"Yang penting misi hari ini selesai", demikian sebuah pesan dari seorang penerbang sipil di jejaring sosial di internet. Banyak penerbang termasuk saya sendiri kadang tidak mendefinisikan sebuah misi penerbangan dengan benar. Sebuah penerbangan sipil sebenarnya bukanlah mission oriented, melainkan safety oriented. Artinya, sebenarnya misi yang ada bukanlah hanya terbang ke bandar udara tujuan tapi tujuan utamanya adalah safety (keselamatan terbang).
Masih bingung? Contohnya jika seseorang akan terbang dari Jakarta ke Surabaya, maka orientasi seorang penerbang adalah terbang dengan selamat ke Surabaya, meskipun resikonya tidak sampai di Surabaya dengan alasan keselamatan.
Jadi misalkan pesawat menjadi tidak aman untuk meneruskan penerbangan maka divertion (mengalihkan penerbangan ke bandar udara lain) adalah cara yang paling aman. Bahkan sewaktu sudah melakukan proses approach di Surabaya, sesegera mungkin untuk landing bukanlah goal (tujuan) utama. Banyak hal yang bisa membatalkan pendaratan ini, termasuk unstabilised approach (terlalu tinggi, terlalu cepat, prosedur/checklist belum selesai).
Normal take off, rejected take off, divertion, landing, go around, delay dan keputusan lainnya dilakukan dengan benar jika penerbang sudah mengenali resiko-resiko yang ada. Terutama untuk seorang penerbang yang terbang sendirian (single pilot), mengenali resiko tidaklah mudah. Kebanyakan penerbang cenderung mempunyai cara berpikir mission oriented atau goal oriented, maksudnya selalu berusaha menyelesaikan sebuah tujuan penerbangan. Di kalangan militer, berperilaku mission oriented ini benar, karena dalam beberapa misi tujuannya harus berhasil biarpun nyawa menjadi taruhan demi membela negara. Hal ini tidak berlaku pada penerbangan sipil. Pada penerbangan sipil yang dikenal adalah safety oriented.
Kecenderungan pada cara berpikir yang goal oriented ini dapat mengurangi penilaian pada resiko sebuah penerbangan apalagi pada penerbangan single pilot, yang tidak punya teman diskusi untuk menganalisa resiko. Sebab itu single pilot mempunyai resiko yang lebih besar dalam sebuah penerbangan.
Mari kita telaah sebuah kasus kecelakaan di bawah ini. Seperti biasa, ulasan ini tidak untuk menunjuk pihak yang salah tapi untuk mencegah kejadian yang sama agar tidak terulang. Biarpun kasus di bawah ini adalah penerbangan menggunakan pesawat militer tapi sebenarnya tekanan yang dihadapi penerbangnya merupakan contoh yang dapat terjadi di semua penerbangan baik sipil maupun militer.
Masih bingung? Contohnya jika seseorang akan terbang dari Jakarta ke Surabaya, maka orientasi seorang penerbang adalah terbang dengan selamat ke Surabaya, meskipun resikonya tidak sampai di Surabaya dengan alasan keselamatan.
Jadi misalkan pesawat menjadi tidak aman untuk meneruskan penerbangan maka divertion (mengalihkan penerbangan ke bandar udara lain) adalah cara yang paling aman. Bahkan sewaktu sudah melakukan proses approach di Surabaya, sesegera mungkin untuk landing bukanlah goal (tujuan) utama. Banyak hal yang bisa membatalkan pendaratan ini, termasuk unstabilised approach (terlalu tinggi, terlalu cepat, prosedur/checklist belum selesai).
Normal take off, rejected take off, divertion, landing, go around, delay dan keputusan lainnya dilakukan dengan benar jika penerbang sudah mengenali resiko-resiko yang ada. Terutama untuk seorang penerbang yang terbang sendirian (single pilot), mengenali resiko tidaklah mudah. Kebanyakan penerbang cenderung mempunyai cara berpikir mission oriented atau goal oriented, maksudnya selalu berusaha menyelesaikan sebuah tujuan penerbangan. Di kalangan militer, berperilaku mission oriented ini benar, karena dalam beberapa misi tujuannya harus berhasil biarpun nyawa menjadi taruhan demi membela negara. Hal ini tidak berlaku pada penerbangan sipil. Pada penerbangan sipil yang dikenal adalah safety oriented.
Kecenderungan pada cara berpikir yang goal oriented ini dapat mengurangi penilaian pada resiko sebuah penerbangan apalagi pada penerbangan single pilot, yang tidak punya teman diskusi untuk menganalisa resiko. Sebab itu single pilot mempunyai resiko yang lebih besar dalam sebuah penerbangan.
Mari kita telaah sebuah kasus kecelakaan di bawah ini. Seperti biasa, ulasan ini tidak untuk menunjuk pihak yang salah tapi untuk mencegah kejadian yang sama agar tidak terulang. Biarpun kasus di bawah ini adalah penerbangan menggunakan pesawat militer tapi sebenarnya tekanan yang dihadapi penerbangnya merupakan contoh yang dapat terjadi di semua penerbangan baik sipil maupun militer.
------------------------------
10 April 2010, sebuah pesawat Tupolev TU-154M (PLF 101) milik departemen pertahanan Polandia, berangkat dari kota Warsawa menuju sebuah bandar udara militer di Rusia, Smolensk.
Penerbangan ini juga didampingi oleh sebuah pesawat Yak 40 yang sudah mendarat di Smolensk sekitar 1 jam sebelumnya. Cuaca sudah jelek dan makin memburuk setelah Yak 40 mendarat. 6 menit setelah YAK 40 mendarat, jarak pandang turun dari 4 km ke 2 km.
Ada 2 pesawat Rusia Ilyushin 76 yang juga mencoba mendarat di Smolensk sebelum kedatangan PLF 101. Kedua pesawat tersebut membatalkan pendaratan dan melakukan divertion ke kota lain. Saat itu laporan cuaca ketinggian awan 80 meter, dan jarak pandang 800 meter.
Minima dari bandar udara Smolensk adalah cloud base 100 meter dan visibility 1000 meter. Keadaan cuaca sudah di bawah aerodrome minima. Minima penerbang menurut dokumen yang ada malah lebih besar, cloud base 100 meter dan jarak pandang 1200 meter.
Turun dari ketinggian jelajah, jarak pandang turun menjadi hanya 400 m, suhu +2°C. Meskipun sudah di bawah minima dan diperingatkan oleh ATC, penerbang PLF 101, mengatakan pada ATC dia akan mencoba approach. ATC menyetujuinya dan memperingatkan untuk tidak turun dari ketinggian 100m pada waktu approach. Pada ketinggian 500 meter, awak PLF 101 menghubungi awak Yak 40 dan menanyakan keadaan terakhir yang dijawab bahwa cuaca sangat jelek dan jarak pandang hanya 200m. Awak PLF 101 meneruskan approach.
Pada jarak 1100 meter dari landasan 26 dan kurang lebih 35 meter dari garis tengah landasan, pesawat PLF 101 menyentuh pucuk pohon yang tingginya 11 meter. Tapi tinggi pohon ini adalah dari daratan yang lebih rendah daripada landasan. Pada kenyataannya pesawat PLF 101 jatuh pada ketinggian 15 meter di bawah ketinggian landasan (runway elevation). Akibat kecelakaan ini semua orang di pesawat yang penumpangnya kebanyakan adalah petinggi-petinggi militer Polandia meninggal dunia termasuk presiden Polandia sendiri.
Sesaat setelah kejadian, beredar spekulasi kecelakaan ini adalah hasil terorisme atau konspirasi politik karena korbannya adalah orang nomor satu di Polandia dan petinggi-petinggi militer.
Penerbangan ini juga didampingi oleh sebuah pesawat Yak 40 yang sudah mendarat di Smolensk sekitar 1 jam sebelumnya. Cuaca sudah jelek dan makin memburuk setelah Yak 40 mendarat. 6 menit setelah YAK 40 mendarat, jarak pandang turun dari 4 km ke 2 km.
Ada 2 pesawat Rusia Ilyushin 76 yang juga mencoba mendarat di Smolensk sebelum kedatangan PLF 101. Kedua pesawat tersebut membatalkan pendaratan dan melakukan divertion ke kota lain. Saat itu laporan cuaca ketinggian awan 80 meter, dan jarak pandang 800 meter.
Minima dari bandar udara Smolensk adalah cloud base 100 meter dan visibility 1000 meter. Keadaan cuaca sudah di bawah aerodrome minima. Minima penerbang menurut dokumen yang ada malah lebih besar, cloud base 100 meter dan jarak pandang 1200 meter.
Turun dari ketinggian jelajah, jarak pandang turun menjadi hanya 400 m, suhu +2°C. Meskipun sudah di bawah minima dan diperingatkan oleh ATC, penerbang PLF 101, mengatakan pada ATC dia akan mencoba approach. ATC menyetujuinya dan memperingatkan untuk tidak turun dari ketinggian 100m pada waktu approach. Pada ketinggian 500 meter, awak PLF 101 menghubungi awak Yak 40 dan menanyakan keadaan terakhir yang dijawab bahwa cuaca sangat jelek dan jarak pandang hanya 200m. Awak PLF 101 meneruskan approach.
Pada jarak 1100 meter dari landasan 26 dan kurang lebih 35 meter dari garis tengah landasan, pesawat PLF 101 menyentuh pucuk pohon yang tingginya 11 meter. Tapi tinggi pohon ini adalah dari daratan yang lebih rendah daripada landasan. Pada kenyataannya pesawat PLF 101 jatuh pada ketinggian 15 meter di bawah ketinggian landasan (runway elevation). Akibat kecelakaan ini semua orang di pesawat yang penumpangnya kebanyakan adalah petinggi-petinggi militer Polandia meninggal dunia termasuk presiden Polandia sendiri.
Sesaat setelah kejadian, beredar spekulasi kecelakaan ini adalah hasil terorisme atau konspirasi politik karena korbannya adalah orang nomor satu di Polandia dan petinggi-petinggi militer.
CVR dan FDR ditemukan di sekitar reruntuhan pesawat. Setelah penyelidikan internsif semua bidang terkait termasuk ATC, rekaman pelatihan, rekaman pemeliharaan pesawat didapat beberapa fakta yang terungkap setelah kejadian ini, antara lain:
- Kondisi pesawat dalam keadaan baik.
- Kondisi penerbang dan navigator dalam keadaan baik.
- Pesawat memiliki TAWS (Terrain Awareness Warning System) yang bekerja dengan baik.
- Pintu kokpit terbuka pada saat melakukan approach.
- Menurut laporan otopsi sebagian besar pejabat yang duduk di bagian depan kabin tidak mengenakan sabuk pengaman. (!)
- Direktur protokoler dan Kepala Staf AU Polandia ada di kokpit pada waktu kecelakaan.(?)
- Kapten penerbang/ PIC (Pilot In Command) tidak memutuskan untuk divert ke bandar udara lain yang kondisinya lebih bagus. Jarak pandang hanya 200 meter padahal minima penerbang 1200 meter.
- Terlambat descent di glide path (errornya mencapai 1.5 km).
- Karena terlalu tinggi, maka penerbang membuat descent yang lebih tajam (steep).
- Penerbang meneruskan descent pada saat mencapai Minimum Descent Altitude 100m.
- Tidak satupun penerbang bereaksi pada peringatan TAWS "PULL UP, PULL UP"
- Tidak ada kordinasi antar awak pesawat, baik penerbang maupun navigator. Tidak ada briefing untuk missed approach.
- dan banyak lagi yang secara teknis dapat anda baca di laporan aslinya.
Sekarang pertanyaannya, apakah yang menyebabkan daftar panjang semua human error yang mereka lakukan? Bayangkan diri anda menjadi penerbang PLF 101, dengan cuaca jelek, penumpang anda adalah presiden, orang nomor 1 dan atasan-atasan anda.
- Akankah anda melanjutkan approach atau divert?
- Akankah anda akan mencoba sebuah approach sebelum divert?
- Apakah Jenderal yang ada di kokpit akan mempengaruhi keputusan anda?
- Jika anda memutuskan divert dan atasan anda menolaknya apakah anda akan mengikuti perintah atasan?
- Apakah landing di Smolensk menjadi tujuan utama anda?
- Apakah anda punya minima pribadi? minima perusahaan? minima pesawat?
- Apakah bandar udara tujuan anda punya aerodrome minima?
- Jika tidak terjadi kecelakaan tapi landasan tidak terlihat di Missed Approach Point (MAP), apakah anda akan mencoba untuk approach lagi atau langsung divert?
- Jika landasan terlihat tapi pesawat terlalu tinggi apakah anda akan mencoba landing atau melakukan go around dan divert?
- Hal apa yang menurut anda dapat mencegah kecelakaan ini terjadi?
Tulisan berikutnya akan membahas tentang cara mengurangi resiko dan metoda pengambilan keputusan berdasarkan penilaian resiko-resiko yang ada dengan metoda-metoda yang berbeda (dan membosankan).
sumber: http://www.mak.ru/russian/investigations/2010/files/tu154m_101/finalreport_eng.pdf