gnc.jpg

Teknik Penerbangan memiliki 5 pilar utama: Aerodinamika, Struktur, Propulsi, Mekanika Terbang, dan Guidance, Navigation and Control atau yang lebih dikenal dengan singkatan GNC. Dalam artikel ini, saya ingin mengupas lebih lanjut pilar terakhir tadi, Guidance, Navigation and Control (GNC).
 
GNC adalah bidang kajian yang sangat luas. Insinyur dan peneliti dari berbagai bidang melakukan berbagai macam riset dan pengembangan di area ini, misalnya dari teknik penerbangan, teknik elektro, teknik komputer, teknik industri, matematikawan, statistikawan, dll.
 
Istilah di dunia awam, GNC lebih dikenal dengan istilah navigasi saja. Namun, bidang ini sesungguhnya meliputi tiga kelompok besar bidang kajian yang masing-masing saling terkait satu sama lain. Penulis di sini ingin berbagi sudut padang sebagai seorang insinyur dan peneliti di bidang ini. Semoga menambah wawasan para pembaca.

 

1. Navigation

Dari awal, ketika manusia mengenal mobilisasi, bahkan sebelum masuknya era transportasi bermesin, ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain pertanyaan paling mendasar (fundamental) yang ditanyakan kepada diri mereka adalah, "Di manakah saya berada?" Bermula dari mengenal petunjuk-petunjuk di sekitar rute mereka (landmark) seperti pohon, gunung, dll, dalam pergerakan mereka, manusia mengetahui di mana mereka berada. Seiring dengan majunya pemetaan dan pelayaran, kita juga mengenal bahwa kita dapat menentukan posisi kita dengan memperhatikan benda-benda langit (celestial). Dan sebenarnya dunia pelayaran telah memberikan sumbangan yang sangat besar di bidang celestial navigation ini.
 
Dalam bidang navigasi, ada dua bagian besar metode navigasi: dead reckoning dan position fixing. Dead reckoning adalah cara yang paling sederhana untuk bernavigasi. Dengan mengetahui arah gerak kita (misalnya dengan kompas), kecepatan kita (misalnya dengan speedometer) dan waktu tempuh (misalnya dengan stopwatch), kita bisa mengetahui seberapa jauh kita telah berpindah. Tentunya dengan mengetahui di mana kita berada waktu kita mulai perjalanan tersebut (misalnya kita tahu bahwa kita mulai dari rumah), kita bisa melihat di peta di manakah kita setelah sekian lama bergerak. Ini adalah prinsip utama dari dead reckoning navigation.

 

dr.gif
Dalam penerbangan, dead reckoning dapat dilakukan dengan manual dengan mengetahui airspeed dan wind information serta arah pergerakan kita. Namun juga dapat dilakukan dengan bantuan sensor yang dikenal dengan nama Inertial sensor: accelerometer dan gyroscope. Accelerometer adalah sensor akselerasi dan gyroscope adalah sensor rotasi pesawat. Dengan menggabungkan kedua jenis sensor ini, pesawat memiliki yang dikenal sebagai Inertial Measurement Unit (IMU) untuk melakukan dead reckoning. Dilengkapi dengan sebuah komputer, pesawat dengan Inertial Navigation System (INS) ini dapat menghitung posisi mereka setelah bernavigasi selama sekian lama.

 

combi_show.jpg
Metode lain untuk melakukan navigasi adalah dengan menggunakan metode yang dikenal dengan istilah position fixing. Dengan menggunakan peta dengan mengetahui bearing ataupun jarak dari beberapa landmark yang dapat diidentifikasi di peta, kita bisa menentukan lokasi kita. Perbedaan utama dari metode ini adalah jika bernavigasi menggunakan metode ini, perlu ada alat bantu yang ada di luar sensor yang ada di dalam pesawat. Contoh alat-alat bantu ini adalah Very-high Frequency Omnidirectional Range (VOR), Distance Measuring Equipment (DME), Non-Directional Beacon (NDB), LOng RANge Navigation (LORAN), dan Global Positioning System (GPS).
 
Kalau empat sensor yang pertama disebutkan di atas adalah terrestrial (ada di muka bumi), yang terakhir dikenal dengan sebutan Global Navigation Satellite System (GNSS). GPS adalah GNSS milik Amerika. Beberapa GNSS milik negara lain adalah GLONAS(Rusia) dan Galileo (Uni Eropa).

 

posfix.gif
Navigasi sebenarnya adalah bidang yang cukup "straight-forward", jelas, karena metode di dalam bidang ini sudah lumayan "mature"/dewasa. Permasalahan utama yang terus menjadi bahan pemikiran dan penelitan banyak orang adalah dikarenakan tidak ada sensor yang sempurna. Setiap sensor memiliki karakteristik error/kesalahan masing-masing. Contohnya pada dead-reckoning system adalah error terakumulasi seiring dengan berjalannya waktu. Namun dead-reckoning system sendiri memiliki keunggulan bahwa system ini tidak tergantung dengan sensor di luar system ini (misalnya sinyal satelit GPS). Metode position fixing tidak memiliki karakteristik error yang tergantung dengan waktu, namun sinyalnya tidak selalu ada karena system ini membutuhkan anda dalam jangkauan line-of-sight sinyal radio mereka. Bagaimana menggabungkan berbagai macam keunggulan dan kelemahan masing-masing system inilah yang terus mengisi perkembangan di komunitas navigasi.

 

2. Guidance

Setelah bisa menjawab pertanyaan "Di manakah saya?" pertanyaan berikutnya adalah, "Bagaimana saya sampai ke tempat tujuan?". Masalah yang dihadapi oleh komunitas yang mengembangkan Guidance adalah perencanaan rute. Mungkin ini tidak menjadi suatu permasalahan yang sangat berarti buat para penerbang/pilot di dunia komersial dengan adanya flight dispatch, tetapi ketika menyangkut penerbangan militer (misalnya untuk misille, rocket, dll) ataupun penerbangan tanpa awak (UAV), perencanaan rute bisa menjadi permasalahan yang besar pula.
 
Pertanyaan timbul adalah bagaimana saya bisa bergerak dari titik A ke titik B. Secara teoretik, jumlah trajectory yang bisa diambil adalah tak hingga (infinity). Misalnya, anda berada di Jakarta, bagaimana caranya ke Surabaya? Anda bisa terbang dengan garis lurus sampai ke Surabaya. Anda juga bisa terbang ke Banjarmasin dulu baru menuju ke Surabaya. Anda juga bisa terbang mengitari Jakarta 10 kali sebelum terbang dengan garis lurus ke Surabaya... dan seterusnya, ad nauseam. Pertanyaannya adalah, kriteria apakah yang menjadi dasar suatu rute diambil.
 
Masalah mengenai path planning ini banyak dapat diformulasikan sebagai problem mengenai optimal control yang bisa membawa suatu objek dari titik A ke titik B dengan kriteria/cost function tertentu. Misalnya, jarak terpendek, waktu terpendek, rute terhemat (bahan bakar), menghindari tabrakan ketika bernavigasi di daerah kota (misalnya untuk UAV), dll. Berbagai metode optimisasi digunakan untuk menentukan trajectory yang terbaik menurut suatu kriteria. Tentu saja, kriteria yang dipilih menentukan trajectory yang dihasilkan. Umumnya kriteria ini tergantung dari misi yang dijalankan.
 
Sering kali, metode yang digunakan untuk menghasilkan trajectory ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dihasilkan sehingga komputasi secara real-time bisa menjadi permasalahan. Contohnya ketika menghitung trajectory yang paling optimal dengan menggunakan energy dari angin, karena informasi angin lokal diperoleh ketika sudah airborne/ lepas landas, trajectory yang optimal harus dikalkulasi online secara real-time. Ini adalah salah satu tantangan untuk komunitas di bidang ini. Banyak pendekatan yang bisa diambil seperti dengan genetic algorithm, local discrete optimization, dst.

 

3. Control

Setelah mengetahui rute yang akan dijalani, pesawat perlu menjalani rute tersebut. Di bidang control, kita mempelajari bagaimana pesawat tersebut dapat mengikuti perintah yang diberikan baik oleh pilot maupun autopilot/komputer. Tentu saja di sini yang dimaksudkan adalah respon pesawat tersebut terhadap input di control surface pesawat (elevator, aileron dan rudder) dan engine throttle. Setiap pesawat memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari geometri dan rancangan dari pesawat tersebut. Ada pesawat yang mudah dikendalikan karena sangat stabil, namun ada pula yang lebih "liar" namun gampang ber-manuever. Respon pesawat yang berbeda-beda ini bervariasi tergantung dari kecepatan, berat, ketinggian, kondisi atmosfir, dll. Hal ini menyebabkan bahkan untuk satu pesawat yang sama, sangat sulit untuk merancang suatu controller yang dapat memberikan respon yang identik untuk berbagai kondisi penerbangan.
axes.jpg
Pilot manusia dapat dilatih untuk dapat mengendalikan pesawat dalam berbagai macam kondisi, tetapi dengan semakin bertambah rumit dan kompleksnya penerbangan dan sistem kokpit, dibutuhkan autopilot untuk membantu kerja penerbang. Bagaimanakah melatih autopilot? Berbagai macam teknik dipelajari untuk dapat mengendalikan pesawat pada berbagai kondisi penerbangan, misalnya robust control theory, adaptive controller, berbagai metode nonlinear control, dll. Tidak hanya itu, saat ini juga sedang marak penelitian untuk fault tolerant control. Artinya, bagaimanakah suatu pesawat masih dapat dikendalikan ketika pesawat memiliki suatu permasalahan di control systemnya (misalnya rudder jam, engine flame-out, dll). Pilot manusia belajar dan dilatih untuk mengendalikan pesawat dalam kondisi-kondisi abnormal ini, namun untuk mengurangi human error dan mengurangi beban kerja penerbang, para insinyur dan peneliti terus mempelajari bagaimanakah merancang autopilot yang dapat membantu pesawat tersebut untuk terbang sebaik mungkin pada kondisi abnormal tersebut.
 
Tidak ada satupun bidang yang kami coba uraikan di atas ini yang dapat dituliskan hanya dalam satu lembar kertas. Semua bidang yang disebutkan di atas ini adalah bidang yang sangat luas. Artikel ini hanya mencoba memberikan gambaran/big-picture dari sudut pandang seorang yang bekerja di bidang ini.

Adhika