengurangi konsumsi bahan bakar. Salah satu pack akan dinyalakan pada waktu Thrust Reduction. Dan dalam 20 detik pack kedua akan dinyalakan.

Cleared for take off runway 20R, pesawat dengan mulus take off, dan melewati Thrust Reduction Altitude 1100 kaki. Saya memindahkan thrust lever ke belakang untuk mengurangi thrust, dan inilah saatnya untuk menyalakan salah satu pack. Di sinilah insiden terjadi. Setelah thrust diturunkan dari take off thrust ke climb thrust, saya berkata” Pack On!”, maksudnya salah satu pack agar dinyalakan oleh kapten. Sepertinya dia agak melamun jadi saya kembali berkata dengan lebih keras “Pack One ON”. Sambil menunjukkan jari telunjuk saya ke atas, maksudnya ke pack.
 
Ternyata yang terdengar oleh beliau adalah “Flap 1”, karena jari saya seperti memberi kode angka satu dengan telunjuk ke atas. Dan tanpa saya sadari beliau memindahkan Flap 1 ke Flap 0. Masalahnya kecepatan pesawat masih V2+10, sementara untuk menaikkan flap ke posisi 0, kecepatan harus dinaikkan ke flap retraction speed. Pada pesawat konvensional akan terjadi stall karena minimum speed akan naik dari katakanlah misalnya 120 knot di Flap 1 ke 150 knot di Flap 0.
 
Dengan agak panik saya menarik tombol Open Climb, untuk membuat pesawat berakselerasi lebih cepat untuk menghindari kecepatan pesawat jatuh ke stall speed. Sayangnya akselerasi ini kalah cepat dengan kecepatan Flap dari Flap 1 ke Flap 0, stalling speed meloncat dengan cepat.
 
Untungnya saya sudah mengaktifkan autopilot dan pesawat ini dirancang untuk mengkoreksi kesalahan pesawat untuk mengurangi beban penerbang, dengan mengaktifkan mode proteksi. Ketika kecepatan pesawat kurang dari VLS (Minimum Selected Speed) dengan cepat auto pilot pesawat segera mengkoreksi posisi pesawat dengan menurunkan hidung pesawat dan berakselerasi. Saat itu pesawat memasuki mode proteksi Alpha Floor, yaitu mode di mana pesawat mencegah critical angle of attack yang bisa menyebabkan stall. Kemudian penerbangan dilanjutkan dengan normal. Di akhir penerbangan kami menulis ASR (Air Safety Report) untuk dilaporkan kepada perusahaan dan diterbitkan untuk pelajaran bagi penerbang lain.
 
Apa lagi yang bisa dilakukan?
 
Dalam keadaan tersebut, selain melakukan Open Climb, seharusnya saya dapat menambah thrust dari Climb Thrust ke MCT (Maximum Continuous Thrust). Saya juga dapat memilih V/S (Vertical Speed) daripada Open Climb yang membutuhkan waktu lebih lama untuk bereaksi.
 
Tapi dalam kasus kami ini, saya pikir Open Climb dan MCT dapat membantu pesawat berakselerasi dengan cepat menghindari mode proteksi mencegah stall tanpa harus menunggu kecepatan pesawat yang sudah turun dan mengaktifkan mode proteksi.
 
Pelajaran lain
Mempunyai banyak jam terbang dan patuh pada SOP bukanlah satu-satunya modal untuk terbang dengan aman. Penerbang mengenal kata awareness dan airmanship yang kadang dilupakan dalam pekerjaannya. Awareness atau kewaspadaan malah dibutuhkan pada saat semua berjalan dengan normal. Karena pada saat itulah kesalahan bisa terjadi dan sesuatu yang buruk dapat menimpa penerbangan tersebut dan penerbang tidak siap menghadapi atau mengkoreksi kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terjadi bisa karena kesalahan manusia, human error seperti contoh di atas, atau kesalahan sistem pesawat, technical error.