Sebagai wilayah yang sangat sulit untuk ditembus melalui jalan darat, terutama pegunungan tengah yang berelevasi tinggi yang membentang dari Nabire sampai kabupaten Pegunungan Bintang, maka transportasi udara menjadi tulang punggung di Irian (Papua). Namun via udara juga bukan berarti selesainya permasalahan karena karakteristik daerah ini yang khas yaitu sulit ditebak. Banyak pihak yang menyatakan bahwa inilah medan penerbangan tersulit di dunia dari tipe cuaca, kontur (topografi), elevasi, karakter landasan (airstrip). Tidak mengherankan apabila wilayah paling timur Indonesia ini mendapat julukan kawah Candradimuka bagi para penerbang dari banyak pihak.
Karakteristik cuaca hutan hujan tropis yang sangat cepat berubah adalah ciri khas daerah Irian, menit ke menit cuaca bisa berubah dengan sangat ekstrim. Para penerbang yang bekerja di Irian harus tetap memantau setiap perubahan dan saling menginformasikan kepada sejawat penerbang melalui frekuensi traffic advisory maupun pengatur lalu lintas udara (control tower).
Setiap area memiliki frekuensi traffic advisory yang telah disepakati, seperti misalnya di daerah Mulia adalah 122.0 MHz, daerah Pegunungan Bintang 123.0 MHz atau juga area Freeway sampai Enarotali disepakati 122.4 MHz.
Pada frekuensi-frekuensi yang telah disepakati inilah sejawat penerbang berkomunikasi, memberitahukan rute, ketinggian, jarak checkpoint terdekat termasuk estimasinya. Jika ada yang mengalami bumpy, turbulensi atau melihat cloud base atau cloud top maka ia harus segera menyiarkan/broadcast via frekuensi agar didengar oleh pesawat yang ada di sekitarnya atau yang akan melewati area itu. Pesawat lain juga akan merespon berita agar bisa segera menghindari tabrakan atau cuaca buruk. Karena sama-sama senasib, seperasaan dan sepenanggungan ini pilot brotherhood di sini sangat erat.
Visibility (jarak pandang) adalah concern para penerbang terlebih di daerah pegunungan di mana kita hampir tidak ada ruang untuk missed approach/go around. Saat PF (pilot flying) declared ‘sure to land’ di Key Point (Missed Approach Point) ia harus yakin seyakin-yakinnya bahwa pendaratan dapat dilakukan dengan sempurna. Termasuk pertimbangan terbang di pedalaman juga adalah jarak pandang yang sering tertutup ground fog saat pagi hari. Sedangkan pada siang hari anginlah yang sering menjadi masalah, karena lokasi airstrip yang ‘nyempil’ diantara gunung-gunung sehingga turbulensi, windshears menjadi faktor yang harus diantisipasi.
Kontur Irian sangat khas terutama di pegunungan tengah yang terdapat puncak tertinggi di Indonesia yang dikenal sebagai salju abadi di negeri tropis. Jika pesawat penulis memiliki kabin bertekanan (pressurized) dan atau memiliki proteksi terhadap es maka kita bisa ‘melompati’ nya tanpa ragu. Namun rata-rata pesawat yang beroperasi tidak memilikinya, sehingga harus mencari celah (coakan) pada setiap gunung, biasanya diberi nama gap atau pass seperti Jila Pass, Ilaga Pass, North Gap, Timika-Enaro Gap. Celah ini adalah jalur yang paling mungkin kita lewati dengan keterbatasan pesawat umumnya.
Setiap airstrip memiliki karakter unik, pasti berbeda satu dengan yang lain sehingga airstrip database menjadi hal wajib dimiliki penerbang yang bekerja di tempat ini. Selain mengacu pada pengalaman instruktur dan rekan-rekan yang telah lama menerbangi Irian, ada airstrip data yang disusun oleh rekan-rekan misionaris yang mau tidak mau menjadi referensi walaupun tidak dikeluarkan secara resmi oleh instansi yang berwenang. Buku ini memuat data-data yang lengkap berikut cara unik approach landasan yang bersangkutan, termasuk karakter cuacanya. Foto-foto airstrip disini bisa dilihat di group Facebook ilmuterbang.com.
Selain itu airstrip disini jangan dibayangkan seperti umumnya landasan, karena banyak yang masih berupa tanah yang diperkeras, rata-rata curam (ada yang upslope 18%), tidak lurus (berbelok /dogleg), berlumpur saat basah, saat kering sering berdebu dan kerikil terbang. Kebanyakan airstrip tidak memiliki ruang untuk go around sehingga Vref harus diperhitungkan sesuai dengan karakteristik pesawat masing-masing dan touch down pada tempat yang tepat agar bisa berhenti sebelum landasan habis. Reverse harus dipergunakan secara tepat dan seefektif mungkin agar pengereman dapat maksimal tanpa menyebabkan pesawat ‘ngesot’.
Elevasi adalah bahan pertimbangan yang harus dihitung secara matang, mengingat unjuk kerja pesawat turun drastis pada high elevation airstrip. Hal ini berakibat load pesawat dan take off roll harus diperhitungkan dengan jarak tempuh yang akan kita terbangi. Deal dengan BBM yang kita bawa, karena di pedalaman hampir pasti nggak ada refuel. Aktifitas bongkar muat harus dilakukan secepat mungkin dengan tetap memikirkan weight and balance, karena biasanya 1 mesin pesawat tetap dibiarkan hidup karena di pedalaman tidak ada external battery untuk membantu engine start. Mesin yang tetap hidup ini pasti menggunakan bahan bakar karenanya ground time diusahakan sesingkat mungkin.
Elevasi juga harus dipikirkan masak-masak untuk menentukan dimana kita circling (ngebor) untuk gaining altitude. Jangan sampai kita ngebor ditempat lalu lintas yang padat untuk menghindari tabrakan dengan sesama pesawat. Harus diingat karena unjuk kerja menurun drastis langsung terasa pada climb performance, berapa lama kita ngebor, berapa elevasi gap yang kita akan lalui. Contohnya pada Ilaga airstrip yang elevasinya 7500 feet MSL, gap (Ilaga Pass) aman dilalui pada 13.000 feet saat VMC atau 14.000 feet atau lebih saat IMC. Ketinggian ini berbahaya untuk unpressurized cabin karenanya setelah aman dari obstacle kita harus segera turun dibawah 10.000 feet agar awak dan penumpang bisa bernafas normal. Hal ini telah dibahas di mountain flying
Mungkin hanya sekedar saran, penulis merekomendasikan penggunaan GPS dengan terrain info sudah harus diwajibkan bagi pesawat di Irian. Jika dibandingkan dengan harga satu saja nyawa manusia maka harga sebuah GPS ini sangat murah. Demikian juga dengan pemantau cuaca, mengingat cuaca di daerah ini sangat tidak menentu. Dengan bantuan instrument ini setidaknya membantu penerbang memilih jalan yang paling mulus diantara “jalan yang bergelombang”. Sebenarnya sudah ada dipasaran jenis GPS yang sudah mencakup semuanya, sehingga penerbang jauh lebih mudah untuk mengolah semua info yang terpampang di layar yang “integrated”.
Saran yang lain adalah kewajiban penggunaan transponder dan TCAS/PCAS atau apapun namanya untuk menghindari midair collision. Hal ini sangat perlu mengingat dengan kepadatan yang cukup ramai dengan traffic belum ada pantauan radar untuk traffic advisory. Bandara yang padat seperti Sentani, Wamena maupun yang katanya berkaliber International seperti Mozes Kilangin hanya mengandalkan perhitungan yang disampaikan penerbang. Bayangkan ketika cuaca menjadi Marginal VFR sampai IMC bagaimana tekanan yang dialami penerbang dan PLLU (petugas ATC, Pengendali Lalu Lintas Udara). Ketika keterbatasan dana menjadi alasan tidak tersedianya radar maka perangkat TCAS/PCAS rasanya menjadi jawaban.
Seiring dengan kemajuan teknologi PCAS dan GPS pun sudah dapat diintegrasikan penggunaannya, sehingga sangat memudahkan penggunanya. Dan otomatis juga mengurangi banyak beban kerja para penerbang yang menggunakan karena dalam satu waktu mendapatkan banyak informasi yang mendukung pengambilan keputusan. Dengan menambahkan sejumlah fulus kita juga bisa memakai GPS yang dapat menampilkan informasi cuaca pada route yang akan kita lewati. Dengan kepadatan, kecepatan dan tuntutan sortie yang makin tinggi maka stress pada penerbang secara bersamaan akan meningkat dan berlipat juga, maka penggunaan GPS yang memiliki kemampuan seperti ini rasanya sangat murah harganya.
Jika serentak digunakan oleh pesawat-pesawat yang terbang di Irian maka separasi antar pesawat juga lebih mudah dilakukan terutama saat kepadatan meningkat di area pegunungan mengingat saat ini begitu banyak maskapai yang menerbangi daerah pedalaman. Maintaining separation mutlak dijaga karena jika toh ada radar konvensional, radar menjadi tidak berdaya ketika menyapu daerah pegunungan, ambil contoh di area freeway yang membentang panjang. Penggunaan collision avoidance system meningkatkan keamanan di pegunungan terutama saat visibility rendah dengan cloud base yang bervariasi membuat penerbang akan zig-zag mencari jarak pandang yang paling baik
Penulis dengan keterbatasannya sampai saat ini terbang dengan hanya mengandalkan airstrip data yang dikeluarkan oleh kalangan misionaris Kristen yang beroperasi sejak dulu. Rute yang diterbangi pun masih mengikuti rute mereka karena belum ada standar yang baku dari otoritas yang ada. Kita mengikuti prosedur misionaris karena sampai saat ini hanya mereka yang menerbitkan (walaupun sebenarnya untuk internal mereka) data yang dapat dikatakan akurat. Saran penulis agar ada pembakuan standar oleh otoritas untuk penerbangan disini mengingat area yang diluar kebiasaan dan sangat berbahaya.