Tahun 1995, musim panas sudah mulai berakhir di Texas. Saya sudah mengantongi sertifikat instrument rating. Cuaca kurang bersahabat karena ada tropical cyclone di Gulf of Mexico. Angin berhembus dengan keras. Keadaan ini diperburuk dengan cold front yang datang. Iklim yang tadinya mirip dengan di Indonesia, jarak pandang bagus dengan suhu di atas 30°C, tiba-tiba turun sampai di bawah 10°C dengan jarak pandang hanya ratusan meter saja.

Awan yang tadinya tinggi, turun rendah seolah melaju di atas atap apartemen kami. Beberapa rekan siswa dari Indonesia yang masih belum mempunyai instrument rating terpaksa harus tetap di darat membaca buku, menonton video pelajaran atau bahkan hanya menonton tv menunggu cuaca yang lebih baik untuk terbang.

Instruktur saya, Mark, mengajak terbang bersama untuk menambah kemampuan terbang instrumen saya. Tentunya saya menyambutnya dengan senang hati, biarpun saya tahu dia ingin terbang karena posisinya sebagai instructor group leader membuat dia lebih banyak di kantor daripada terbang dengan siswa.

Pagi itu, di tengah cold front, jarak pandang tidak lebih dari 200an meter, tapi laporan cuaca di ATIS menyebutkan jarak pandang di landasan 600 meter. Cukup untuk melakukan ILS approach. Kami menyiapkan pesawat. Pada waktu taxi sudah susah untuk melihat ke depan. Suhu turun di bawah 10°C. Waktu itu saya belum tahu, suhu di bawah 10°C dan visible moisture (fog, awan, hujan, dll) sudah masuk ke icing condition. Kondisi di mana bisa terjadi es di bagian pesawat, baik mesin maupun sensor lainnya

Saya yang terbang. Harusnya saya yang berbicara di radio, tapi Mark bilang, “saya saja yang mengurus radio supaya kita seperti terbang dengan pesawat multi-crew”. Saya tidak keberatan. Kami sering mengkhayal terbang di kokpit yang besar. Padahal dengan badannya yang besar, berat hampir 100kg dan tinggi di atas 180cm, saya selalu merasa susah untuk meraih tuas flap yang tertutup kakinya. Sekarang kami sudah mendapatkan khayalan kami, terbang di kokpit multi-crew yang lebar. Alhamdulillah.

Take off, awalnya tidak ada yang terasa aneh. Naik ke 500 kaki, speed saya masih naik dengan moncong pesawat yang mendongak tinggi. Saya bilang ke Mark, “Kenapa nose pitchnya tinggi sekali ya?”,”ah, itu karena suhu yang rendah jadi kinerja pesawat meningkat”. Hmm, benar juga. Kami terdiam sejenak.

Kami tetap naik ke 2000 kaki, saya merasa pesawat melambat, tapi instrumen menunjukkan hal lain, kecepatannya meningkat di atas climb speed. Saya tarik yoke untuk naik lebih curam dan menurunkan kecepatan ke climb speed. Perasaan saya pesawat melambat, tapi instrumen berkata lain. Kami diajarkan untuk percaya pada instrumen pesawat pada waktu tidak ada referensi lain.

Memang tidak ada referensi lain, di luar pesawat semuanya putih. Kami masuk awan sesaat setelah lepas landas.

Tiba-tiba pesawat bergetar dengan lembut dan makin lama makin kuat. Saat itu kami sadar bahwa pesawat akan stall. Di saat yang hampir bersamaan kami berseru, “Pitot blocked!”. Saya turunkan dorong yoke ke depan, nose pitch turun. Selanjutnya bisa kami tebak, kecepatan di indikator, -indicated airspeed-, tidak lagi naik, bahkan kalau kami turun, airspeed ikut turun.

Airspeed indicator mendapat bacaan dari pitot tube. Sebuah sensor seperti pipa yang menghadap ke depan. Alat ini berlaku sebagai sensor yang mengukur banyaknya tekanan udara yang masuk. Hasil pengukuran ini digunakan untuk menampilkan kecepatan pesawat di airspeed indicator.

Yang terjadi pada kami adalah penyumbatan es pada pitot tube sehingga tekanan yang ada di indikator terjebak di dalamnya. Efek yang terjadi menyebabkan airspeed indicator berperilaku seperti altimeter, penunjuk ketinggian. Makin tinggi pesawat makin tinggi pembacaan di indikator. Itulah sebabnya waktu saya tarik yoke untuk menaikkan moncong pesawat, indikasi kecepatan bukannya turun malah naik. Sebabnya karena ketinggian pesawat makin meningkat. Kalau kami turunkan pesawat maka indikasi kecepatan akan turun.

Jadi bagaimana untuk tahu kecepatan pesawat? Tidak bisa. Dengan kata lain pesawat bisa saja terlalu cepat, overspeed dan semuanya lepas berantakan. Kemungkinan kedua pesawat akan stall.

Cara menanggulanginya adalah dengan menjaga pesawat pada ketinggian yang tetap. Level flight. Langkah selanjutnya adalah menyetel thrust dengan putaran mesin yang biasa dipakai pada waktu cruise. Di pesawat kami waktu itu, setting yang dibutuhkan adalah sekitar 2200 RPM.

Pesawat sudah stabil. Mark bilang ke ATC bahwa kami punya masalah dengan indikasi. ATC memberi radar vector untuk kembali dan melakukan ILS approach.

Pada waktu kembali, Mark minta agar ATC memberikan ground speed yang tertera di radar ATC. “102 Knot”. Kami sadar, bahwa kami mengalami tail wind. Angin berhembus dari belakang. Seharusnya kecepatannya adalah sekitar 70an knot. Ditambah angin yang mendorong dari belakang, kecepatan kami di radar menjadi lebih dari 100 knot.

Percakapan antara kami ini dan dengan ATC adalah gambaran keadaan waktu itu karena saya sudah lupa percakapan detilnya.

Mark berkata,” Fadjar, I have the airplane. I gonna ask ATC to read the radar speed during approach”. Maksudnya dia yang akan terbang. 

Pada waktu berbelok ke final approach, kami menjadi melawan angin. Headwind. ATC mulai membacakan ground speed kami, "80, 70, 50, 46, 45, 43, 42 knot, are you okay? I have only 38 knot!"
Mark menjawab, “its okay, we have strong headwind”.
Roger”, petugas ATC terdengar lega.

Angin melaju sekitar 35 knot dari depan kami, jadi dengan kecepatan sekitar 70an knot di udara, maka kecepatan kami dari darat hanya sekitar 35an knot.

Mark terbang di atas glide slope sehingga kami tidak bisa melihat landasan. Go around. Di approach yang kedua kami mendarat dengan selamat. Baju kami ternyata basah kuyup dengan suhu sedingin itu. Pelajaran berharga yang akan saya tetap ingat bahwa es bisa terjadi di suhu di atas 0°C. Pelajaran berharga, bahwa mengetahui pitch dan power setting bisa menyelamatkan diri kita pada waktu mengalami "unreliable speed".