Tanggal 12 Desember 2012, penulis menerbangkan rute Jakarta – Pontianak yang mengalami keterlambatan dikarenakan cuaca di bandara Supadio, Pontianak, berada di bawah kondisi cuaca minimum untuk melakukan pendaratan.

Saat turun dari ketinggian jelajah untuk melakukan pendaratan, sesekali kami harus menghindar dari awan yang tertangkap di Weather Radar. Tidak lama setelah itu ATC melaporkan kondisi cuaca kembali menurun di bawah landing minima , dan kami harus menunda pendaratan dengan melakukan beberapa kali holding sambil menunggu kondisi cuaca membaik.

Beberapa data penerbangan saat itu sebagai berikut:

METAR waktu terdekat saat pendaratan,

WIOO 121130 Z 23006KT 2000 -TSRA FEW009CB BKN008 23/23 Q1009RMK CB OVER THE FIELD NOSIG

METAR sekitar 1 jam sebelum pendaratan,

WIOO 121030 Z 34011KT 3000 RA FEW009CB BKN007 24/24 Q1008 CB OVER THE FIELD NOSIG 

Beberapa NOTAM yang menjadi perhatian kami:

CTN RWY IS SLIPPERY WHEN WET. 13 NOV 03:50 2012 UNTIL 31 DEC 23:59 2012. CREATED:  13 NOV 03:51 2012
RWY 15/33 NML OPS BUT CTN ADZ DUE TO STANDING WATER DURING AND AFTER HEAVY RAIN, PSN AS FLWS:
- RWY 15 ON THR WITH AN AVERAGE HEIGHT OF WATER 1CM-4CM
- RWY 33 ON TOUCH DOWN AND TURNING AREA WITH AN AVERAGE HEIGHT  OF WATER 1CM-3CM. 07 NOV 13:05 2012 UNTIL 31 DEC 23:59 2012. CREATED: 07 NOV  13:06 2012  

Bermodalkan pengetahuan teori mengenai teknik pendaratan di landasan yang basah dan tergenang air, pembahasan saat approach briefing saya salah satunya mengenai melakukan Firm Landing saat mendarat nanti. Saya menganggap Firm landing = Positive landing.

 

||    Firm: Strong and sure: a firm grasp

 

Namun apakah perbedaan Positive Landing dan Hard Landing? Setelah saya melakukan pencarian ke beberapa web site, berikut ini yang saya temukan mengenai hal di atas:  

“Hard Landing: An event during landing that results in excessive G-forces being transmitted into the structure of the aircraft and may result in an inspection for damage to the aircraft.”

 

-aviationglossary.com


Satu kejadian di mana saat pendaratan terjadi, benturan yang dirasakan oleh struktur pesawat, harus mendapatkan inspeksi khusus untuk mendeteksi adanya kemungkinan rusaknya satu atau beberapa bagian struktur pesawat atau lainnya yang mungkin berpotensi menghasilkan kursakan lebih lanjut.

 

Berapa besar G-force Hard landing ?

Pertanyaan berikut yang muncul adalah seberapa besar G-Force untuk terkategori sebagai 'Hard Landing'?

Dari pencarian data mengenai peristiwa 'Hard Landing' yang sampai menyebabkan kerusakan pada bagian pesawat, saya menggunakan data kejadian PK-KKV (Boeing 737-300), 21 February 2007 yang mengakibatkan kerusakan struktural di bagian badan pesawat. Saat mendarat, Flight Data Recorder (FDR) mencatat benturan lebih dari 4.0G.

Kemudian kejadian PK-GGO (Boeing 737-300) yang mengalami Hard landing pada tahun 2011, yang menyebabkan kerusakan pada beberapa bagian pesawat namun masih dapat diperbaiki dan pesawat dapat kembali diterbangkan, tercatat lebih dari 3.0G benturan yang direkam oleh FDR.

Agustus 2012, satu Airbus A320 mengalami hard landing di Berlin dengan impact 4.1G setelah mengalami 'bounce landing' (Impact pertama saat mendarat tercatat 1.9G). Pada awalnya pesawat dilaporkan stabil dalam saat approach sampai dengan sekitar 100 FT AGL, pesawat mengalami kehilangan sedikit daya angkat (sink ). Mengakibatkan kerusakan struktur.

Hasil dari hard landing tidak akan selalu sama, Berbeda-beda tergantung dari airframe landing cycle, existing damage mapping / damage point pada fuselage yang pernah dialami sebelumnya.

Satu saat saya berkesempatan untuk datang ke bagian pengolah data penerbangan, yang mencatat setiap parameter data dari penerbangan. Tanpa sengaja, saya menemukan penerbangan saya masuk dalam kategori merah (Ada limitasi yang terlewatkan). Saya sudah menyangka itu adalah penerbangan saya sebelumnya di Pontianak. Setelah diperiksa, ternyata benar.

 

Dari data yang diperoleh, pesawat saya mencatat benturan sebesar 2.15G saat mendarat. Pesawat sudah menjalani pemeriksaan Hard landing, dan syukurlah tidak didapati kerusakan. Terlebih lagi bersyukur tidak ada yang mengalami cedera.

Saya mendapatkan informasi dari pengawas data penerbangan ini bahwa diperusahaan saya bekerja, para teknisi pesawat sudah menyepakati memberikan angka 2.0G adalah batasan untuk kategori hard landing pesawat Boeing 737 di perusahaan saya. Jadi saya beranggapan bahwa di perusahaan lain, besarnya G-Force untuk kategori hard landing dapat lebih kecil atau lebih besar, tergantung dari kebijakan perusahaan atau pihak perancang pesawat (manufacturer requirement).

Semua penerbang pasti mengetahui bahwa setiap pendaratan tidak pernah sama. Dengan melakukan teknik yang sama di lain pendaratan, hasilnya akan berbeda karena banyak faktor yang mempengaruhi. Menurut saya di situlah bentuk seni menerbangkan pesawat.

Teknik mendarat yang saya gunakan hingga bisa menghasilkan 'Vertical Acceleration' 2.15G, saat itu  tidak mengalami perubahan rate of descent yang significant dari approach rate of descent. Dengan anggapan, cara tersebut akan menghasilkan firm landing dan bukan hard landing. Namun kenyataan berkata lain. Pada saat fase Approach, maneuver pesawat masih masuk kategori Stabilize Approach, tidak ada yang keluar dari batasan kriteria tersebut mulai dari saat turun mengikuti glideslope sampai sesaat mendekati 50FT AGL, saya merasa Control Column didorong sedikit, sepertinya untuk mencegah overshoot jika saya nantinya 'floating' (Flare yang mengakibatkan pesawat level cukup lama sebelum menyentuh landasan). Pada rekaman data penerbangan tercatat rate of descent sebesar 1194 FPM (Feet Per Minute) yang tertinggi sesaat sebelum mendarat, yang kemudian langsung berkurang. Kami berdua sepertinya sudah lebih memantau sink rate secara visual, sehingga tidak ada yang menyadari jika sink rate pesawat sudah lebih dari 1000FPM (Tidak terdengar aural warning dari EGPWS 'Sink Rate'). Berhubung saya diberitahu untuk melakukan abrupt close thrust levers di 10FT AGL, maka tidak ada dampak yang besar (Kira-kira touch down rate sekitar 600 – 800 FPM dari rekaman data penerbangan).

Pada artikel FlightSafety bulan Agustus 2004, dituliskan bahwa 'belum ada definisi yang jelas mengenai kriteria hard landing' oleh ICAO. (http://flightsafety.org/fsd/fsd_aug04.pdf

Mengacu pada Federal Aviation Regulations (FAR), mengharuskan landing gear mampu menahan:

  • ·A sink rate of 10 feet per second at the maximum design landing weight; and
  • ·A sink rate of 6 feet per second at the maximum design takeoff weight.

Saya mempelajari bahwa:

Stabilize Approach dapat mengurangi resiko terjadinya Hard Landing,

 

Yang dapat saya ambil dari uraian di atas adalah tidak ada teknik mutlak untuk tidak mengalami Hard Landing. Semua pendaratan adalah tentang penyesuaian. Jika dirasa pendaratan yang dilakukan adalah Hard Landing, segera laporkan kepada teknisi pesawat dan buat laporan Hard landing. Mungkin saja jika terdapat kerusakan yang tidak diperiksa karena hard landing tersebut, akibatnya baru dirasakan bertahun-tahun kemudian.  

Jangan ragu untuk melakukan Go Around jika kriteria 'Stabilize Approach' tidak dapat terpenuhi.  

Jika terjadi bounce landing, lakukan bounce recovery yang sudah diberikan di Flight Crew Training Manual (FCTM).

Waspada windshear pada saat berada dalam fase takeoff ataupun landing, dengan mengetahui tanda-tanda alam kemungkinan akan adanya windshear.

Referensi
Terima kasih kepada Pak Yon Karyono yang telah membantu saya dalam pembuatan artikel ini, untuk memberikan gambaran yang lebih luas dari segi teknis. 

https://www.notams.faa.gov
http://www.wunderground.com
http://flightsafety.org/fsd/fsd_aug04.pdf
http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/baru/Final%20Report%20PK-KKV.pdf
http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/baru/pre/Preliminary%20Report%20PK-GGO.pdf
http://www.thefreedictionary.com/firm
http://aviationglossary.com/hard-landing/
http://avherald.com/h?article=4555bd36
http://www.boeing.com/commercial/aeromagazine/articles/qtr_3_07/article_03_3.html