KOMPAS, 09-01-1995. Halaman: 9
ilustrasi gambar diambil dari Wikipedia dengan lisensi Creative Common.
KEGEMARAN menghidupkan pesawat tua bukan hanya dilakukan mekanik-mekanik Indonesia untuk digunakan para pilot yang gemar bertualang. Di banyak negara yang pernah punya armada udara, baik sipil terutama perang pada PD II, kelompok-kelompok orang demikian selalu ada.
Di Amerika bahkan ada klub penggemar pesawat tua yang acap terbang berbarengan dalam berbagai formasi, sekadar memenuhi hasrat terbang mereka. Ada yang menggunakan pesawat bersayap dua (biplane), ada yang menggunakan pesawat tempur yang jaya pada masanya, seperti Spitfire buatan Jerman, Mustang (P-51D) yang pada zaman perang kemerdekaan disebut Si Cocor Merah, atau Harvard yang susah belok kalau di darat.
Malah ada yang hingga kini masih menerbangkan pesawat pembom B-25 Mitchell yang punya fin dan rudder dua, atau pesawat amfibi Convair Catalina PBY-5 yang dibuat pertama kali tahun 1935. Tak kalah favorit adalah Beech 18 atau versi militernya disebut C-45 buatan tahun 1937 hingga 1972. Salah satu versinya hingga kini masih digunakan oleh Polisi Udara Polri.
Penggemar-penggemar ini mau berbuat dan mengeluarkan dana berapa saja untuk pesawat antiknya. Penggemar fanatik bahkan melapisi kulit luar pesawatnya dengan lapisan chrome, sehingga putih mengkilat bak perak kencana.
Klub-klub penggemar pesawat tua juga kuat di Australia. Sama dengan di Amerika Serikat, mereka akan datang dari berbagai penjuru kalau sedang ada jambore. Jambore pesawat pribadi yang lebih menjurus ke hobi, baik itu pesawat kuno maupun pesawat baru buatan sendiri, tiap pertengahan tahun diselenggarakan di Oshkosh, AS.
Pesawat-pesawat tua yang masih bertahan kebanyakan merupakan sisa-sisa Perang Dunia II, terutama yang diproduksi massal. Misalnya pembom B-25 Mitchell yang versi militernya punya jendela di hidung dan ekor untuk petembak-petembaknya. Pada versi sipil jendela-jendela itu ditutup dan sebagai gantinya ada beberapa jendela di tengah untuk penumpang. B-25 diproduksi sampai 10.000 buah, sementara T-6 Texan Harvard pernah diproduksi sampai lebih 15.000 buah. Bahkan DC-3 Dakota diproduksi lebih dari 38.000 buah dalam kurun waktu tak sampai sebelas tahun, suatu angka produksi pesawat terbang yang belum pernah tertandingi hingga saat ini.
***
MENGHIDUPKAN dan memelihara pesawat tua bukannya mudah, terutama di Indonesia yang sumber dananya kering untuk urusan demikian. Pesawat sisa-sisa perang dunia pernah banyak di Indonesia, banyak pula yang bisa diterbangkan lagi.
Di antara pesawat itu ada yang kulitnya, sayapnya, dilapisi kain (fabrics), yang jika dibiarkan akhirnya akan hancur. Pesawat-pesawat yang dibuat dari aluminium lebih tahan lama dan tahan karat, tetapi di negeri kita tidak tahan tangan. Ada saja yang kemudian meloakkannya sebagai besi tua (scrapping), karena ternyata aluminium bekas Dakota punya harga tinggi di pasar loak.
FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) juga punya anggota-anggota yang gemar menghidupkan banyak pesawat tua. Beberapa Dakota yang nyaris jadi "sendok bebek" terselamatkan, namun biayanya pun tidak tanggung-tanggung. Misalnya DC-3 yang kini menjadi replika Dakota pertama milik RI, Seulawah RI-001, perlu Rp 900 juta lebih untuk membangunkan dari tidur lamanya. PT Merpati, PT Garuda termasuk donatur untuk menghidupkan pesawat yang beregistrasi AF-4775 ini.
Dua Dakota lagi sudah bisa diterbangkan, sementara sebuah lain masih menunggu bantuan donatur. Satu di antaranya akan dilukisi seorang pria ber-blangkon dan pesawatnya akan diberi nama Mas Bei. Tapi kini FASI malah kekurangan pilot Dakota yang tidak bisa sembarangan, apalagi jika badannya kecil dan kerempeng. Pilot Dakota adalah pilot betulan, sebab pesawat ini harus dikemudikan dengan cara "ototpilot", bukannya autopilot seperti umumnya pesawat komersial mutakhir. Perlu otot kuat untuk menggerakkan kontrol-kontrolnya, baik itu rudder untuk membelokkan pesawat, aileron untuk memiringkan, atau elevator untuk menaik-turunkan pesawat.
***
ADA beberapa pesawat tua yang siap untuk dibangun dan diterbangkan jika ada donatur. Salah satunya Skyvan yang mirip kotak korek api, dan orang Amerika menjulukinya sebagai pesawat bak mandi (bathtub) yang sayapnya seolah cuma direkatkan di atapnya.
Dua-tiga buah pesawat tua lainnya saat ini berada di hanggar Pangkalan Udara Kalijati, misalnya sebuah Piper L4G atau pesawat amfibi yang tadinya digunakan untuk orang sangat penting (VIP), Grumman Goose. Pesawat yang bisa mendarat di Teluk Jakarta atau Danau Jatiluhur ini bermesin dua dengan sayap atas dan mampu mengangkut enam penumpang. Untuk menghidupkannya, perlu dana sampai Rp 150 juta dan empat bulan kerja. Ada lagi pesawat penumpang logam keseluruhan all metal pertama buatan Amerika (1934), Lockheed 12, yang sanggup dihidupkan mekanik Kalijati, Ruhimat dan kawan-kawannya.
Di Kalijati semula ada dua Harvard, tetapi sebuah sudah berhasil diperbaiki dan sering diterbangkan oleh Marsekal Pertama Tamtomo, salah satu pilot langka jenis ini. Pesawat dengan tail dragger ini terlalu mendongak, sehingga pilot atau penumpangnya tak bisa melihat ke depan saat taxi. Pesawat harus dibelak-belokkan agar pilot bisa melihat ke depan, padahal roda belakangnya tak bisa dikendalikan sehingga harus digunakan rudder dan rem.
Menjadi penerbang menyalahi kodrat, karena manusia ditakdirkan hidup di atas tanah. Tapi "kesalahan" ini justru jadi kebanggaan karena kemampuan terbang bukanlah keahlian orang sembarangan, apalagi jika ditambah dengan keberanian menerbangkan pesawat tua.