Kompas 19 Agustus 1996, hal 1.
PILOT adalah jenis pekerjaan yang menyenangkan. Travelling ke mana-mana sesuai rute penerbangan, tidurnya pun di hotel berbintang yang sangat nyaman. Belum lagi gaji besar menurut ukuran rata-rata, dan istri cantik banyak pilot yang mempersunting pramugari yang tak mungkin tidak cantik dan pandai.
Pilot adalah pekerjaan yang benar-benar "di awang-awang", harfiah atau kiasan. Harfiah, sebab ia selalu berada di awang-awang, berdampingan dengan awan dan cakrawala. Kiasan, sebab tidak mudah dan murah untuk menjadi pilot, bukan pula pekerjaan yang bisa digapai sembarang orang. Pilot adalah orang langka.
Tetapi, beda dengan awak kabin pramugari dan pramugara yang bergaul dekat dengan penumpang, pilot seolah makhluk lain di luar angkasa. Mereka sama sekali tidak bergaul dengan masyarakat penumpangnya. Kalaupun ada komunikasi, selalu cuma searah, saat pilot mengucapkan selamat datang kalau mau - dan memberi sedikit keterangan tentang penerbangan yang sedang dilakukan.
Lewat dari itu, pilot adalah makhluk langka yang terkucil, yang pintu masuk ke arah cockpit-nya selalu tertutup. Kalaupun penumpang bisa melihat pilot, umumnya cuma terlihat sebagian lengan, kepala dan punggungnya saja.
Pilot lebih sibuk menghadapi kemudi dan instrumen pesawat ketimbang bermasyarakat, karena tugas itu sepertinya sudah mereka delegasikan kepada awak kabin. Lingkup kerja pilot memang sebatas kokpit dan mereka tidak pernah punya waktu untuk bercanda apalagi mencolek penumpangnya seperti sopir bus antarkota, atau mikrolet.
Penerbang biasa hidup terprogram. Mulai dari dijemput, masuk kokpit, sampai kembali lagi ke rumah, semua sudah terprogram. Apa yang dikerjakan di kokpit sudah ada polanya dan harus dituruti. Mereka cuma menghadapi instrumen, berkomunikasi dengan instrumen, tidak dengan masyarakat.
"Makanya kebanyakan pilot itu kuper (kurang pergaulan)," kata seorang pilot senior. Pendapatnya dibenarkan oleh Capt. Rudi AH, penerbang Airbus A300-600. Atau seperti pengakuan Capt. Tjandra Widjaja, intruktur dan penerbang MD-11 dengan 13.000 jam terbang.
Itu sebabnya, ketika belasan pilot Garuda melakukan KKN (kuliah kerja nyata) di Desa Wantilan, Kecamatan Cipeundeuy, Subang, Jawa Barat, mereka merasakan suasana dan jamahan yang lain. KKN ini berlangsung karena pilot-pilot itu, bersama belasan mekanik dan karyawan Ditjen Perhubungan Udara, mengikuti kuliah program S1 Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan IKIP Bandung.
***
SUASANANYA jadi terbalik. Kalau biasanya orang desa terheran-heran melihat kehidupan kota, kali ini orang kelas menengah kota takjub pada kehidupan desa. Apalagi mereka sengaja tinggal di rumah penduduk, tidur di lantai beralas tikar, dengan serangan bertubi-tubi dari nyamuk Peundeuy setiap malam.
Para pilot ini seperti terhempas dan malu pada diri sendiri karena baru seminggu ini sibuk meminta kenaikan gaji yang sudah jutaan. Padahal penduduk sekitar yang penghasilannya paling Rp 1.000 Rp 3.000 sehari, punya senyum tulus yang diberikan pada semua orang yang ditemui, dan selalu menawari mampir.
"Coba cing, serabi cuma seharga Rp 100 perak," kata seorang penerbang. Bahkan Capt Judi melongo ketika bersama empat-lima kawannya minum di satu warung, uang Rp 10.000 yang disodorkan masih kembali Rp 4.000. "Padahal anak gue kelas lima SD, uang jajannya lime rebu sehari," katanya dalam logat Betawi medok.
"Kelihatannya, gue sekali-kali mesti bawa keluarga tinggal di desa," tambah pilot chief pilot Boeing 737 tamatan Australia ini. Judi menjadi salah satu peserta KKN "dari langit" yang sangat menikmati perjumpaan dengan masyarakat yang "asing" bagi mereka itu. Dalam satu acara pertandingan di SD Cipeundeuy, Judi ikut sibuk naik egrang, satu "kendaraan" yang berupa dua batang bambu, yang belum pernah dijumpainya. Berkali-kali ia mencoba, berkali-kali pula ia hilang keseimbangan dan jatuh, lalu jadi tertawaan ratusan murid sembilan SD Kecamatan Cipeundeuy itu.
Dari pergaulan dengan masyarakat ini, kata Capt. Tjandra Widjaja, para penerbang bisa belajar psikologi massa. Para pilot yang juga instruktur ini lalu bisa mempelajari karakteristik kebudayaan masyarakat yang digaulinya.
"Untuk dipahami, 90 persen penyebab kecelakaan pesawat adalah kesalahan manusia. Dengan belajar psikologi massa, para instruktur diharapkan bisa menemukan pola-pola khas satu masyarakat yang terbawa pilot-pilot yang masuk pendidikan di PT Garuda," kata Tjandra.
Menurut Capt. Rudy A Hardono, terjun ke masyarakat akan memberi suasana lain pada para pilot itu, sehingga bisa memberi kesegaran. Juga untuk menghilangkan kejenuhan sebab setiap hari mereka bekerja dalam satu lingkup sempit, dengan alat-alat canggih yang bisa "bekerja sendiri".
***
PENERBANG-penerbang senior ini tidak cuma mengumpulkan anak-anak SD, menyelenggarakan pertandingan, lalu makan bersama. Mereka melakukan kegiatan sebagaimana KKN umumnya, seperti membangun gorong-gorong, memperbaiki ruangan sekolah, dan mengajar.
Mengajar murid SD yang bahasa ibunya bahasa Sunda dengan penguasaan bahasa Indonesia tidak sempurna, membawa kesan sendiri. Jika biasanya mereka berdiri di depan kelas dengan murid yang homogen, baik dari tingkat sosial atau pengetahuan, kini yang dihadapi justru kelompok murid "dari balik pintu".
Mustahil mengajar mereka dengan bahasa yang biasa digunakan di Duri Kosambi, tempat Pusdiklat Garuda berada. Di sini, tidak bisa disampaikan bahasa teknis seperti biasanya. Karakter murid-murid "dari balik pintu" itu tidak mereka kenal sebelumnya.
Salah pendekatan, bisa-bisa para penerbang dianggap makshluk lain yang datang dengan bahasa dan tingkah lain yang tidak bisa dipahami. Para murid SD akan menikmati acara belajar dengan guru para penerbang itu sebagai tontonan, bukan sebagai pemasok ilmu.
Tetapi mengajar tidak masalah bagi Capt. Teguh Budihardjo yang lancar saja berkomunikasi dengan pelajar SD itu. Ia enak saja berbicara dengan bahasa yang enteng, saat anak-anak SD itu ikut lomba membaca cepat. Tidak heran, kapten pesawat MD-11 ini sudah biasa mengajar di luar Pusdiklat Garuda.
Meski seperti kata Capt. Tjandra, sasarannya adalah mempelajari psikologi massa, namun ada target lain yang juga diharapkan sekaligus teraih. S1 ternyata jadi syarat untuk meraih jenjang jabatan lebih tinggi, baik di PT Garuda atau di Ditjen Perhubungan Udara. Itu sebabnya Capt. Avi yang checker pilot pemerintah dan juga penerbang PT Merpati, bersama beberapa rekannya, ikut program dua tahun ini.
Mereka umumnya sudah punya pendidikan setara D3. Dari pendidikan dasar penerbang di Curug, mereka mendapat pengakuan setara D2. Ditambah pendidikan ATPL (air transport pilot licence) untuk yang sudah punya jam terbang lebih daripada 1.500, mereka lalu mendapat penilaian sama dengan D3.