Cessna 172Tulisan ini adalah satu dari serangkaian tulisan mengenai stabilized approach. Artikel yang terkait adalah:

- Peran ATC dalam stabilized approach

- Peran perusahaan penerbangan dalam membuat prosedur tentang stabilized approach

- Approach yang aman

Unstabilised approach dikenal sebagai penyebab berbagai kecelakaan fatal yang biasanya lalu disebut karena human error. Kecelakaan Lion Air di Solo pada 30 September tahun 2004 dan Garuda di Jogja 7 Maret 2007, yang berakibat ditahannya penerbang di penjara adalah contoh bahayanya unstabilised approach. Rangkaian tulisan ini menggunakan banyak istilah teknis penerbangan yang tidak diterangkan maksudnya, karena sasaran pembaca adalah para profesional di bidang penerbangan dan peminat dirgantara yang mengenal istilah penerbangan. Bagi pembaca awam dimohon untuk mencari sendiri arti istilah-istilah tersebut baik di situs ilmuterbang.com ataupun situs yang lain.

Penerbangan Cessna 172

Beberapa waktu lalu penulis sempat menjadi observer sebuah penerbangan latihan dengan pesawat Cessna 172 di luar Indonesia. Tepatnya di Filipina. Penerbangan ini dilakukan oleh seorang siswa dan seorang instruktur yang sangat senior dilihat dari usianya. Instruktur ini dikenal sebagai instruktur yang sangat disukai oleh siswa. Sifatnya yang relaks, tidak banyak komentar membuat siswa tidak mengalami stress pada waktu melakukan penerbangan dengan beliau.

Penulis duduk di kursi belakang dan mengamati semua proses dari engine start sampai mendarat dengan selamat. Semua checklist dimulai dari preflight dan engine shutdown dilakukan pada waktunya dengan benar.

Setelah melakukan penerbangan di area training selama satu jam, kami mulai kembali ke bandar udara tempat flying school tersebut berada. Siswa ini belum lulus PPL apalagi instrument rating, jadi dia melakukan visual approach.

ATC mengijinkan untuk masuk ke downwind. Pesawat dibawa masuk left downwind runway 22 pada ketinggian 1000 kaki. Pada waktu terbang masuk ke downwind, ATC memberi perintah untuk melakukan putaran 360° ke kanan. Perlu diketahui bandar udara ini adalah bandar udara internasional dengan kesibukan seperti bandar udara Hassanudin di Makassar. Banyak pesawat besar yang masuk di bandar udara ini, dari Boeing 737, Airbus A320 sampai Airbus A330.

Siswa melakukan putaran ke kanan di downwind sampai 3 kali karena ada beberapa pesawat jet yang akan mendarat. Perbedaan kecepatan membuat pesawat-pesawat jet tersebut diberi prioritas lebih untuk mendarat.

Akhirnya setelah tiga kali melakukan putaran, kami diberikan ijin untuk masuk left base runway 22. Sebelumnya saya mendengar sebuah pesawat Airbus A320 di vector agak jauh untuk menunggu kami melakukan pendaratan. Radar vector adalah perintah ATC pada sebuah pesawat untuk terbang ke arah tertentu berdasarkan radar. ATC dapat melihat posisi pesawat di layar radarnya.

Pada saat kami memasuki left base runway 22, saya mendengar ATC di tower menyebutkan “XXX air 320, reduce speed to minimum approach speed”, kalimat ini di readback (diulangi untuk konfirmasi) oleh penerbang Airbus A320 tersebut.

Pada pesawat Cessna 172 ada 3 posisi flaps. Flaps 10°, 20° dan 30°. Dengan landasan yang panjang seperti landasan yang kami gunakan ini, pesawat Cessna 172 bahkan tidak perlu menggunakan flaps untuk mendarat. Hal ini yang saya tadinya kira akan dilakukan oleh siswa penerbang, karena sampai masuk di left base, belum ada flaps yang diturunkan.

Pada saat memasuki final runway 22, siswa penerbang menurunkan flaps di posisi 10°. Sesaat kemudian flaps diturunkan ke posisi 20°. Saat itu tower memberikan clearance, “Clear to land runway 22.

Pada ketinggian sekitar 350 kaki, flaps 30° diturunkan dan pesawat sudah dalam keadaan siap untuk mendarat.

Pada ketinggian hanya 100 kaki, tower dengan agak tergesa berkata, “Cessna 172, revise clearance, Go Around to the left downwind runway 22”.

Bingung pada perintahnya, siswa penerbang menanyakan kembali clearance tersebut dan ATC mengulangi perintahnya. Instruktur memberi tahu siswa bahwa dia diharuskan melakukan Go Around. Siswa melakukan Go Around dan memasuki left downwind runway 22 kembali. Proses seperti sebelumnya dijalankan kembali tanpa kesulitan.

Yang agak berbeda dari prosedur yang dijalankan kedua kali ini, siswa penerbang menurunkan flaps 30° pada ketinggian 100 kaki. Menurut penulis terlalu rendah untuk melakukan perubahan konfigurasi pesawat seperti menurunkan flaps, menurunkan landing gear dan lain-lain. Kami kemudian mendarat dengan normal di runway 22.

 

Analisa

Pada tahap latihan dan dengan pengalaman dan jam terbang yang sedikit, “kesalahan” siswa ini bisa ditolerir. Penulis akan menguraikan apa saja “dosa-dosa” siswa penerbang ini yang dapat berakibat tidak baik dalam profesinya sebagai penerbang. Sayangnya penulis tidak mengikuti post flight briefing yang dilakukan setelah penerbangan untuk mengetahui apakah “kesalahan” yang penulis lihat dibahas kembali ataupun tidak oleh instruktur yang bersangkutan.

 

Unstabilised approach

Pada kedua proses approach di atas, penulis melihat tidak ada prosedur baku di sekolah tersebut kapan menurunkan flaps. Siswa menurunkan flaps 30° pada ketinggian 100 kaki, dimana seharusnya tidak ada lagi perubahan konfigurasi pesawat di ketinggian serendah itu.

Pada ketinggian tersebut seharusnya penerbang sudah berkonsentrasi pada proses pendaratan. Runway yang digunakan pada saat itu memang sangat panjang bagi sebuah Cessna 172, bahkan untuk melakukan landing, hopping terbang kembali dan landing kembali 3 kali berturut-turut pun tidak masalah. Jadi tidak ada bahaya untuk melakukan hal tersebut. Tapi patut pula diingat, pada waktu mengubah konfigurasi pesawat seperti menurunkan flaps dan menurunkan landing gear, ada yang berubah. Attitude pesawat akan berubah, drag yang dialami pesawat akan berubah, kecepatan pesawat akan berubah biarpun kecil sekali, path/arah terbang pesawat akan berubah. Hal ini menyebabkan banyak hal yang dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan.

Saran dari penulis untuk Flying School tersebut adalah membuat prosedur yang lebih ketat dalam melakukan pendaratan/ approach. Contohnya, mengurangi fleksibilitas menurunkan flaps atau mengubah konfigurasi pesawat pada ketinggian tertentu.

Flying school atau siswanya sendiri harus menetapkan sebuah standar target misalnya harus sudah pada landing configuration pada ketinggian 500 kaki. Bagaimana jika ada yang lupa dan pada ketinggian di bawah 500 kaki pesawat belum berada pada landing configuration? Biasakan untuk melakukan Go Around.

Misalnya pada ketinggian 100 kaki anda baru ingat bahwa landing configuration yang dipilih adalah flaps 30° sedangkan pada saat itu flaps masih 20°. Lakukan Go Around!

Di pesawat latih seperti Cessna 172, mungkin akan terasa lucu jika anda melakukan Go Around karena hal sepele seperti flaps, tapi kalau landing gear yang lupa diturunkan maka ceritanya akan lain. Contohnya ada di: Lupa menurunkan landing gear

Jika pada ketinggian sekitar 100 kaki anda baru menurunkan landing gear, karena lupa, maka mungkin pada waktu touch down, proses penurunan ini belum sepenuhnya selesai. Akibatnya landing gear belum locked/ terkunci dan bisa menyebabkan masuk kembali pada saat anda mendarat. Hal ini pernah terjadi pada sebuah pesawat King Air di Indonesia pada waktu lalu. Sayangnya pada era tahun 70/80-an tidak ada keterbukaan informasi pada sebuah kecelakaan.

Jadi jangan malu-malu untuk melakukan go around pada saat sesuatu terlupa dikerjakan demi keselamatan kita.

Pada kebanyakan perusahaan penerbangan kriteria stabilised approach harus didapat pada ketinggian 500 kaki. Sedangkan perusahaan tempat penulis bekerja memberikan kriteria yang lebih ketat yaitu 1000 kaki untuk semua pesawat jetnya.

Parameter lain yang harus diperhatikan untuk mendapatkan stabilised approach adalah:

  1. Approach speed (too low/too high speed). Untuk too low speed, lihat laporan kecelakaan Turkish Airlines. Approach speed yang terlalu tinggi dengan engine idle juga adalah ciri-ciri unstabilised approach.

  2. Sink rate. Vertical speed yang diperlukan tidak normal. Misalnya biasanya sebuah Cessna 172 memerlukan V/S 350 fpm (feet per minute) pada waktu approach, maka jika anda butuh 500 fpm berarti anda ketinggian. Saat ini anda harus bersiap-siap untuk go around.

 

Awareness
Awareness/kewaspadaan adalah salah satu alat untuk mengurangi kecelakaan udara. Pada saat melakukan approach, siswa penerbang harusnya waspada bahwa ada pesawat jet di belakangnya. Siswa penerbang ini juga tidak sadar bahwa ATC salah menghitung separation/jarak antar pesawat.

Memang pada saat menjadi siswa penerbang dengan pengalaman yang masih sedikit, banyak hal yang harus diingat dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan sehingga menambah beban kerja dan pikiran.

Tapi jika siswa penerbang dilatih atau melatih dirinya sendiri untuk disiplin dalam prosedur, maka beban ini akan berkurang.

Beban akan berkurang dengan menyebar beban tersebut pada waktu-waktu yang berlainan dan selalu di fase yang sama. Misalnya, menurunkan flaps 10° selalu di base leg pada ketinggian 700 kaki, menurunkan flaps 20° di ketinggian 600 kaki, dan menurunkan flaps 30° pada waktu turning final di ketinggian 500 kaki.

Dengan disiplin melakukan hal yang sama terus-menerus, maka akan ada pengurangan beban pada penerbang.

Pada contoh di atas, siswa penerbang sibuk mengemudikan pesawat dan membaca landing/approach checklist pada waktu mulai berbelok di base leg. Jarak base leg dan final yang digunakan cukup panjang dan mengurangi waktu separation di antara kedua pesawat tersebut.

Jika semua sudah dilakukan lebih awal, maka siswa tersebut akan lebih aware/waspada terhadap keadaan sekitar dan akan tahu bahwa sebuah pesawat jet akan mengikuti di belakangnya. Jika hal ini yang terjadi maka dia akan memendekkan jarak base leg dan final tanpa mengurangi batas aman.

Begitu juga pemilihan flaps 30° di ketinggian 100 kaki, pada saat itu tidak mengakibatkan kecelakaan atau insiden. Tapi jika anda terbang di Papua dan pada waktu menurunkan flaps di ketinggian 100 kaki, maka besar kemungkinan anda tidak akan melihat ada orang yang menyeberang landasan dengan membawa babi gembalaannya.

Jika semua checklist dan hal-hal yang harus dikerjakan untuk landing sudah selesai pada ketinggian tertentu yang sudah menjadi standard/baku (misalnya 500 kaki), maka jika ada bahaya mengancam pada saat-saat kritis, penerbang lebih waspada dan bisa berpikir jernih untuk menanggulanginya karena tidak ada lagi yang harus dilakukan pada saat yang sama.

Sedikit tentang penyebab go around, penulis pernah melakukan go around pada ketinggian 300 kaki dengan pesawat jet Fokker F100 di bandar udara Sentani, Jayapura, Papua, karena ada serombongan orang yang menyeberang landasan padahal sirene tanda pesawat akan mendarat sudah berbunyi.