Kali ini saya akan membahas tentang media dan kecelakaan penerbangan yang saya rasa relevan dengan kondisi saat ini. Tulisan ini bukan untuk menuding salah satu pihak, bukan untuk membela pihak-pihak tertentu tapi agar bisa diambil pelajaran dalam menyajikan informasi dan bagaimana merespon atas suatu kejadian kecelakaan, dalam hal ini saya fokuskan pada kecelakaan penerbangan.
Dari judul tulisan dapat kita ketahui bahwa ada dua pihak yang nantinya sama-sama akan menyajikan informasi kepada publik paska kejadian kecelakaan penerbangan, yaitu pihak media dan pihak investigator. Namun mereka mempunyai cara menyajikan informasi yang bertolak belakang, yaitu:
- Pihak media yang menyajikan berita kecelakaan penerbangan dengan secepatnya untuk memenuhi kehausan publik akan informasi terkini mengenai kejadian, dan
- Pihak investigator yang butuh waktu lebih lama mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk kemudian dianalisa oleh ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu sebelum sampai pada sebuah kesimpulan yang diberikan kepada publik.
Di sini terlihat jelas perbedaan cara kerja antara media dengan pihak investigator. Sementara itu, publik menunggu berita terkini tentang kejadian. Adanya permintaan publik akan informasi terkini menjadikan media harus bekerja cepat untuk memenuhi permintaan tersebut dengan memanfaatkan berbagai sumber. Tak jarang kecepatan pemberitaan tidak berbanding lurus dengan akurasi informasi yang disajikan.
Ada beberapa hal yang menjadikan distorsi-distorsi muncul dalam pemberitaan kecelakaan penerbangan, misalnya:
- Keberadaan media sebagai bisnis dimana semakin sensasional tajuk berita maka akan dengan mudahnya menarik perhatian publik dan tentunya mengalahkan kompetitornya. Jadi tak heran penggunaan tajuk utama yang bombastis agar catchy adalah sangat normal, sayangnya sering tidak sesuai dengan kenyataan. 'A bad news is a good news' merupakan kelaziman;
- Hal lain yang patut diperhatikan adalah kurang investigatifnya para jurnalis dengan lemahnya cross-check sebelum merilis berita dan, jikalaupun ada, tak jarang sumber-sumber yang digunakan belum tentu akurat; dan
- Kurangnya pengalaman dan pengetahuan jurnalis tentang berbagai terminologi penerbangan, keselamatan penerbangan atau proses investigasi menjadi salah satu sebab pelaporan berita yang kurang akurat.
Sedikit banyaknya hal-hal diatas akan berdampak pada proses investigasi, misalnya:
- Keinginan untuk menghadirkan informasi terkini dari lokasi kecelakaan menjadikan jurnalis kurang awas bagaimana tindakan mereka dapat mengkontaminasi area kecelakaan yang hanya boleh dimasuki oleh para investigator berwenang;
- Kesimpulan-kesimpulan yang masih prematur diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber yang belum tentu akurat dan kompeten sehingga dapat merusak reputasi pihak-pihak tertentu (misalnya pilot), dan
- Saat mencari informasi dari saksi-saksi, tak jarang jurnalis membawa bias karena berbagai kejadian di dunia penerbangan sebelumnya. Belum lagi teknik investigasi yang tentu berbeda dengan yang digunakan oleh para investigator yang memang dilatih untuk menginvestigasi. Media cenderung mencari 'apa penyebab' kecelakaan sedangkan investigator memahami kejadian untuk menentukan 'probable causes' kecelakaan.
Tapi perlu digaris-bawahi bahwasanya tidak semua pemberitaan media itu negatif, misalnya:
- Banyak hal-hal yang tidak bisa diakses oleh publik, bisa diangkat oleh media;
- Media memberikan kesempatan publik untuk memperoleh informasi dan bahkan, tidak jarang, investigasi yang dilakukan oleh media sebelum merilis informasinya ke khalayak ramai jauh lebih akurat dan objektif daripada yang dirilis pihak-pihak tertentu karena adanya berbagai kepentingan didalamnya, dan
- Media memberikan pengetahuan dengan memberikan informasi yang efek sosialisasinya lebih luas dan cepat sehingga akses informasi tidak terbatas untuk kalangan tertentu saja.
Di bawah ini saya akan memberikan contoh 2 kasus kecelakaan yang memperlihatkan dampak positif dan negatif dari pemberitaan media yang mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bersama dalam menyajikan informasi bagi media, dan dalam memilih serta memilah berita bagi penikmat berita.
Salah satu kasus blow up media atas kejadian kecelakaan penerbangan adalah pada tahun 1948 saat DC-3 yang sedang uji coba jatuh di pantai dekat bandara La Guardia, New York dan menewaskan kedua cockpit crew-nya. Hasil temuan di lokasi menunjukkan adanya jejak alkohol didalam tubuh korban tewas. Media lokal langsung menuliskan bahwa alkohol menjadi penyebab kecelakaan tersebut. Sementara itu, investigasi resmi masih berlanjut namun opini publik sudah terbentuk dan berdampak pada keluarga serta kerabat yang ditinggalka.
Setelah proses investigasi selesai, ditemukan bahwasanya alkohol yang ditemukan bukanlah alkohol untuk dikonsumsi, namun wood alcohol atau disebut juga dengan metanol. Alkohol ini sebelum pesawat dioperasikan digunakan untuk de-icing.
Memang kesimpulan investigator berhasil mengklarifikasi dan merehabilitasi reputasi para pilot tersebut, namun bagaimana kondisi yang dialami oleh keluarga dan kerabat sebelum hasil investigasi tersebut keluar? Mereka sudah terlanjur menanggung beban dengan tudingan dan penghakiman bahwa saudara/kerabat mereka adalah alkoholik yang menyebabkan kecelakaan terjadi.
Namun saya juga akan memperlihatkan dampak positif dari media pada kecelakaan penerbangan. Saya ambil contoh dalam pelaporan kecelakaan pesawat kargo El Al B-747 tanggal 4 Oktober 1992 di Amsterdam dan mengakibatkan 43 orang tewas. Peristiwa ini sangat menyedot perhatian publik Belanda karena pesawat menghantam dua gedung apartemen dan menewaskan 39 penghuninya ditambah 4 orang kru pesawat.
Pemberitaan sensasional dengan berbagai spekulasi, rumor serta konspirasi teori mencuat. Apalagi ketika media menulis laporan adanya kemungkinan dampak psikologis paska kejadian. Disini media memunculkan slogan, "a normal reaction to an abnormal event'.
Disini media membangun informasi dari berbagai sumber dengan sangat hati-hati dan informasi ini dibangun tidak terburu-buru karena analisis mereka baru dirilis ke publik pada tahun 1998 dan 1999. Tahun 1998, 6 tahun setelah kejadian, dua media merilis investigasi mereka yang menekankan adanya efek kesehatan yang ditimbulkan dari kecelakaan El Al B-747 atau yang dikenal dengan Bijlmermeer Case.
Dalam kurun waktu 1992 - 1999 ditemukan hingga 6000 klaim kesehatan dari berbagai grup yang terkena dampak kecelakaan, seperti dari penghuni apartemen dan tim SAR. Dan belakangan para pekerja yang mengangkat puing-puing paska kecelakaan juga mengklaim masalah kesehatan. Pada akhir 1999, ada 6430 pelapor yang melakukan medical check up untuk mengetahui efek kesehatan mereka paska kecelakaan.
Laporan investigasi menyebutkan bahwasanya probable causes kecelakaan ini adalah rusaknya pin pengunci yang menyebabkan lepasnya dua engines. Namun, media melakukan investigasi lanjutan tentang adanya faktor kesehatan yang diakibatkan kecelakaan ini. Disini terlihat jelas bagaimana investigasi yang dilakukan media berhasil memberikan informasi yang luput dari perhatian publik.
Dari dua kasus diatas dapat dilihat bagaimana peranan kedua pihak, media dan investigator, dalam pelaporan kecelakaan. Laporan media tidak selamanya buruk dan tidak akurat, namun untuk melahirkan laporan yang akurat dibutuhkan investigasi yang juga memakan waktu lama.
Saya rasa cukup banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi fenomena pemberitaan paska kecelakaan yang ada ditanah air ini, misalnya dengan sentralisasi informasi (adanya spokeperson alias juru bicara) dari pihak otoritas sehingga informasi keluar hanya dari satu corong untuk mengeliminir kesimpang-siuran informasi, adanya tahapan-tahapan press release atau press conference dimulai dari informasi pendahuluan hingga nantinya informasi akhir dari investigasi. Sementara itu, berbagai pihak perlu diberikan edukasi untuk tidak secara sembarangan memberikan pernyataan-pernyataan yang hanya berdasarkan informasi sepotong-sepotong alias terbatas.
Yuk, mari kita jadikan negeri ini lebih baik dengan memberikan informasi yang baik, edukatif dan jauh dari unsur spekulasi. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang objektif dan jauh dari praduga-praduga negatif.
Mari memberikan informasi kepada publik, lakukan dengan objektif, investigatif dan akurat.
Catatan admin: Dessy Aliandrina adalah seorang Doktor di bidang Keselamatan Penerbangan, peneliti mandiri, pernah bekerja sebagai peneliti di ICAO, badan penerbangan PBB.