Tahun 2014, Jonan datang dengan harapan. Konon dia berhasil memperbaiki kinerja PT. KAI. Harapan berbunga di hati insan penerbangan yang ingin keselamatan makin tinggi. Saya pun berharap sangat banyak.
Beberapa pejabat di jajaran Kemenhub konon diganti.
Kami makin percaya bahwa keselamatan tinggi bukan mimpi.
Langkah besar pertama adalah menaikan tarif bawah karena harga yang murah dipercaya oleh Jonan menjadi pemicu tingkat keselamatan yang rendah. Harga tiket tinggi bisa menjadikan modal maskapai untuk mempunyai ruang finansial untuk meningkatkan keselamatan.
Saya mulai mengernyitkan dahi saya. Harga murah tentunya sudah dihitung oleh maskapai. Banting harga di musim sepi akan diimbangi dengan naiknya harga di musim libur. Impas. Tidak ada yang dikurangi. Sudahlah, mungkin latar belakang Jonan di bidang finansial membuat dia lebih tahu masalah keuangan. Yang penting Jonan membuat peraturan dengan niat baik.
Juru bicara Jonan, mister Hadi Djuraid juga menyatakan harapan menaikan tingkat keselamatan di audit FAA beberapa bulan mendatang. Saya bersiap-siap untuk merayakan jika hal ini bisa terjadi.
Saya agak ragu karena penerbangan adalah dunia yang cukup komplek, majemuk dan rumit. Bukan pekerjaan mudah tapi harapan saya belum pupus.
"Bom" meledak! Sebuah penerbangan Air Asia hilang dari radar secara mendadak. Jonan langsung bertindak.
Saat itu para pejabat malah sibuk memperlihatkan diri bahwa mereka bekerja karena takut dipecat. Ada yang membisiki bahwa penerbangan tersebut tanpa ijin. Ada yang membisiki bahwa penerbangan tersebut tanpa laporan cuaca. Kambing hitam jadi bintang.
Bayangkan jika anda kehilangan anak. Tentunya yang akan anda lakukan adalah mencari anak yang hilang bukan mencari kambing hitam.
Sebuah pesawat hilang dan disinyalir tidak mempunyai ijin terbang ke Singapura dan ternyata kambing hitam ini dibantah oleh Singapura.
"Laporan cuaca tidak diambil pada waktunya" demikian konfirmasi kepala BMKG yang dilansir media. Kepala BMKG yang bergelar S3, bapak doktor Andi Eka Sakya mungkin lupa bahwa badan yang dia pimpin punya laporan cuaca yang tersedia di website yang dikelola sendiri oleh BMKG. Tidak harus ambil sendiri secara fisik. Tinggal ambil dari internet. BMKG seolah mengkambing-hitamkan diri sendiri.
Setiap orang di Dephub jadi ingin selamat dan tidak ingin dipecat.
Mungkin ada juga yang ingin terkenal. Memberi laporan asal.
Sejak itu, sepak terjang dan logika Jonan makin aneh dan tidak masuk akal bagi insan penerbangan.
Apakah ada hasilnya? Ternyata ada hasil bagus, dokumentasi hukum penerbangan makin lengkap. Terima kasih Jonan.
Sedangkan hasil di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Hasil di lapangan adalah kecelakaan yang dikomentari dan dihukum sebelum ada penyelidikan. Setiap ada kecelakaan, Jonan lebih tahu penyebab sebuah kecelakaan daripada para ahlinya. Bahkan sebelum penyelidikan dimulai.
Berikut ini hasil di lapangan:
- 11/01/2015 Pesawat Trigana Air PK-YRU tergelincir di Bandara Enarotali Distrik Pantim, Kabupaten Paniai, Papua.
- 03/02/2015 Pesawat ATR milik PT Garuda Indonesia Tbk, dengan nomor penerbangan GA 7040 rute Denpasar-Lombok-Unjungpandang keluar dari jalur runway atau keluar dari landasan penerbangan, di bandara Internasional Lombok.
Hanya satu hari kemudian:
- 04/03/2015 Pesawat Bae ATP Deraya Air Tergelincir di Bandara Wamena
Lalu,
- 20/04/2015 Sebuah pesawat ATR 72 Wings air di Sumbawa Besar mengalami 4.8G touchdown (hard landing) and melakukan go-around.
- 02/06/2015 Pesawat Boeing B737-800 Garuda Keluar Landasan di Makassar
- 02/08/2015 Pesawat Airbus A320 Citilink di Padang, keluar landasan.
- 16/08/2015 Pesawat ATR 42 Trigana kecelakaan di Oksibil, semua tewas.
- 28/08/2015 Pesawat kargo B737-300 Cardig Air mengalami patah roda di Wamena.
- 02/10/2015 Pesawat DHC6 Twin Otter Aviastar rute Masamba-Makassar, jatuhdan menewaskan semua orang di pesawat.
Kedua insiden berikut ini menepis logika Jonan tentang pembatasan umur pesawat. Kedua pesawat di bawah ini adalah pesawat baru.
- 06/11/2015 Pesawat B737-900 Batik Air di Yogyakarta, keluar landasan.
- 21/12/2015 Pesawat Embraer E195 Kalstar at Kupang, keluar landasan.
Jonan mengaku gagal.
Pada sebuah rapat kerja Jonan mengakui bahwa perhubungan udara Indonesia mengalami kegagalan besar. Gagal mendapatkan peringkat keselamatan yang lebih tinggi. Bravo Jonan. Mengakui kegagalan. Lalu bagaimana?
Kegagalan kementerian perhubungan tentunya bukan hanya kegagalan Jonan seorang saja. Setiap pihak terkait mempunyai andil terhadap kegagalan tersebut. Hanya saja di mata praktisi penerbangan, kegagalan ini ditambah bumbu-bumbu yang tidak penting. Harga tiket naik, kecelakaan tidak turun. Pesawat sudah baru, ternyata kecelakaan tetap terjadi. Logika yang harus diluruskan karena setiap pernyataan Jonan menjadi tolok ukur bagi masyarakat awam.
Berikut ini beberapa kebijakan yang tidak menyumbang perbaikan di penerbangan Indonesia.
Briefing face to face.
Setiap penerbang/pilot jadi harus melakukan biefing tatap muka dengan Flight Operation Officer dan ahli cuaca/meteorologi. Hal ini Sebenarnya tidak diperlukan.
Saya akan berikan sebuah perbandingan.
- Staff pembelian memberi spesifikasi barang pada pemasok/supplier.
- Supplier mengirim barang ke gudang.
- Staff gudang menerima barang dan memeriksa sesuai dengan spesifikasi yang diminta.
Ketiga pihak di atas tidak perlu tatap muka untuk mendapatkan barang yang sesuai spesifikasi. Staff gudang punya ilmu yang cukup untuk paham keinginan bagian pembelian.
Begitu juga dengan pilot. Pilot punya ilmu cukup untuk menterjemahkan laporan cuaca yang diberikan oleh BMKG dan persiapan rencana penerbangan yang disiapkan oleh FOO. Selama semua laporan siap sedia maka tidak perlu ada tatap muka untuk saling menerangkan isi dari paket briefing. FOO berkordinasi dengan pilot bukan memberi (membacakan) isi briefing.
Luas minimum ruang briefing
Jonan kemudian menyatakan akan mengeluarkan edaran untuk luas minimum ruang briefing. Ruang briefing luasnya harus sesuai dengan jumlah pesawat. Setiap satu pesawat yang dimiliki, maskapai harus punya briefing room berukuran 10x10 m. Jonan lupa, tidak semua pesawat berada di satu bandar udara di satu waktu. Contohnya Garuda dan Lion Air masing-masing memiliki pesawat lebih dari 100 buah. Tentu tidak semuanya ada di bandar udara Soekarno-Hatta. Padahal dengan logika Jonan, ruang briefing tersebut harus bisa menampung briefing untuk semua jumlah pesawat.
Kalau begitu logikanya maka setiap maskapai besar akan punya ruang briefing yang luasnya bisa lebih luas dari lapangan bola di setiap bandar udara. Padahal semua pesawat dan penerbangnya berpencar-pencar di seluruh Indonesia. 100 pesawat x 10 meter persegi adalah 1000 meter persegi.
1000 meter persegi itu baru di satu bandar udara keberangkatan awal. Bagaimana di bandar udara tujuan? Pada waktu pergi dari bandar udara tujuan, pilot juga harus briefing. Akankah dibangun ruang briefing 1000 meter persegi?
sumber: ruang-briefing-pilot-seperti-kamar-kos-menhub-jonan-akan-atur-luas-minimal
Mungkin sadar akan kesalahannya, instruksi ini tidak pernah dijalankan. Sayangnya tidak ada kelanjutannya di media. Masyarakat hanya melihat menterinya “tegas” tanpa tahu akibat dari pernyataan yang keluar begitu saja.
Periksa tensi (tekanan darah) setiap terbang.
Logikanya sangat masuk akal. Tekanan darah normal bisa menunjukkan badan yang sehat. Apakah pemeriksaan tekanan darah efektif menanggulangi kecelakaan? Tidak. Jarang ada laporan kecelakan yang memberikan bukti bahwa kecelakaan terjadi karena pilot yang sakit. Bahkan pilot yang meninggal sewaktu terbang tidak pasti karena tekanan darah.
Operator/maskapai harus punya dokter penerbangan.
Di dunia ini hanya peraturan penerbangan Indonesia hasil instruksi Jonan yang mengharuskan operator mempunyai dokter penerbangan. Apakah dilaksanakan? Nol besar.
Bayangkan kalau sebuah maskapai penerbangan perintis punya 6 daerah operasi. Mereka harus punya pilot, teknisi dan dokter di setiap daerah operasinya untuk menjalankan kewajiban periksa kesehatan setiap pilotnya setiap akan terbang.
Bagaimana dengan kapal laut? Apakah setiap kapal laut atau pelabuhan punya dokter kelautan untuk memeriksa semua nakhodanya sebelum berlayar? Adakah dokter di setiap stasiun keberangkatan kereta api untuk memeriksa masinis sebelum bekerja?
Sumber: CASR 67.13
Larangan terbang pesawat Twin Otter.
Sebuah pesawat Twin Otter Aviastar hilang dan belum ditemukan. Sesaat kemudian Jonan bertitah untuk melarang terbang semua Twin Otter selama sepekan.
Lalu apa hubungannya? Apakah dengan tidak terbang sepekan tidak akan terjadi kecelakaan? Pesawatnya saja belum ditemukan. Penyelidikan saja belum dimulai apalagi hasilnya.
Kalau sudah ditemukan sebuah masalah teknis yang sudah jelas diketahui di sebuah tipe pesawat maka larangannya akan relevan. Misalnya semua pesawat A tidak boleh terbang sebelum mengganti suku cadang tertentu karena suku cadang tersebut berbahaya. Nah ini pesawatnya yang hilang saja belum ditemukan, menteri sudah menghakimi pesawat-pesawat sejenis.
Kalau bingung saya akan berikan perumpamaan mudah. Jonan melarang beroperasi sebuah jenis kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Jika anda melihat sebuah mobil Toyota Avanza mengalami kecelakaan, apakah tidak lucu jika seorang menteri melarang beroperasinya seluruh Toyota Avanza selama seminggu. Padahal belum ada penyelidikan. Apakah normal untuk melarang sebuah jenis kendaraan untuk beroperasi karena ada kecelakaan padahal mungkin kecelakaan terjadi karena kelalaian pemilik atau pengemudi? Bukan karena masalah di kendaraannya.
Dibunuh karena terbunuh
Maskapai yang beroperasi di Indonesia diharuskan memiliki 10 buah pesawat udara. Maskapai Aviastar sebelum mengalami kecelakaan memiliki 10 buah pesawat. Karena kecelakaan jumlahnya menjadi 9.
Bukannya memberi bantuan untuk kembali menambah pesawat dan menambah keselamatan penerbangan, saat itu juga Kemenhub membekukan maskapai ini karena jumlah pesawatnya berkurang. Saat itu juga Aviastar harus berhenti beroperasi. Ratusan orang kehilangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung.
Kebijakan dan titah-titah yang tidak dipikirkan akibatnya menjadikan dunia penerbangan Indonesia makin kacau. Di mata penggemarnya yang awam penerbangan, segala macam kebijakan ini seperti benar. Di mata profesional penerbangan, semua kebijakan ini terlihat seperti ingin “kelihatan sudah bekerja”. Entah ingin kelihatan oleh masyarakat atau kelihatan oleh pemimpin negara.
Mimpi dan niat baik menertibkan penerbangan Indonesia berubah menjadi kenyataan buruk di tahun 2015.
Bersambung ke bagian 2. Harapan 2016