Awal Agustus 2012 di Beeliar, Western Australia 6164
Annex 13 Konvensi ICAO adalah dokumen dasar mengenai investigasi atau penyidikan kecelakaan pesawat terbang angkutan sipil. Ada banyak negara yang telah menyerap isi dari Annex 13 dan memasukkannya ke dalam undang-undang negara tersebut. Pada dasarnya Annex 13 dirumuskan untuk menangani masalah kecelakaan pesawat yang bersifat internasional atau antar bangsa, tetapi dalam prakteknya kebanyakan negara juga menerapkannya untuk
kasus-kasus penyidikan kecelakaan pesawat dalam negeri, yang tidak melibatkan bangsa lain.
Ada beberapa hal yang perlu dibahas yang berkaitan dengan Annex 13, yang telah membuatnya begitu bermanfaat dalam memastikan sebisa mungkin agar penerbangan angkutan sipil menjadi aman selamat dan calon penumpang tidak ragu-ragu untuk menggunakan jasa transportasi ini. Hal-hal yang perlu dibahas di antaranya adalah
- Tujuan penyidikan
- Kewajiban negara-negara terkontrak atau negara-negara penanda tangan konvensi Chicago, anggota ICAO
- Definisi kosa kata yang digunakan
- Standar dan Praktek-praktek yang disarankan atau SARP (Standard and Recommended Practices)
Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, kunci sukses dalam memecahkan masalah mencari penyebab kecelakaan adalah Annex 13. Dokumen tersebut memberi kerangka untuk persetujuan, tanggung jawab dan konvensi untuk bekerjasama, bekerja berdasarkan standar tertentu, dan mengumpulkan data serta berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Sekarang marilah kita pelajari secara lebih rinci apa saja hak dan kewajiban dari setiap negara terkontrak yang mungkin saja terlibat dalam penyidikan kecelakaan pesawat. Tentu saja kita harus menyadari bahwa dalam penyidikan kecelakaan pesawat pasti saja terdapat masalah-masalah yang berkaitan dengan emosi, bukan saja dengan iptek, ataupun logika dan penalaran yang tepat. Semua hal tersebut tentu saja harus diakomodasi oleh Annex 13.
Konvensi Chicago di tahun 1951 adalah momen yang sangat menentukan dalam perkembangan dunia penerbangan sipil internasional yang masih terus berkelanjutan sampai kini. Calon penumpang tidak akan bersedia terbang naik pesawat bila mereka meragukan keselamatan diri mereka kalau naik pesawat. Annex 13 telah memungkinkan dilakukannya penyidikan kecelakaan pesawat yang pada akhirnya berhasil membuat perjalanan naik pesawat jauh lebih aman selamat dibandingkan dengan transportasi jenis lainnya. Artikel 26 dari Konvensi mewajibkan adanya persyaratan untuk melakukan penyidikan kecelakaan pesawat terbang, dan Annex 13 tumbuh berkembang dari persyaratan konvensi tersebut, sesuai dengan perkembangan jaman.
Annex 13 selalu diperbarui disesuaikan dengan tuntutan jaman dan perkembangan iptek mutakhir di bidang keselamatan terbang. Sejarah perubahan-perubahan dan perbaikan yang dilakukan pada Annex 13 dapat dibaca di prakata Annex, termasuk perubahan-perubahan yang dibuat pada setiap edisi.
Sebaiknya perlu diingat di sini bahwa Konvensi Chicago itu mencakup banyak hal, bukan sekedar Annex 13, dan di antaranya adalah standar tentang airport (bandara), perijinan yang bersangkutan dengan penerbangan sipil dan lain
sebagainya, Informasi tentang semua annex dari Konvensi Chicago dapat dibaca langsung di situs web ICAO di alamat http://www.icao.int/Pages/default.aspx , sedangkan di sini kita hanya akan membahas Annex 13 secara lebih rinci.
Seperti telah dibahas dalam tulisan sebelumnya, para pionir dan perintis dunia penerbangan angkutan sipil dari sejak awalnya telah menyadari bahwa penerbangan pasti bersifat antar bangsa, karena pesawat bisa melintasi batas
negara dengan begitu mudah dan cepatnya, berbeda dari angkutan darat maupun angkutan laut, Hal ini menimbulkan banyak masalah baru yang perlu ditangani dan dicarikan solusinya, termasuk bagaimana cara melakukan penyidikan kecelakaan pesawat, yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan untuk secara terus menerus, berkesinambungan, memperbaiki keselamatan terbang di seluruh dunia.
Annex 13 menjadi dasar untuk penyidikan kecelakaan pesawat, dan sejarah menunjukkan mengapa perjanjian dan kesepakatan yang tertuang dalam Annex 13 itu memang sangat diperlukan. Di antara banyak alasan mengenai perlunya Annex 13 adalah kenyataan bahwa penyidikan kecelakaan pesawat membutuhkan keahlian yang hanya dimiliki secara bersama oleh semua negara di dunia. Sebagai sebuah perjanjian internasional, memang semua negara terkontrak (penanda tangan Konvensi Chicago) punya kewajiban untuk menghormati semua butir yang telah disepakati bersama. Namun demikian perjanjian Konvensi Chicago tersebut tentu saja tidak bisa menggantikan undang-undang yang berlaku di negara terkontrak. Itulah sebabnya mengapa setiap negara terkontrak harus membuat undang-undang yang sedapat mungkin membuat negara tersebut mampu menghormati kesepakatan bersama yang tertuang dalam Annex 13 dan tidak bertentangan dengan undang-undang dalam negeri yang berlaku di negara tersebut.
Tujuan Penyidikan Kecelakaan Pesawat
Supaya bermanfaat, Annex 13 harus menjabarkan sejelas-jelasnya mengenai tujuan dari penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat dan bukan untuk mencari kambing hitam menuding siapa yang bersalah. Hal ini selalu ditulis di bagian depan dari setiap laporan resmi mengenai penyidikan kecelakaan pesawat oleh otorita yang berwewenang, misalnya NTSB di Amerika Serikat atau KNKT di Indonesia.
Ini sangat penting untuk diperhatikan, khususnya oleh para penegak hukum dan pembuat undang-undang. Polisi tidak boleh memaksa penyidik KNKT atau NTSB misalnya untuk menyerahkan hasil wawancara penyidik dengan mereka yang terlibat dalam kecelakaan, misalnya pilot dan kru terbang pesawat naas itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka yang bersalah tidak bisa dituntut ke pengadilan, hanya saja polisi harus melakukan penyidikan mereka sendiri yang memang berusaha untuk menentukan siapa yang bersalah dan apakah ada tindakan pidana yang telah dilakukan. Penyidikan polisi ini bisa dilakukan pada saat bersamaan dengan penyidikan oleh KNKT misalnya. Biasanya dalam masalah kecelakaan ada masalah asuransi yang terlibat. Perusahaan asuransi biasanya juga mengirim penyidik mereka sendiri untuk menentukan apakah ada yang berhak mendapat asuransi, yaitu untuk menentukan bahwa yang terjadi adalah murni kecelakaan dan tidak ada unsur kriminalitas yang terlibat. Jadi dalam penyidikan kecelakaan pesawat bisa jadi ada 3 tim yang terlibat melakukan penyidikan, yaitu tim KNKT (atau sejenis dari negara lain), polisi dan penyidik asuransi. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa penyidik KNKT (atau sejenis) HARUS diberi prioritas untuk mengumpulkan dan memeriksa barang bukti serta para saksi dan lain sebagainya. Seringkali memang terjadi tabrakan kepentingan dan polisi akan berusaha mengintimidasi para penyidik KNKT (atau sejenis) supaya memberikan semua laporan hasil wawancara dengan saksi dan lain sebagainya, kepada polisi untuk digunakan sebagai barang bukti dipengadilan. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa itu tidak diperbolehkan dan negara harus memiliki undang-undang yang memperbolehkan dan melindungi para penyidik KNKT (atau sejenis) untuk melakukan penyidikan tanpa interferensi dari pihak kepolisian ataupun pihak berwajib terkait lainnya, dan punya prioritas terhadap akses ke barang bukti.
Memang sangat disayangkan bahwa kebanyakan negara memiliki undang-undang yang sering berseberangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago yang ditandatanganinya. Kita tahu bahwa dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda yang tergelincir di landasan bandara di Jogjakarta beberapa tahun yang lalu, polisi telah menahan pilot yang dianggap bersalah dan melakukan tindakan pidana, sebelum para penyidik KNKT selesai melakukan tugas penyidikan mereka. Perlu diketahui bahwa ini tidak terjadi hanya di Indonesia ataupun negara-negara Asia lainnya, tetapi juga di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris dlsbnya. negara-negara Eropa juga bermasalah dengan hal ini.
Misalnya saja, Perancis yang undang-undangnya telah dibuat sejak jaman Napoleon, jauh sebelum ada pesawat terbang, juga punya masalah ini. Kalau Indonesia punya KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), Amerika punya NTSB (National Transportation Safety Board), Australia punya ATSB (Australian Transport Safety Bureau), Inggris Raya punya AAIB (Air Accidents Investigation Branch), maka Perancis punya BEA (Bureau Enquêtes-Accidents). Pada bulan Juli tahun 2000 telah terjadi kecelakaan pada pesawat supersonik Concorde. Sesuai undang-undang Perancis yang sudah ada sejak jaman Napoleon, pengadilan negeri Perancis punya prioritas dalam melakukan penyidikan pada kasus kecelakaan pesawat ini, dan tim penyidik BEA terpaksa melakukan negosiasi dengan pihak pengadilan negeri untuk mendapatkan akses ke barang bukti. Tentu saja ini bertentangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago yang telah ditanda tangani Perancis! Konflik dengan pengadilan negeri Perancis itu telah digaris bawahi oleh para penyidik Inggris yang menjadi anggota tim penyidik BEA tersebut, yang menegaskan bahwa Perancis tidak sepenuhnya menghormati kesepakatan Konvensi Chicago (lihat laporan UK Participant Report BEA Report fsc000725a).
Hal yang sama juga terjadi di Selandia Baru di mana polisi berusaha memanfaatkan rekaman CVR (Cockpit Voice Recorder) untuk menuntut para pilot pesawat Dash 8 yang mengalami musibah. Konflik antara pengadilan negeri dengan ATSB juga terjadi di Australia, apalagi karena hukum dan undang-undang mengenai penyidikan kecelakaan di setiap state (negara bagian) Australia itu berbeda-beda. Konflik pernah terjadi di Western Australia dimana pengadilan negeri menuntut agar hasil penyidikan ATSB diserahkan ke pengadilan negeri, tetapi ini ditolak oleh ATSB. Untuk menghindari masalah serupa ATSB membuat sebuah memorandum saling pengertian (MOU) dengan pengadilan negeri negara bagian Tasmania.
(lihat laporan di alamat http://www.atsb.gov.au/media/48048/tas_coroner.pdf)
Di Australia penyidikan kecelakaan pesawat diatur dalam undang-undang pemerintah Federal yaitu Transport Safety Act and Regulations 2003 yang secara jelas menegaskan persyaratan yang harus dipenuhi Australia dalam memenuhi kewajibannya sebagai penandatangan Konvensi Chicago. Namun demikian ada banyak pengadilan negeri negara bagian yang sangat curiga dengan konsep tidak mencari kambing hitam menentukan siapa yang salah dari Annex 13, dan oleh karena itu konflik dengan ATSB dalam melakukan penyidikan, terutama di mana ada penumpang atau kru pesawat yang meninggal dunia, masih bisa saja terjadi.
Kebanyakan negara panandatangan Konvensi Chicago memang telah mengadopsi tujuan Annex 13. Misalnya saja peraturan atau undang-undang Inggris menyebutkan bahwa: “Tujuan dasar dari penyidikan kecelakaan yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah untuk menentukan situasi dan kondisi penyebab kecelakaan, dengan maksud untuk menyelamatkan kehidupan dan menghindari terjadinya kecelakaan di masa depan; tujuan ini bukan untuk menentukan siapa yang bersalah dan bertanggung jawab”. undang-undang Australia mengatakan bahwa: “Kekuasaan dalam undang-undang ini yang terkait dengan navigasi dan pesawat udara, hanya boleh digunakan untuk tujuan:
- (a) Memperbaiki keselamatan navigasi udara yang dilakukan dalam perdagangan atau untuk tujuan komersial dengan negara lain ataupun antara negara-negara bagian Australia
- (b) Memperbaiki keselamatan navigasi udara
- (i) di luar Australia
- (ii) di dalam Territory, atau dari dan ke Territory
- (iii) di wilayah pemerintah Federal atau ke dan dari wilayah pemerintah Federal
- (iv) pada pesawat yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah korporasi yang konstitusional ataupun merupakan lembaga Commonwealth
- (v) sehubungan dengan di mana penerapan kekuasaan negara bagian berlaku
- (vi) sehubungan dengan hal-hal lain yang terkait di mana Parlemen Federal berhak untuk membuat undang-undang
- (c) terkait dengan menghormati sebuah perjanjian internasional atau
- (d) hal-hal yang menjadi masalah internasional
Penyidik harus mawas diri dan selalu waspada supaya tidak bertindak semena-mena dan sekaligus menjadi hakim, juri serta algojo; khususnya di mana pihak pengadilan negeri kadang-kadang menghimbau agar penyidik keselamatan terbang melakukan tugas penyidik polisi dan kejaksaan. Pihak pengadilan negeri sering menekan para penyidik keselamatan terbang untuk mengikuti kehendak mereka seperti memberikan hasil rekaman penyidikan dan tata cara mengumpulkan data rekaman penyidikan. Para penyidik juga harus menerima kenyataan bekerja dalam ruang lingkup sistem hukum dan politik yang berlaku di dalam negeri, yang mungkin saja tidak “terbuka” ataupun “tidak menuduh” seperti yang dijabarkan oleh ICAO ataupun Annex 13.
Definisi kosa kata yang digunakan
Annex 13 menggunakan istilah “contracting state” atau negara terkontrak, yaitu negara yang menanda tangani Konvensi Chicago dan menjadi anggota ICAO. Kalau terjadi suatu kecelakaan pesawat yang melibatkan lebih dari 1 negara, Annex 13 menyebutkan bahwa “contracting state” itu diberi sebutan yang berbeda tergantung dari peran masing-masing, yaitu “state of occurrence”, “state of registry”, “state of operator”, “state of design” dan “state of manufacture”. Arti dari sebutan tersebut diberikan di bawah ini State of Occurrence atau Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK).
NTKK adalah negara di wilayah siapa terjadi kecelakaan pesawat. Biasanya ini cukup jelas dan mudah dimengerti, tetapi kadang-kadang cukup membingungkan. Sebagai contoh adalah Timor Leste saat menjadi UN Protectorate atau negara dalam perlindungan PBB. Untuk kasus ini siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga seandainya terjadi kecelakaan pesawat terbang di Irak saat telah diduduki oleh Amerika Serikat dan belum memiliki pemerintahan sendiri. Kalau terjadi kecelakaan di Libya saat terjadi perang saudara disana, siapa yang menjadi NTKK? Demikian juga dengan situasi di Siria saat ini.
Di samping itu walaupun hampir semua negara yang memiliki maskapai penerbangan atau airlines, biasanya adalah negara terkontrak atau anggota ICAO karena kalau tidak maka airlines nya pasti tak boleh beroperasi di negara lain. Ada juga negara seperti Taiwan yang bukan negara terkontrak. Taiwan oleh dunia internasional dianggap sebagai provinsi dari negara Cina, dan oleh karena itu tidak bisa menjadi anggota ICAO. Namun demikian Taiwan dalam kenyataannya memang berdiri sebagai sebuah negara tersendiri, terlepas dari RRC dan kecelakaan terbang bisa saja terjadi di sana. Tentu saja untuk kasus ini secara resmi mestinya RRC adalah negara terkontrak, tetapi dalam prakteknya ya tidak ada negara terkontrak! Taiwan memang bukan negara terkontrak, tetapi supaya airlinesnya bisa beroperasi di seluruh dunia, maka Taiwan dalam prakteknya bertindak sebagai negara terkontrak. Kalau terjadi kecelakaan pesawat di Taiwan, maka walaupun secara resmi Taiwan bukan NTKK, namun Taiwan bertindak seolah-olah dia adalah NTKK.
State of Registry atau negara tempat registrasi pesawat disingkat negara registrasi
Setiap pesawat yang beroperasi di dunia pasti diregistrasikan disebuah negara, seperti halnya juga dengan mobil. Misalnya saja Air Asia yang merupakan perusahaan Malaysia memiliki pesawat yang beroperasi di Indonesia di bawah naungan Air Asia Indonesia misalnya, dan pesawat tersebut diregistrasikan di Indonesia, maka untuk pesawat tersebut negara registrasi adalah Indonesia dan bukan Malaysia.
State of Operator atau negara pengoperasi pesawat disingkat sebagai negara operator
Ini adalah negara tempat berbisnis utama bagi pengoperasian pesawat, atau kalau tempat seperti itu tidak jelas atau tidak ada maka ini adalah tempat di mana operator pesawat bertempat tinggal secara permanen. Negara operator ini kadang-kadang cukup membingungkan.
Sebagai contoh, pada bulan Januari 2003 terjadi kecelakaan pesawat IL75 di Timor Leste. Laporan tentang kecelakaan ini bisa dibaca di alamat berikut
http://legacy.icao.int/fsix/sr/reports/03000200_final_report.pdf
Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pemilik pesawat bertempat tinggal di UAE dan pesawat tersebut disewakan (leased) ke sebuah perusahaan yang beroperasi di Laos, di mana Department of Civil Aviationnya telah menerbitkan sebuah AOC (Air Operator Certificate) atau Ijin Pengoperasian Pesawat kepada sebuah perusahaan Laos. Operator Laos itu kemudian menyewakan ulang (subleased) ke sebuah perusahaan yang berbasis di Kamboja. Tetapi pemilik pesawat kemudian mengatakan bahwa mereka belum memberikan ijin untuk sewa ulang atau sublease itu, jadi secara resmi sublease itu belum terjadi dan ini kemudian dkonfirmasikan oleh operator Laos dan Kamboja yang bersangkutan. Jadi pertanyaannya adalah: siapa sebenarnya negara operator dalam kasus ini? Walaupun pada akhirnya setelah ditelusuri secara cermat ditentukan bahwa negara operator adalah Laos, tetapi jelas bahwa penentuan siapa negara operator itu kadang-kadang bisa cukup membingungkan.
State of Design atau negara perancang (negara desain)
Negara perancang adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang bertanggung jawab untuk “type design” pesawat. Misalnya saja Amerika Serikat adalah negara perancang untuk pesawat Boeing B-737. Tetapi kadang-kadang bisa saja terjadi sedikit kerancuan. Misalnya saja siapa negara perancang untuk pesawat CN-235? Secara resmi mungkin negara perancang adalah Spanyol karena Spanyol lah yang mengantongi sertifikat jenis pesawat (type certificate) dari FAA, tetapi dalam prakteknya penyidik akan mengatakan bahwa negara perancang adalah Spanyol dan Indonesia karena pesawat CN-235 memang dirancang bersama oleh Spanyol dan Indonesia.
Contoh lain adalah Bell Helicopter, yang telah memindahkan tanggung jawab perancangan dan sertifikasi helikopter tuanya ke Kanada, walaupun sebagian besar perancangannya telah diselesaikan di Amerika Serikat. Dalam kasus ini secara resmi Kanada adalah negara perancang tetapi dalam prakteknya penyidik akan mengatakan bahwa negara perancang adalah Amerika Serikat dan Kanada. Pesawat terbaru seperti Boeing B-787 dan lain sebagainya itu juga dirancang di banyak negara. Walaupun B-787 secara menyeluruh dirancang oleh Amerika Serikat, tetapi sayapnya dirancang oleh Jepang dan komponen trailing edge dari sayapnya dirancang oleh Australia. Pesawat Airbus juga tidak jelas siapa perancangnya, karena melibatkan Perancis, Inggris, Jerman dan Spayol dan mungkin negara lainnya lagi.
State of Manufacture atau negara manufaktur
Negara manufaktur adalah negara yang membawahi secara hukum organisasi yang bertanggung jawab untuk “final assembly” atau perakitan akhir pesawat, di mana komponen-komponen pesawat bisa saja didatangkan dari berbagai negara lain. Jadi yang perlu dipertimbangkan adalah dimana perakitan akhir pesawat itu dilakukan, bukan dimana
komponen-komponennya dibuat. Walaupun kelihatannya ini cukup jelas, tetapi kadang-kadang bisa jadi ada kerancuan juga. Misalnya saja komponen-komponen pesawat CN-235 itu dibuat di Indonesia dan di Spanyol, dan ada pesawat CN-235 yang dirakit di Indonesia, tetapi ada juga yang dirakit di Spanyol. Pesawat Boeing kebanyakan di rakit akhir di Amerika Serikat, tetapi ada juga yang di rakit akhir di Cina. Contoh yang lain adalah helikopter EC120 produksi Eurocopter, yang boleh jadi dirakit akhir di Perancis, tetapi bisa jadi juga dirakit akhir di Australia atau di Cina.
Karena Annex 13, dan juga laporan hasil penyidikan kecelakaan pesawat internasional oleh KNKT atau NTSB dlsbnya adalah dokumen resmi yang berkekuatan hukum, maka setiap perkataan yang digunakan didalamnya harus dirumuskan dan memiliki arti yang jelas dan tidak menimbulkan kerancuan tentang apa yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa perkataan-perkataan tersebut harus dirumuskan dengan jelas.
bersambung ke bagian 2