Awal Juni 2012 di Attadale, Western Australia 6156

Investigasi kecelakaan pesawat telah dilakukan dari sejak awal penerbangan, saat para perancang masih bergelut untuk memahami dinamika gerak terbang pesawat dan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadikan penerbangan sebuah kenyataan bukannya sekedar harapan. Peristiwa yang mendorong agar investigasi kecelakaan pesawat dilakukan secara serius adalah saat penerbangan dijadikan salah satu alat transportasi, karena untuk membuat penerbangan lebih aman bagi masyarakat umum, kita harus memahami mengapa kecelakaan terjadi, sehingga kita dapat berusaha supaya kecelakaan yang sama tidak terulang lagi.

Di bawah ini kita akan membahas sejarah singkat dan perkembangan investigasi kecelakaan pesawat, sehingga kita bisa menelusuri asal usul investigasi kecelakaan pesawat dan perkembangan yang telah dicapai selama ini. Prinsip atau dasar dan standar yang diterapkan dalam investigasi kecelakaan pesawat telah dijadikan tolok ukur dan aturan dalam investigasi kecelakaan untuk jenis transportasi di bidang lain-lain seperti kecelakaan kereta api, kapal laut dlsbnya.

_______________________________________

Konvensi dan prinsip yang mendasari investigasi kecelakaan pesawat penting untuk dipelajari asal-usulnya, karena itulah yang memberikan kerangka kerjasama internasional dalam investigasi kecelakaan pesawat, yang telah membuahkan hasil dalam perbaikan terus menerus dari operasi aviasi atau angkutan udara, khususnya untuk operasi airline atau maskapai penerbangan.

Pada awal sejarahnya, para pionir penerbangan telah mampu melihat potensi penerbangan sebagai alat transportasi, tetapi politik dan birokrasi agak lamban dalam mengantisipasi dan memahami masalah2 yang ditimbulkan oleh penerbangan karena kemampuannya untuk dengan mudah menembus batas2 negara dengan begitu cepatnya.

Negara-negara di Eropa terletak sangat berdekatan satu dengan lainnya, jadi di sanalah muncul kesadaran tentang sisi dunia penerbangan yang bersifat antar bangsa untuk pertama kalinya. Kemudahan pesawat menembus batas negara telah menyadarkan bangsa-bangsa Eropa mengenai perlunya diadakan perjanjian mengenai penerbangan, dan konferensi pertama untuk membahas masalah ini telah diselenggarakan pada tahun 1910. Ada 18 negara yang menghadiri konferensi tersebut dan sejumlah prinsip dasar telah disepakati. Tetapi kemudian Perang Dunia Kedua (PD II) telah menghentikan perkembangan lebih lanjut dari undang2 maupun perjanjian tentang penerbangan internasional.

Aviasi meningkat dengan sangat pesat selama PD I dan ada banyak perkembangan yang telah mendorong kemungkinan transportasi udara secara besar-besaran. Inilah perubahan paradigma kita yang pertama dalam dunia penerbangan.

Seusai PD I teknologi telah berkembang cukup untuk mendukung banyak perusahaan yang memulai jasa transportasi internasional, seperti antara Paris dan London.
Masalah aviasi mendapat perhation yang memadai di Konferensi Perdamaian Paris di tahun 1919 dan selanjutnya diteruskan kepada sebuah Komisi Khusus Aeronotika, yang berasal muasal dari Komite Aviasi Antar Sekutu, yang didirikan pada tahun 1917.

Tahun 1919 merupakan tahun penting dengan adanya Konferensi Perdamaian Paris, Alcock & Brown terbang untuk pertama kalinya dari Barat ke Timur melintasi lautan Atlantik Utara, dan Pesawat yang lebih ringan dari udara Dirigible R34 berhasil terbang dari Skotlandia ke New York dan kembali ke Skotlandia; semuanya itu adalah prestasi orang2 Eropa.

Sekelompok penerbang mendesak dikembangkannya kerjasama internasional yang pada awalnya muncul karena kebutuhan perang, supaya lebih mantap untuk aviasi pasca perang. Mereka yakin bahwa aviasi harus bersifat internasional atau tidak ada sama sekali.

Perancis menanggapi usulan tersebut dan mengusulkannya ke para penguasa sekutu untuk mendapat persetujuan. Usulan Konvensi Udara Internasional dirancang dan kemudian ditandatangani oleh 26 dari 32 penguasa sekutu dan rekan-rekannya yang hadir di Konferensi Perdamaian Paris. Pada akhirnya konvensi udara tersebut diratifikasi oleh 38 negara. Konvensi itu mengandung 43 artikel yang membahas aspek-aspek aviasi sipil dari segi teknik, operasi dan organisasi. Di samping itu juga menjadi cikal bakal didirikannya International Commission for Air Navigation (ICAN) atau Komisi Navigasi Udara Internasional untuk memantau perkembangan dibidang aviasi sipil dan mengusulkan kepada setiap negara anggota untuk mencari solusi dari isu-isu yang bermunculan. Konvensi tersebut mengesahkan semua semua prinsip yang telah dirumuskan di Konferensi Paris tahun 1910. Sebuah sekretariat yang permanen didirikan untuk menunjang komisi tersebut pada tahun 1922.

Tahun-tahun di antara PD I dan PD II ditandai oleh pertumbuhan berkesinambungan di bidang aviasi, baik dari segi teknik maupun komersil, termasuk perkembangan layanan jasa pos udara baik di dalam negeri maupun antar negara. Namun demikian aviasi saat itu masih bersifat transportasi pribadi dan belum menjadi transportasi umum; cuaca selalu menjadi masalah di Eropa dipandang dari segi reliabilitas sedangkan teknologinya belum matang untuk membuat jasa ini harganya terjangkau oleh umum. Iptek Amerika belum cukup maju untuk menumbuhkan industri bidang ini menjadi kekuatan yang disegani di pentas internasional.

Tetapi, dalam kurun waktu antara kedua Perang Dunia, upaya pengembangan kecepatan terbang yang lebih tinggi, reliabilitas yang meningkat dan jarak jangkau yang lebih jauh dilanjutkan terus menerus secara berkelanjutan.
PD II telah menyaksikan pertumbuhan yang bahkan lebih cepat lagi di bidang aviasi dibandingkan dengan saat PD I.

Aviasi militer tumbuh dengan pesatnya dan pemanfaatan serta pengembangannya yang meluas, mendorong tumbuhnya aviasi komersil; untuk pertama kalinya sejumlah besar kargo atau barang dan penumpang diangkut untuk jarak jauh. Aksi angkatan laut dan blokade oleh kapal selam dan juga kebutuhan untuk mengangkut orang dan peralatan diseluruh penjuru dunia dengan cepat, memaksa diakui dan diterimanya kenyataan betapa pentingnya penerbangan jarak jauh internasional.

Sebagai hasil, PD II telah menelurkan pergeseran paradigma berikutnya dengan adanya lompatan teknologi dan konsep2. Aviasi militer tumbuh sangat cepat dan memberi dorongan pada aviasi sipil, sehingga penerbangan antar benua menjadi kenyataan. Rancangan pesawat dengan badan terbuat dari logam berbentuk monocoque, mesin yang lebih terpercaya, mesin pancar gas (jet engine) yang pertama, pesawat terbang amfibi, radar, navigasi dengan radio, dan autopilot adalah beberapa contoh dari kemajuan teknologi yang terjadi saat itu.

Pesawat DC-3 atau Dakota yang tersohor itu, menandai terjadinya perubahan pesawat dari angkutan militer menjadi angkutan sipil.

Selama PD II USA telah mengembangkan sebuah industri berikat, yang berlanjut dengan pengembangan kemampuan untuk membuat pesawat besar dengan cepat, sehingga akhirnya terlibat erat dengan aviasi internasional. Pada tahun 1943 USA memulai studi tentang isu2 aviasi yang muncul yang menegaskan bahwa aviasi tak bisa tidak harus bersifat internasional.

Pada tahun 1944 USA mengundang 55 negara dan otorita untuk menghadiri ICAC atau International Civil Aviation Conference (Konferensi Aviasi Sipil Internasional) pada bulan November 1944. Ada 54 negara yang hadir dan sebuah Konvensi tentang Aviasi Sipil Internasional diresmikan dan disetujui oleh 32 negara. Inilah yang
kemudian dikenal sebagai Konvensi Chicago.

ICAO didirikan

Konvensi tersebut di atas membentuk International Civil Aviation Organisation (ICAO) atau Organisasi Aviasi Sipil Internasional untuk menciptakan peraturan dan standar, dan juga prosedur dan standar yang seseragam mungkin di antara negara-negara, Sekali lagi itulah yang terjadi yaitu sebuah pergeseran paradigma, yang bersejarah.

Konvensi Chicago meletakkan fondasi dari satu set peraturan (rules) dan pengaturan (regulation) untuk navigasi udara, yang menjadikan keselamatan terbang sebagai prioritas utama. ICAO dijadikan badan yang permanen pada tahun 1947 setelah sekitar setahun berbentuk badan sementara (provisional) dan menjadi badan khusus
bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa).

Standar dan praktek yang diusulkan (Standard and Recommended Practices), pertama kali di setujui pada tanggal 11 April 1951 sebagai bagian dari Artikel 37 dari Konvensi Chicago. Itu disebut Annex 13 Konvensi di mana Investigasi Kecelakaan diuraikan dalam Artikel 26 konvensi, yang menekankan keharusan pada negara anggota di mana kecelakaan terjadi untuk memulai sebuah penyidikan. Annex2 lainnya menjelaskan persyaratan2 khusus, misalnya Annex 11 menjelaskan perlunya disediakan dan adanya standar tentang Air Traffic Service (Layanan Lalulintas Udara) atau Annex 2 yang membahas Aturan2 tentang Ruang Udara atau Rules of the Air.

Kerangka yang mengatur standar2 aviasi sipil internasional tidak berubah banyak sejak 1951. Memang aturan dan standar mengalami perubahan, tetapi kerangkanya tetap sama. Annex 13 membahas fondasi dari investigasi kecelakaan dan dalam tulisan ini annex itulah yang disebut dalam rangka membahas masalah investigasi (penyidikan) kecelakaan udara. Annex 13 adalah “kitab suci” yang harus sepenuhnya dikuasai oleh penyidik kecelakaan udara.

Kecelakaan Comet menandai awal dari teknik2 moderen Teknik dan prinsip2 penyidikan pada dasarnya tidak berubah sampai terjadinya kecelakaan pesawat De Havilland Comet diawal 1950an. Pesawat Comet adalah pesawat angkutan sipil jet yang pertama dan menggunakan banyak teknologi terbaru untuk pertama kalinya; dimulai dengan mesin jet sampai penerbangan yang sangat tinggi di atas bumi dan tak berubah-ubah, dan semuanya itu adalah lompatan teknologi ke tingkat yang tak dikenal sebelumnya. Para perancang dan insinyur2 dihadapkan pada persoalan2 baru terkait dengan material dan metoda produksi; hal2 yang sekarang ini dianggap sebagai masalah biasa.

Sukses pesawat Comet dinodai oleh terjadinya beberapa kecelakaan dan kesungguhan sifat ke- internasional-an investigasi kecelakaan pesawat terbukti dalam peristiwa ini. 

Kecelakaan terjadi di India, Italia, Turki, Thailand, Ethiopia, Spanyol dan bahkan di Libya. Sebelum terjadinya kecelakaan pesawat Comet, investigasi kecelakaan cenderung menyebutkan terjadinya “pilot error” atau kesalahan pilot sebagai faktor dominan penyebab kecelakaan.

Memang mudah sekali mencari-cari kesalahan pada manusia yang menjadi benteng pertahanan akhir pencegah kecelakaan. Misalnya, kecelakaan pertama terjadi di Roma di mana pesawat tergelincir keluar ujung landasan dan pada awalnya kapten pilot disalahkan karena melakukan putaran atau rotasi pesawat terlalu awal saat akan
tinggal landas. Tetapi pada akhirnya ditemukan adanya kesalahan rancangan sayap sebagai penyebab utama kecelakaan, khususnya setelah pesawat kedua mengalami nasib yang sama 6 bulan kemudian.

Bulan Januari 1954, ada beberapa saksi mata yang mengatakan mendengar 3 kali ledakan dan melihat sebuah pesawat yang baru saja tinggal landas di Roma dan berada pada ketinggian 30 ribu kaki pecah ber-keping2. Kepingan pesawat jatuh kelaut sedalam 150 m. Karena tidak ada bukti petunjuk lainnya maka anggapannya adalah bahwa mesin telah meledak atau ada sebuah bom di pesawat yang meledak.

Sebagai akibat, ada 60 perubahan dilakukan pada rancangan mesin termasuk pipa bahan bakar baru, detektor asap, dan proteksi dari mesin yang meledak.

Tetapi investigasi yang sungguh2 berbasis ilmiah baru dilakukan setelah satu lagi pesawat Comet mengalami kecelakaan; dan saat itulah yang bisa disebut sebagai titik awal sejarah penggunaan metoda ilmiah dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yang terus dikembangkan lebih lanjut sampai saat ini. Pesawat kedua ini juga hancur berkeping2 di udara dan serpihannya tenggelam didasar laut pada kedalaman lebih dari 1000 m. Sebuah program uji terbang dilakukan tanpa kesimpulan akhir yang memuaskan.

Kemudian bangkai pesawat pertama yang berada di laut yang lebih dangkal diangkat ke permukaan dan di rekonstruksi, dan sebuah airframe lain dipersiapkan untuk diuji stress di bawah air. Dari pengujian tersebut ditemukan bahwa ada 2 keretakan ditempat yang berbeda, dan ini membuat para penyidik menyadari bahwa kelelahan logam (metal fatigue) adalah penyebab kecelakaan. Kelelahan logam tersebut disebabkan oleh perubahan bentuk struktur kristal logam di kulit pesawat yang diperparah oleh kecepatan dan ketinggian terbang yang tinggi. Keretakan itu berakibat pesawat bocor dan mengalami dekompresi dan akhirnya fuselage (badan) pesawat mengalami kegagalan total. Perlu dimaklumi bahwa kelelahan logam sering menjadi penyebab utama kecelakaan pesawat.

Setelah itu pesawat Comet diperbolehkan terbang lagi (setelah dikandangkan selama pengujian berlangsung), dan ternyata beberapa pesawat Comet mengalami kecelakaan lagi, termasuk karena CFIT (Controlled Flight Into Terrain), terjadinya ledakan bom saat pesawat sedang terbang, dan juga kecelakaan saat tinggal landas dan mendarat dan terjadinya kebakaran. Semua masalah tersebut pada akhirnya memberi kesempatan kepada Boeing untuk menyaingi Comet dengan pesawat jet barunya yaitu pesawat Boeing B-707. Douglas juga mulai mengoperasikan pesawat DC-8 nya, dan kecelakaan yang dialami serta persaingan ketat dari Boeing dan Douglas akhirnya menghabisi riwayat pesawat dan perusahaan De Havilland Comet.

Kecelakaan pesawat tetap berlangsung dalam jumlah yang relatif tinggi selama tahun 1960an dan 1970an. Pada tahun 1977 terjadilah kecelakaan pesawat yang melibatkan jumlah kehilangan jiwa terbesar sepanjang sejarah. Kecelakaan yang terjadi melibatkan 2 pesawat Boeing B-747 yang sedang tinggal landas, dan mendorong dimulainya program pelatihan yang disebut CRM atau Crew Resource Management.

Dalam kecelakaan ini sebuah B-747 milik KLM sedang dalam proses tinggal landas dalam kondisi cuaca buruk berkabut tebal di bandara Los Rodeos, Tenerife, sebuah pulau bagian dari Spanyol. Kapten pesawat tersebut lupa atau tidak menyadari bahwa ada pesawat B-747 milik Pan Am yang sedang lari untuk tinggal landas di landasan yang sama, tetapi berlawanan arah dan terjadilah kecelakaan itu yang menelan korban 583 jiwa. Ada bukti yang mengindikasikan bahwa kapten pesawat KLM sangat bernafsu untuk secepat mungkin meninggalkan landasan, dan memang ada kebingungan dalam interaksi antara kru kedua pesawat, dan juga dengan menara ATC. Black box CVR (Cockpit Voice Recorder) menunjukkan bahwa kopilot yang jauh lebih junior dibanding kapten pilot, sebetulnya tidak yakin bahwa mereka telah diberi ijin untuk mulai take-off oleh menara, tetapi karena kurang berani menyatakan pendapat yang bertentangan dengan kapten pilotnya, maka kopilot hanya memberi pernyataan lemah tentang apa yang didengarnya menara mengatakan, bukannya secara jelas mengingatkan kapten pilot bahwa menara belum memberi ijin untuk mulai tinggal landas. Rincian dari laporan tentang kecelakaan ini dapat dibaca di
artikel lain yang dapat diunduh dari internet.

Pada tahun 1988 terjadilah kecelakaan di Lockerbie, Skotlandia, yang menghebohkan itu, di mana Presiden Libya, Kolonel Gaddafi, diduga ikut terlibat memberikan dana kepada kelompok teroris yang meledakkan bom dalam pesawat naas itu. Dalam kasus ini, ada beberapa teknik penyidikan, termasuk rekonstruksi dan simulasi pengulangan peristiwa, yang dikembangkan untuk pesawat Comet, telah diterapkan untuk memecahkan rahasia apa yang sebenarnya terjadi yang berakhir dengan hancurnya pesawat Pan Am 747. Rekonstruksi juga sangat membantu menguak faktor2 yang terlibat dalam kecelakaan pesawat B747 milik TWA ditahun 1996, dan pesawat Swissair MD-11 tahun 1998.

Kecelakaan yang penyidikannya melibatkan peran organisasi adalah kecelakaan pesawat Ansett Airlines di bandara Sydney tahun 1994. Hasil penyidikan menunjukkan bahwa memang ada kesalahan teknis yang menjadi pemicu, yaitu kebocoran oli yang disebabkan oleh kegagalan baut bergerigi yang berfungsi mengencangkan tutup gearbox mesin. Tutup itu menjadi lepas dan menyebabkan oli bocor ke-mana2. Sesungguhnya ada kesempatan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yaitu seandainya petunjuk kerja dalam service bulletin dilakukan, yang pasti akan mencegah kebocoran oli terjadi. Tetapi itu tidak dilakukan.

Walaupun jenis mesin yang sama digunakan pada sejumlah pesawat yang diberi ijin untuk beroperasi pada jarak yang lebih jauh untuk pengoperasian di atas air, tetapi pihak manufacturer tidak mengharuskan bahwa yang direkomendasikan dalam service bulletin harus dilakukan. Pemilik pesawat kemudian mengabaikan saja hal tersebut
karena memang tidak ada keharusan, hanya sekedar saran.

Laporan juga menunjukkan bahwa kru terbang gagal mengenali dan mengoreksi masalah landing gear sebelum melakukan pendaratan, dan apa yang dilakukan kru membuktikan bahwa mereka tidak mengerti tentang CRM, juga tidak memahami prosedur perusahaan tentang pengoperasian B-747, dan juga kekurangan pengalaman flight engineer dan kopilot dengan B-747, serta kemampuan tetap tenang dan tidak gugup dalam menghadapi situasi yang gawat atau kondisi stress.

Tetapi laporan itu juga menarik karena dalam tinjauan ulang (review) peristiwa2 yang terkait dengan masuknya B747 dalam armada perusahaan, ternyata ada faktor2 organisatoris yang melibatkan baik Ansett maupun Civil Aviation Authority, yang berperan neningkatkan kemungkinan kecelakaan jenis ini terjadi. Penyidikan menunjukkan bahwa faktor2 tersebut mencakup kekurangan dalam perencanaan dan penerapan dari program pengenalan pada pesawat baru, khususnya dalam kaitan dengan manual, prosedur dan pelatihan dimedan kerja (dibengkel etc). Selanjutnya, ternyata semua persyaratan pengaturan tidak diberlakukan dan tidak diharuskan. Ini bisa dibaca dilaporan ATSB accident Report 199403038 (bisa dilihat di internet pada
alamat berikut)

https://www.atsb.gov.au/publications/investigation_reports/1994/aair/aair199403038.aspx

Sebagai kelanjutan dari kemajuan dalam teknik penyidikan yang menemukan faktor2 penting yang terlibat dalam kecelakaan2 tersebut di atas, sekarang ini metoda konstruksi pesawat telah bertambah baik, kita jauh lebih memahami perilaku material (logam), juga pada akhirnya disadari bahwa faktor manusia itu juga berperan penting, dan lebih belakangan ini peran organisasi sebagai faktor penyebab kecelakaan mulai diakui dan dimengerti.

Yang perlu dipahami adalah bahwa kunci sukses dalam memecahkan masalah mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan serta berbagi pengalaman da pengetahuan.

Tujuan akhir dari semuanya itu adalah untuk membuat angkutan udara menjadi jauh lebih aman dari sebelumnya, dan masyarakat mempercayai professional di bidang aviasi sipil untuk bertugas secara professional sehingga keselamatan mereka terjamin saat mereka bepergian naik pesawat terbang.