Tabrakan pesawat Batik Air yang sedang lepas landas dan pesawat Trans Nusa yang sedang ditarik di landasan memberikan sebuah pertanyaan diskusi. Seorang anggota grup facebook ilmuterbang.com memberikan pertanyaannya yang bisa menjadi pelajaran bagi semua penerbang multi-engine. 

Pertanyaan ini menyangkut decision making untuk Reject Take Off (RTO) atau untuk continue jika terjadi kerusakan sayap setelah V1. Mohon untuk membaca artikel Legenda V1: Desicion Speed jika anda belum tahu apa itu V1.

Pertanyaannya sebagai berikut:
"Omong-omong, saya jadi penasaran, jika pesawat dah lewat V1 tapi belum VR dan terjadi tabrakan yang sama, dengan kerusakan sayap seperti itu dan harus terbang apakah kemampuan pesawat untuk terbang akan compromised atau tidak?

Dan apakah kalau misal dirasa kemampuan terbang pesawat akan compromised, lebih berbahaya buat stop atau buat go?"

Decision making process
Dalam keadaan abnormal yang "biasa" contohnya engine fail, engine fire, engine stall dll:
1. Jika terjadi sebelum V1, reject take off.
2. Jika terjadi setelah V1, continue.

Training dan simulator hanya bisa mensimulasikan keadaan-keadaan di atas.

Sebelumnya perlu dicatat bahwa pabrik pesawat Airbus memakai 100 knots sebagai pemisah low speed dan high speed.
Di high speed, sebelum V1 sampai lewat V1, pilot harus punya "GO minded". Bahkan sesaat sebelum V1, kalau hanya minor problem, sebaiknya tidak STOP.

Alasannya adalah sisa runway yang mungkin tidak cukup untuk berhenti. Terutama untuk perhitungan unbalanced field length yang menggunakan seluruh runway untuk menghasilkan improved climb.

Dalam hal ini, biasanya tidak ada "sisa runway" kalau berhenti setelah V1.

Untuk Airbus family, di dekat V1 pesawat bergerak 60 sampai 80 m per detik dan berakselerasi 4 sampai 8 knots per detik.

2 detik delay untuk reject take off bisa menghabiskan runway sejauh 250 m. Bayangkan seperempat kilometer habis terpakai jika penerbang terlambat 2 detik untuk rejecting take off.

Contoh lainnya adalah tire burst sesaat sebelum V1, daripada STOP dan mencoba berhenti di sisa runway, tapi kocar-kacir karena wheel yang ban-nya kempes lalu pesawat menjadi uncontrollable, lebih baik continue take off.

Dengan continue take off, pesawat bisa mengurangi berat dengan membakar fuel. Setelah itu, pengelola bandara bisa menyiapkan semua personel PKPPK dan runwaynya sendiri untuk didarati oleh pesawat dengan ban pecah.

Kalau tadi STOP yang bisa dipakai hanya sisa panjang runway, maka sekarang seluruh panjang runway juga bisa dipakai untuk berhenti.
Itu salah satu contoh kenapa harus GO minded.

Kondisi tidak biasa
Sekarang masalah luar biasa:
Dalam keadaan abnormal yang "tidak biasa", setelah V1 pilot hanya punya 1-2 detik sebelum Vr (Rotate).  Maksudnya kondisi "tidak biasa" adalah kondisi yang tidak pernah ditemui oleh pilot sewaktu mendapat pelatihan. ContohnyaTabrakan, aircraft upset, dan sebagainya, tidak bisa disimulasi di simulator ataupun pesawat sebenarnya.

Jika terjadi sesuatu setelah V1, penerbang tidak bisa menilai/meng-assess semua kondisi yang "tidak biasa" dalam waktu 1-2 detik.
Dengan GO minded, pilot akan continue.

Satu-satunya assessment yang bisa dirasakan adalah controllability (dan climb capability?).

Jika pesawat uncontrollable, tidak ada buku manual apapun dan simulator apapun yang memberikan simulasi dan training masalah ini.

Di sini, hanya airmanship yang bertindak. Apa tindakannya? Sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

1-2 detik tidak bisa dipakai untuk memikirkan akibat fire di wing, lepasnya flight control surface, structural damage, kabel putus, dll..

Di dokumen seri Flight Operation Briefing Note, dari Airbus yang berjudul Revisiting Takeoff and Departure Operations:
Revisiting the “Stop or Go” Decision. , ada note sebagai berikut:
The Captain can consider to reject a takeoff when the aircraft is above V1, only in the event that the aircraft is not able to ensure a safe flight.

Note seperti ini tidak ada di FCTM Airbus. Dokumen di atas bisa didapat dengan mesin pencari di internet. Tersedia secara gratis dari Airbus.