KOMPAS, 09-01-1995. Halaman: 9
NAIK pesawat terbang selalu dikaitkan dengan kepentingan yang mendesak oleh sebab waktu dan biaya. Maklum, dibanding dengan moda angkutan lain, pesawat terbang mempunyai kecepatan paling tinggi. Apalagi pesawat-pesawat jet masa kini punya kecepatan jelajah sekitar 550 knot atau sekitar 850 km per jam, dan dunia bisa terkelilingi dengan terbang 40-50 jam. Bandingkan dengan kapal laut yang sedikitnya perlu 40 hari berkeliling untuk kembali ke titik semula.
ORANG pun mengukur kenikmatan naik pesawat dari cepatnya sampai ke tujuan, sehingga makin cepat pesawat, makin banyak orang memilihnya. Pesawat subsonic semacam Concorde selalu dipenuhi penumpang, walau tarifnya dua kali tarif pesawat jet konvensional.
Orang sudah lupa, bahkan cenderung menjauhi pesawat-pesawat penumpang berkecepatan rendah, yang cuma sekitar 120 knot atau kurang dari 200 km per jam. "Bangau-bangau" yang terbang dengan gaya malas ini sekarang cuma masuk museum atau terbang hanya untuk kegemaran dan nostalgia.
Salah satu jenis dari the lazy air blue heron alias "si bangau malas" ini adalah DC-3 (Douglas Commercial) yang versi militernya disebut C-47 Dakota, buatan pabrik Douglas sebelum Perang Dunia II. Ia adalah kakak DC-10 atau "kakak tiri" MD-11 (McDonnell-Douglas) yang merupakan pesawat berbadan lebar.
Bandingan antara Dakota dengan DC-10 sangat jauh, baik dalam soal kecepatan maupun kemampuan muat. Dari mesinnya saja sudah berbeda. Dakota menggunakan dua mesin piston radial 9 silinder, sedangkan DC-10 menggunakan tiga mesin jet, salah satunya terletak di ekor. Kursi normal di DC-3 tersedia untuk sekitar 36 orang, sementara DC-10 seri 30 seperti milik Garuda memiliki tempat duduk untuk 250 orang.
Karena kecepatannya yang tinggi -- yang diperoleh justru dengan terbang di atas awan -- pesawat jet seperti Airbus, Jumbo, atau DC-10 tidak bisa terbang rendah. Dalam keadaan perang, pesawat demikian ini sulit menghindari lacakan radar, sehingga mudah jadi sasaran tembak. Lain dengan "si bangau" yang dengan leluasa terbang hanya 30-60 meter di atas permukaan tanah, sehingga tidak terlacak radar.
Justru pada saat orang jenuh naik pesawat tinggi-tinggi, sampai 11 km di atas permukaan laut, naik pesawat berkecepatan rendah dan terbang rendah lalu jadi kenikmatan tersendiri. Dari pesawat jet yang terlihat cuma pemandangan samar satu kota atau perkampungan, bahkan kontur bumi (yang tercipta oleh bukit dan lembah) tak bisa terlihat jelas. Semuanya seolah-olah rata belaka.
NAIK pesawat terbang selalu dikaitkan dengan kepentingan yang mendesak oleh sebab waktu dan biaya. Maklum, dibanding dengan moda angkutan lain, pesawat terbang mempunyai kecepatan paling tinggi. Apalagi pesawat-pesawat jet masa kini punya kecepatan jelajah sekitar 550 knot atau sekitar 850 km per jam, dan dunia bisa terkelilingi dengan terbang 40-50 jam. Bandingkan dengan kapal laut yang sedikitnya perlu 40 hari berkeliling untuk kembali ke titik semula.
ORANG pun mengukur kenikmatan naik pesawat dari cepatnya sampai ke tujuan, sehingga makin cepat pesawat, makin banyak orang memilihnya. Pesawat subsonic semacam Concorde selalu dipenuhi penumpang, walau tarifnya dua kali tarif pesawat jet konvensional.
Orang sudah lupa, bahkan cenderung menjauhi pesawat-pesawat penumpang berkecepatan rendah, yang cuma sekitar 120 knot atau kurang dari 200 km per jam. "Bangau-bangau" yang terbang dengan gaya malas ini sekarang cuma masuk museum atau terbang hanya untuk kegemaran dan nostalgia.
Salah satu jenis dari the lazy air blue heron alias "si bangau malas" ini adalah DC-3 (Douglas Commercial) yang versi militernya disebut C-47 Dakota, buatan pabrik Douglas sebelum Perang Dunia II. Ia adalah kakak DC-10 atau "kakak tiri" MD-11 (McDonnell-Douglas) yang merupakan pesawat berbadan lebar.
Bandingan antara Dakota dengan DC-10 sangat jauh, baik dalam soal kecepatan maupun kemampuan muat. Dari mesinnya saja sudah berbeda. Dakota menggunakan dua mesin piston radial 9 silinder, sedangkan DC-10 menggunakan tiga mesin jet, salah satunya terletak di ekor. Kursi normal di DC-3 tersedia untuk sekitar 36 orang, sementara DC-10 seri 30 seperti milik Garuda memiliki tempat duduk untuk 250 orang.
Karena kecepatannya yang tinggi -- yang diperoleh justru dengan terbang di atas awan -- pesawat jet seperti Airbus, Jumbo, atau DC-10 tidak bisa terbang rendah. Dalam keadaan perang, pesawat demikian ini sulit menghindari lacakan radar, sehingga mudah jadi sasaran tembak. Lain dengan "si bangau" yang dengan leluasa terbang hanya 30-60 meter di atas permukaan tanah, sehingga tidak terlacak radar.
Justru pada saat orang jenuh naik pesawat tinggi-tinggi, sampai 11 km di atas permukaan laut, naik pesawat berkecepatan rendah dan terbang rendah lalu jadi kenikmatan tersendiri. Dari pesawat jet yang terlihat cuma pemandangan samar satu kota atau perkampungan, bahkan kontur bumi (yang tercipta oleh bukit dan lembah) tak bisa terlihat jelas. Semuanya seolah-olah rata belaka.
Dengan Dakota, jangankan lekuk-liku bumi. Kelompok ayam di halaman belakang rumah yang berlarian ketakutan saja bisa terlihat jelas. Apalagi cuma seekor kerbau yang tiba-tiba meninggalkan pembajaknya di tengah sawah. Kerbau ini terkejut ada benda terbang rendah sehingga si abang pembajak terhenyak di lumpur, jadi pemandangan yang bisa diharapkan.
***
HARI itu, di penghujung tahun 1994, kami melakukan perjalanan yang tidak umum, naik Dakota ke Bandung lewat Bogor, Ciawi, Sukabumi, dan Cianjur. Biasanya rute pesawat terbang Jakarta-Bandung adalah lewat Purwakarta dan Gunung Sanggabuana, sebab selain lebih singkat juga tidak terlalu banyak melewati daerah pegunungan.
Kami memilih rute ini karena ia jadi rute favorit kapten pilot, yang juga dijalani seminggu kemudian. Menjelang Sukabumi, kami terus ke selatan sampai Pelabuhan Ratu lalu membelok ke kanan, menyusur pantai hingga Ujung Kulon. Saat itu pesawat kami terus melintasi Gunung Krakatau, berputar sampai lima kali, baru ke Branti, Lampung.
Pilot kami istimewa, Capt. Dr Muchtarudin Siregar, yang sehari-harinya adalah Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan. Sedangkan Kopilot adalah Letkol Penerbang Eko Adi Santoso. Penumpangnya penerbang-penerbang "gila", atau orang-orang "gila terbang" antara lain Kolonel Penerbang Prasetya (Ketua Satuan Udara FASI), Capt. Henry JJ Sumolang (Kepala Pusdiklat Garuda), dan penerbang Ir Wityasmoro (Direktur PT Lintasarta).
Jangan harap naik Dakota sama dengan naik jet mutakhir. Di sini, beberapa orang yang tak kebagian kursi duduk bersila saja di lantai belakang. Bahkan, ada juga yang berdiri di belakang cockpit. Duduk di lantai dekat pintu belakang rasanya lebih enak, sebab angin dingin masuk lewat sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat. Tidak cuma angin, tetapi deru mesin pesawat juga membuat orang tak bisa bicara pelan, yang juga membuat pembicaraan antara pilot, kopilot, dan mekaniknya dilakukan secara tertulis.
Begitu lepas landas, Dakota kami langsung mengarah ke selatan, menyusuri jalan tol sampai Ciawi, lewat di atas Bukit Rancamaya yang sedang diratakan untuk perumahan. Pilot mempertahankan ketinggian 1.500 kaki atau sekitar 450 meter dari muka laut, padahal makin ke selatan, alam makin meninggi.
Baru setelah pesawat menikung agak ke kiri, ke arah timur, ketinggian dinaikkan sampai 2.000 kaki atau sekitar 600 meter. Kami menyusuri rel KA Bogor-Sukabumi-Cianjur, lewat perkampungan yang rumah panggung penduduknya berdinding bambu anyam, dikelilingi persawahan serta balong (kolam ikan). Menjelang Sukabumi terlihat sawah-sawah sedang dibajak atau ditanami, sementara sekitar Cianjur ke timur sudah panen dan di mana-mana orang membakar jerami, sehingga udara agak gelap berkabut.
Dengan ketinggian alam sampai 550 meter di lereng Gunung Gede, praktis kami terbang hanya sekitar 50 meter di atas permukaan tanah dan ujung-ujung daun kelapa mencuat dekat sekali dengan badan pesawat kami. Pemandangan alam yang jernih membuat kami seolah-olah sedang tamasya masuk keluar kampung dan berjalan di atas gili-gili persawahan dengan kaki telanjang. Malah rasanya kami sedang duduk di dangau dan kalau mau, kaki ini bisa saja dicelupkan ke lumpur sawah yang berkilat kena pantulan matahari pagi.
Terbang di rute ini berarti terbang di antara barisan bukit-bukit, dan pesawat meliuk-liuk mengikuti arah alam. Rel KA pun menjadi petunjuk alam terbaik, tak pernah menikung tajam, tak pernah pula menanjak atau menurun secara curam. Ia selalu mencari alam yang relatif datar, kalau perlu memutari bukit untuk sampai ke tujuan. Kami juga lewat di atas kota, bahkan di atas terminal bus Sukabumi, dan terbang rendah tepat di atas kantor Bupati Cianjur.
"Jangan ngledek," ujar pilot Muchtar, ketika seorang di antara kami sambil bergurau memintanya hati-hati. "Ya, siapa tahu di Bandara Husein Sastranegara Bandung nanti orang harus dikerahkan untuk membersihkan roda pesawat dari daun-daun kelapa dan pakaian jemuran yang tersambar," kata kawan kami dengan muka dibuat serius.
Bagi masyarakat di bawah, munculnya satu pesawat besar terbang rendah tampaknya jadi sensasi. Anak-anak yang sedang main petak umpet berlarian mencari tempat terbuka untuk melihat kami. Bahkan dekat Cibadak, seorang ibu kelihatan lari keluar dari dapurnya sambil membawa penggorengannya. Tapi ibu muda lain yang sedang jongkok "merenung" di satu bilik tanpa atap mirip TPS di pinggir kolam, cuek saja. Yang secara naluri lari mencari perlindungan adalah sebangsa ayam dan kerbau, yang terkejut oleh mesin deru pesawat kami.
***
SATUAN Udara (Satud) FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) dewasa ini punya empat Dakota, tiga di antaranya bisa digunakan dengan baik. Biaya operasi pesawat ini sangat mahal, sekitar 600 dollar AS per jam atau sekitar Rp 1,3 juta.
Dakota itu, dengan kelebihannya, bisa digunakan untuk terbang tamasya atau joy flight di atas kota. Seperti pada 30 Desember, saat kami terbang di atas Selat Sunda, menikmati pemandangan Gunung Krakatau yang masih aktif. Di sini kami, para penerbang dari Satud FASI, bergantian menjadi pilot "si bangau malas" ini, merasakan bagaimana mengendalikan Dakota perlu otot yang kuat.
Di Branti, kami berjumpa Kakanwil Dephub Lampung, Drs H Odjoh Wardjah yang istrinya aktif di bidang pariwisata. Muchtarudin menawarkan kesempatan warga Lampung untuk menikmati joy flight kapan-kapan, hanya dengan Rp 10.000 per orang. Atau wisata Krakatau dari Jakarta dengan tarif murah. "Ini dilakukan agar biaya operasi Dakota bisa tertutupi sambil membantu promosi pariwisata," kata Sekjen Dephub itu.
Menerbangkan Dakota untuk penumpang biasa bukan satu hal yang mengkhawatirkan. Beberapa negara hingga kini masih memasukkan pesawat itu dalam armada komersialnya. Bahkan ada satu perusahaan, Classic Air, yang armadanya terdiri dari Dakota semua, yang didandani jadi pesawat mewah.
Wisata dengan Dakota akan jadi wisata paling mengasyikkan, karena dengan terbang rendah, kita seolah tetap melakukan perjalanan darat masuk keluar pedesaan, tetapi cepat sampai di tujuan. Dan terbang di atas Krakatau, tak sembarang pilot bisa melakukannya. Apalagi saat itu Muchtar mengurangi kecepatan pesawatnya hingga 80-90 knot per jam, kecepatan terendah yang aman bagi pesawat terbang sejenis DC-3.
DAKOTA DAN KRAKATAU - Melihat gunung dari dekat sungguh nikmat. Inilah yang dirasakan sekelompok penggemar fanatik pesawat terbang dari Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI), akhir tahun 1994 lalu, ketika menerbangkan pesawat Dakota buatan tahun 1938 melihat gunung Krakatau di Selat Sunda.
***
***
HARI itu, di penghujung tahun 1994, kami melakukan perjalanan yang tidak umum, naik Dakota ke Bandung lewat Bogor, Ciawi, Sukabumi, dan Cianjur. Biasanya rute pesawat terbang Jakarta-Bandung adalah lewat Purwakarta dan Gunung Sanggabuana, sebab selain lebih singkat juga tidak terlalu banyak melewati daerah pegunungan.
Kami memilih rute ini karena ia jadi rute favorit kapten pilot, yang juga dijalani seminggu kemudian. Menjelang Sukabumi, kami terus ke selatan sampai Pelabuhan Ratu lalu membelok ke kanan, menyusur pantai hingga Ujung Kulon. Saat itu pesawat kami terus melintasi Gunung Krakatau, berputar sampai lima kali, baru ke Branti, Lampung.
Pilot kami istimewa, Capt. Dr Muchtarudin Siregar, yang sehari-harinya adalah Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan. Sedangkan Kopilot adalah Letkol Penerbang Eko Adi Santoso. Penumpangnya penerbang-penerbang "gila", atau orang-orang "gila terbang" antara lain Kolonel Penerbang Prasetya (Ketua Satuan Udara FASI), Capt. Henry JJ Sumolang (Kepala Pusdiklat Garuda), dan penerbang Ir Wityasmoro (Direktur PT Lintasarta).
Jangan harap naik Dakota sama dengan naik jet mutakhir. Di sini, beberapa orang yang tak kebagian kursi duduk bersila saja di lantai belakang. Bahkan, ada juga yang berdiri di belakang cockpit. Duduk di lantai dekat pintu belakang rasanya lebih enak, sebab angin dingin masuk lewat sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat. Tidak cuma angin, tetapi deru mesin pesawat juga membuat orang tak bisa bicara pelan, yang juga membuat pembicaraan antara pilot, kopilot, dan mekaniknya dilakukan secara tertulis.
Begitu lepas landas, Dakota kami langsung mengarah ke selatan, menyusuri jalan tol sampai Ciawi, lewat di atas Bukit Rancamaya yang sedang diratakan untuk perumahan. Pilot mempertahankan ketinggian 1.500 kaki atau sekitar 450 meter dari muka laut, padahal makin ke selatan, alam makin meninggi.
Baru setelah pesawat menikung agak ke kiri, ke arah timur, ketinggian dinaikkan sampai 2.000 kaki atau sekitar 600 meter. Kami menyusuri rel KA Bogor-Sukabumi-Cianjur, lewat perkampungan yang rumah panggung penduduknya berdinding bambu anyam, dikelilingi persawahan serta balong (kolam ikan). Menjelang Sukabumi terlihat sawah-sawah sedang dibajak atau ditanami, sementara sekitar Cianjur ke timur sudah panen dan di mana-mana orang membakar jerami, sehingga udara agak gelap berkabut.
Dengan ketinggian alam sampai 550 meter di lereng Gunung Gede, praktis kami terbang hanya sekitar 50 meter di atas permukaan tanah dan ujung-ujung daun kelapa mencuat dekat sekali dengan badan pesawat kami. Pemandangan alam yang jernih membuat kami seolah-olah sedang tamasya masuk keluar kampung dan berjalan di atas gili-gili persawahan dengan kaki telanjang. Malah rasanya kami sedang duduk di dangau dan kalau mau, kaki ini bisa saja dicelupkan ke lumpur sawah yang berkilat kena pantulan matahari pagi.
Terbang di rute ini berarti terbang di antara barisan bukit-bukit, dan pesawat meliuk-liuk mengikuti arah alam. Rel KA pun menjadi petunjuk alam terbaik, tak pernah menikung tajam, tak pernah pula menanjak atau menurun secara curam. Ia selalu mencari alam yang relatif datar, kalau perlu memutari bukit untuk sampai ke tujuan. Kami juga lewat di atas kota, bahkan di atas terminal bus Sukabumi, dan terbang rendah tepat di atas kantor Bupati Cianjur.
"Jangan ngledek," ujar pilot Muchtar, ketika seorang di antara kami sambil bergurau memintanya hati-hati. "Ya, siapa tahu di Bandara Husein Sastranegara Bandung nanti orang harus dikerahkan untuk membersihkan roda pesawat dari daun-daun kelapa dan pakaian jemuran yang tersambar," kata kawan kami dengan muka dibuat serius.
Bagi masyarakat di bawah, munculnya satu pesawat besar terbang rendah tampaknya jadi sensasi. Anak-anak yang sedang main petak umpet berlarian mencari tempat terbuka untuk melihat kami. Bahkan dekat Cibadak, seorang ibu kelihatan lari keluar dari dapurnya sambil membawa penggorengannya. Tapi ibu muda lain yang sedang jongkok "merenung" di satu bilik tanpa atap mirip TPS di pinggir kolam, cuek saja. Yang secara naluri lari mencari perlindungan adalah sebangsa ayam dan kerbau, yang terkejut oleh mesin deru pesawat kami.
***
SATUAN Udara (Satud) FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) dewasa ini punya empat Dakota, tiga di antaranya bisa digunakan dengan baik. Biaya operasi pesawat ini sangat mahal, sekitar 600 dollar AS per jam atau sekitar Rp 1,3 juta.
Dakota itu, dengan kelebihannya, bisa digunakan untuk terbang tamasya atau joy flight di atas kota. Seperti pada 30 Desember, saat kami terbang di atas Selat Sunda, menikmati pemandangan Gunung Krakatau yang masih aktif. Di sini kami, para penerbang dari Satud FASI, bergantian menjadi pilot "si bangau malas" ini, merasakan bagaimana mengendalikan Dakota perlu otot yang kuat.
Di Branti, kami berjumpa Kakanwil Dephub Lampung, Drs H Odjoh Wardjah yang istrinya aktif di bidang pariwisata. Muchtarudin menawarkan kesempatan warga Lampung untuk menikmati joy flight kapan-kapan, hanya dengan Rp 10.000 per orang. Atau wisata Krakatau dari Jakarta dengan tarif murah. "Ini dilakukan agar biaya operasi Dakota bisa tertutupi sambil membantu promosi pariwisata," kata Sekjen Dephub itu.
Menerbangkan Dakota untuk penumpang biasa bukan satu hal yang mengkhawatirkan. Beberapa negara hingga kini masih memasukkan pesawat itu dalam armada komersialnya. Bahkan ada satu perusahaan, Classic Air, yang armadanya terdiri dari Dakota semua, yang didandani jadi pesawat mewah.
Wisata dengan Dakota akan jadi wisata paling mengasyikkan, karena dengan terbang rendah, kita seolah tetap melakukan perjalanan darat masuk keluar pedesaan, tetapi cepat sampai di tujuan. Dan terbang di atas Krakatau, tak sembarang pilot bisa melakukannya. Apalagi saat itu Muchtar mengurangi kecepatan pesawatnya hingga 80-90 knot per jam, kecepatan terendah yang aman bagi pesawat terbang sejenis DC-3.
DAKOTA DAN KRAKATAU - Melihat gunung dari dekat sungguh nikmat. Inilah yang dirasakan sekelompok penggemar fanatik pesawat terbang dari Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI), akhir tahun 1994 lalu, ketika menerbangkan pesawat Dakota buatan tahun 1938 melihat gunung Krakatau di Selat Sunda.
***