Baru saja saya kecewa dengan hasil sebuah pengadilan yang diberitakan di halaman pertama harian Kompas tanggal 12 Februari 2010. Ternyata berita selanjutnya yang saya baca membuat saya juga kecewa pada harian terbesar di Indonesia ini. Setelah membaca berita yang ada di halaman 15 tentang sebuah pesawat yang mendarat darurat di Kalimantan. Keterangan foto di berita tersebut menyebutkan “ Akibat mesin kiri mati, pesawat ATR 42 seri 300 yang dioperasikan maskapai Trigana Air mendarat darurat di rawa-rawa …..

Ada perasaan kecewa yang tak tertahankan yang ingin saya ungkapkan. Tentunya saya bersyukur tidak ada korban jiwa pada peristiwa tersebut atas kepiawaian penerbang dan awak kabin yang membawa pesawat dan penumpangnya ke darat tanpa korban jiwa. Tapi saya kecewa karena isinya kurang lebih menyatakan bahwa pesawat tersebut melakukan pendaratan darurat karena salah satu mesinnya mati. Sebelumnya ingin penulis tekankan bahwa kehilangan satu mesin pada sebuah pesawat bermesin ganda tidak membuat pesawat tersebut harus mendarat darurat karena itulah salah satu guna dari mempunyai mesin lebih dari satu.
 

Normalnya kerusakan salah satu mesin tidak membuat pesawat multi engine harus mendarat darurat

Kekecewaan saya pada harian ini karena penulisnya seolah tidak tahu fakta tentang pesawat bermesin ganda. Patut anda ketahui bahwa harian ini memiliki wartawan yang mempunyai spesialisasi di bidang masing-masing. Bahkan majalah penerbangan yang populer, Angkasa pun adalah bagian dari grup harian ini.

Apakah harian ini sudah kehilangan kualitasnya sebagai harian terbesar dan cukup terpercaya di Indonesia? Mudah-mudahan tidak. Tapi berita tersebut yang jelas bukanlah merupakan berita dengan pembelajaran bagi pembacanya dan malah menyesatkan.
 
Kekecewaan yang lainnya adalah pada perusahaan penerbangan Trigana yang mengoperasikan pesawat tersebut. Seolah tak habisnya pesawat milik perusahaan ini mengalami kerusakan, mendarat darurat bahkan jatuh.

Sepanjang karir penulis di dunia penerbangan, peristiwa pertama yang saya ingat adalah jatuhnya pesawat Trigana tahun 1997 yang dioperasikan oleh Sempati Air di dekat bandar udara Margahayu Kabupaten Bandung yang menewaskan semua orang yang ada di pesawat. Pesawat gagal mendarat darurat di Margahayu.

Pada tahun 2002 sebuah pesawat Twin Otter juga jatuh di Papua dan juga menewaskan semua yang ada di pesawat. Pesawat tersebut seharusnya menerbangkan penerbangan 6 kali antara Nabire dan Enarotali. Kapten penerbangnya yang merupakan adik kandung penulis, 3 kali menelepon ke rumah sebelum setiap penerbangan di hari yang sama dan bercerita bahwa mesin pesawatnya rusak dan sedang menunggu diperbaiki. Kalau tidak salah pada penerbangan keempat musibah tersebut terjadi.
 
Kemudian sekarang terjadi musibah pesawat yang ada di berita harian Kompas ini. Percaya atau tidak, di antara 3 kecelakaan yang saya sebutkan, masih banyak lagi kecelakaan yang terjadi baik fatal maupun tidak yang dialami oleh perusahaan yang sama. Apa akibatnya pada perusahaan tersebut? Tidak ada, karena pesawat yang hancur diganti oleh perusahaan asuransi. Kecuali kehilangan yang dirasakan oleh keluarga para korban baik awak pesawat maupun penumpang.
 
Habis sudah keluh kesah sekarang mari kita kembali ke permasalahan berita yang ditulis di atas. Sampai saat tulisan ini dibuat kita tidak bisa membahas kenapa kecelakaan tersebut terjadi karena penyebab sebuah kecelakaan penerbangan tidak dinyatakan sebelum sebuah penyelidikan dilakukan oleh otoritas yang terkait. KNKT atau Komite Nasional Kecelakaan Transportasi adalah badan yang melakukan penyelidikan atas kecelakaan dan akan menerbitkan sebuah laporan yang berisi kejadian tersebut, penyebabnya dan juga mungkin hal-hal yang dapat diperbaiki untuk menghindari kecelakaan yang sama untuk terulang. 
 

Pesawat bermesin ganda

Berita di atas menyebutkan, atau lebih tepatnya beberapa kalimat di berita menyebutkan pesawat mendarat darurat karena mesin sebelah kiri mati. Apakah benar kematian sebuah mesin membuat sebuah pesawat bermesin ganda harus melakukan pendaratan darurat?
Pada generasi awal, pesawat dibuat hanya dengan satu mesin. Kemudian sejalan dengan teknologi, pesawat dengan mesin lebih dari satu pun mulai dibuat. Jika pesawat bermesin satu memiliki satu mesin yang besar, maka pesawat bermesin ganda mempunyai lebih dari satu mesin dengan tenaga yang lebih kecil. Gabungan dari beberapa tenaga mesin yang lebih kecil ini biasanya menghasilkan tenaga yang lebih besar daripada menggunakan satu mesin yang lebih besar.
 
 

Bagaimana jika terjadi kerusakan pada salah satu mesin

Pada saat terjadi kerusakan pada salah satu mesin yang berakibat mesin mati atau harus dimatikan misalnya karena terbakar, pesawat tidak bisa menjelajah pada ketinggian jelajah maksimalnya atau dalam istilah penerbangan disebut service ceiling.
 
Misalnya pesawat ATR 42 milik Trigana ini maksimum ketinggian jelajahnya atau service ceilingnya adalah 25 ribu kaki tapi pada saat salah satu mesin mati, maksimum ketinggian jelajahnya hanya sekitar 16 ribu kaki (data atraircraft.com). Ketinggian jelajah pada waktu salah satu mesin mati disebut Single Engine Ceiling.

Di sini dapat kita lihat bahwa pesawat tersebut seharusnya dapat mempertahankan ketinggiannya paling tidak bertahan pada ketinggian Single Engine Ceiling.

 

Pada waktu terbang dengan hanya satu mesin di ketinggian Single Engine Ceiling, mesin yang menyala mungkin akan berada pada tenaga maksimum atau full power. Kemampuan mesin untuk berada pada full power ini terbatas. Kemampuan ini dibatasi hanya boleh untuk 60 menit oleh otoritas, biarpun kemampuan pesawat lebih besar dari itu. Oleh karena itu pesawat tidak boleh terbang di rute yang jaraknya lebih dari 60 menit terbang ke sebuah bandar udara.

 

Hanya dengan satu mesin menyala, kemampuan pesawat baling-baling bermesin ganda bisa berkurang sampai 60%. Hal ini adalah akibat dari hambatan udara (drag) yang dihasilkan oleh baling-baling yang tidak bergerak. Hal lain adalah karena hanya satu mesin yang menarik pesawat ke satu arah misalnya jika mesin kiri mati maka gaya dorong yang seharusnya diberikan oleh mesin kiri menjadi hilang. Pesawat akan cenderung berbelok ke kiri. Untuk menjaga agar pesawat tetap terbang lurus maka penerbang akan memiringkan pesawatnya agak ke kanan. Gerakan pesawat yang agak miring ini menyebabkan gaya angkat berkurang dibandingkan dengan posisi normalnya.

Jika salah satu mesin mati pada pesawat komersial modern ada kemampuan auto-feather yaitu kemampuan memutar sudut baling-baling dengan otomatis sehingga mengurangi hambatan udara yang dihasilkan. Dengan kemampuan tersebut kinerja pesawat untuk mempertahankan ketinggian menjadi lebih baik.
 
Kesimpulannya adalah sebuah pesawat terbang bermesin ganda seharusnya mampu tetap terbang pada saat terjadi kerusakan pada salah satu mesinnya. Kemungkinan untuk melakukan pendaratan darurat adalah jika mesin yang tersisa juga mengalami masalah.
 

Kemungkinan lain adalah pesawat berada di atas dataran tinggi yang dekat dengan ketinggian maksimumnya dengan satu mesin (Single Engine Ceiling) yang sepertinya adalah tidak mungkin karena lokasi kecelakaan sepertinya berada di dataran rendah. Atau kemungkinan yang mudah-mudahan tidak terjadi adalah pesawat dimuati lebih banyak daripada kemampuannya (overload). Apa yang terjadi? Kita tunggu laporan dari para ahli di KNKT.

 

gambar: 

ilmuterbang.com
The Pilot’s Handbook of Aeronautical Knowledge
Terima kasih atas kiriman gambar pesawat dari Arie Kurniawan