'fixed it when broke', alias ya betulin kalo rusak aja, bukanlah solusi pemeliharaan untuk mencapai standar keamanan yang tinggiIlmu maintenance di dunia ini cukup banyak dipengaruhi oleh penerbangan, dari awal adanya penerbangan sampai saat ini. Dari mulai seadanya sampai sekarang yang memperhitungkan faktor safety yang tinggi.

Awal mula maintenance pesawat (juga industri lainnya) hanyalah 'fixed it when broke', alias "ya betulin kalo rusak aja, kalo gak rusak jangan diotak-atik". Tapi kemudian, mulai banyak kebutuhan apalagi faktor safety mulai diperhitungkan, sehingga muncullah preventive maintenance, dengan sistem overhaul yang dikenal dengan istilah 'HARDTIME', gak peduli seberapa bagusnya tuh komponen, kalau umurnya dah harus dioverhaul, ya harus dicopot dari pesawat.

Makanya istilah 'HARD TIME' (HT) terasa karena benar-benar buat maskapai penerbangan saat itu mengeluarkan banyak biaya untuk perawatan.

Kemudian tahun 60an (ketika B747 akan di-release), dirasakan perlu untuk membuat suatu konsep maintenance yang lebih jelas. Apalagi tuntutan maskapai penerbangan agar maintenance program yang baru bisa lebih menghemat biaya.

Akhirnya terbentuklah MSG-1 (Maintenance Steering Group) yang merumuskan konsep maintenance program untuk B747. Dalam konsep ini dikenal juga istilah 'ON CONDITION' (OC) selain tentunya HT. OC ini adalah suatu inspeksi berkala untuk menentukan apakah komponen tersebut masih bisa berfungsi atau tidak.

Tahun 70-an juga seperti itu, dirasakan masih banyak kekurangan di konsep MSG-1, sehingga dibentuklah lagi MSG-2. Konsep yang dihasilkan kemudian diterapkan pada pesawat yang lebih banyak dimulai pada DC-10. Pada tahap ini Eropa juga mulai mengadaptasi konsep MSG-2 dengan sebutan E-MSG, dan diterapkan pada pesawat A300 (kalau gak salah). Bahkan beberapa pesawat yang masih beroperasi sekarang memakai konsep MSG-2. contohnya B737CL, MD80, dsb...

Pada konsep MSG-2 ini dikenal juga istilah 'CONDITION MONITORING' (CM), apalagi mulai diperkenalkannya BITE pada beberapa komponen avionik. CM ini tidak seperti HT atau OC yang merupakan preventive maintenance, tetapi berupa pengecekan apabila komponen dirasakan bermasalah.

Salah satu pemantaunya adalah dengan istilah MTBUR (Mean Time Between Unscheduled Removals = umur rata2 penggantian komponen yang di luar jadwal). Komponen yang termasuk dalam CM dimonitor umurnya, apabila mendekati perkiraan umurnya maka harus siap2 melakukan penggantian. Namun tidak ada usia wajib untuk menggantikan komponen tersebut atau melakukan pengecekan kondisinya.

Sekitar tahun 78, UAL (United Airlines) bersama DoD (Department of Defense) Amerika bekerjasama untuk menyusun suatu konsep maintenance management yang lebih baik. Dan saat itulah, istilah RCM mulai terdengar. Engineer UAL yang dimotori Nowlan dan Heap, memperkenalkan konsep RCM ini yang kemudian berkembang luas sampai sekarang (dengan beberapa revisi dan variasi). Karena konsep yang dibuat lebih baik dari MSG-2, maka mulailah dibakukan ke dunia penerbangan yang kemudian dikenal sebagai MSG-3.

Bila MSG-2 dikenal dengan istilah 'process oriented' karena untuk suatu komponen ditentukan berdasarkan tipe maintenance yang berupa processnya saja (HT, OC, dan CM), sedangkan MSG-3 dikenal dengan istilah 'Task Oriented' dimana bentuk maintenancenya langsung berdasarkan tipe pekerjaannya (servicing, lubrication, cleaning, replace, discard, dsb...). pada MSG-3 ini pula konsep HT, OC, dan CM tidak digunakan lagi.

Kebanyakan maintenance program yang disusun berdasarkan MSG-3 tidak mengenal lagi namanya A-check, C-check, dsb (atau dikenal dengan istilah letter check atau Block Maintenance). Semua taskcard hanya diberikan interval berdasarkan Flight Hour (FH), Flight Cycle (FC), atau waktu kalender (DY = Day, MO = Month, YR = Year). Terserah maskapai penerbangan hendak digroupkan seperti apa, bisa menjadi letter check juga atau dibuat dengan istilah Equalized Maintenance (dikelompokkan agar beban kerja merata) atau Progressive Maintenance (dicicil per taskcard).

Jumlah taskcard di MSG-3 lebih sedikir daripada MSG-2 sehingga membuat maskapai penerbangan senang, namun harus berhati2 karena persyaratannya lebih rumit dibandingkan MSG-2/letter check.

Untuk RCM sendiri di maskapai penerbangan ada panduannya yang diberikan FAA, yaitu AC 120-17 kemudian direvisi menjadi AC120-17A.

-------------------------------------------------------------------------------

Tahun 1967, MSG-1 membuat handbook yang berisi tentang maintenance evaluation and program development, yang menjadi panduan untuk pengembangan maintenance program pesawat B747.

Tahun 1969, MSG-2 merevisi dokumen yang dihasilkan MSG-1, dikenal dengan nama Airline Manufacturer Maintenance Program Planning Document. Pertama kali digunakan untuk pembuatan maintenance program untuk Lockheed 1011 dan Douglas DC10. dokumen ini juga diaplikasikan ke pesawat militer, yaitu (pertama kali) Lokcheed S-3, P-3 dan McDonell F4J. Eropa mengadopsi program serupa dengan sebutan E-MSG yang pertama kali dipakai Airbus A300 dan Concorde.

Tahun 1978, Nowlan dan Heap (UAL Engineer) merelease buku RCM, yang kemudian diadopsi menjadi dokumen MSG-3 Airline/Manufacturer Maintenance Program Development Document (tahun 1980). MSG-3 ini kemudian berkembang terus sampai sekarang.

----------------------------------------------------------------------------------

Maintenance Check ini terbagi dalam 3 kategori:

  1. Block Maintenance, atau istilah yang dikenal dengan sebutan Letter Check (ABCD). Pengelompokan ini memang sudah dari pabriknya, setiap taskcard digrup langsung menjadi kelompok masing-masing. A-Check biasanya terdiri dari A1, A2, A3,..., A8. C-check juga begitu, C1,..., C8. Interval taskcard ditentukan dari interval letter checknya, bukan di individu taskcard. Ada beberapa taskcard yg berdiri sendiri, tinggal bagaimana maskapai penerbangan mau masukkan kemana (tentunya ke check yang lebih rendah dari interval aslinya). Maintenance program yang dibuat memakai MSG-2 biasanya menggunakan letter check.
  2. Progressive Maintenance, setiap taskcard dikerjakan berdasarkan intervalnya sendiri (biasanya dikenal dengan day by day maintenance). Tidak ada pengelompokan secara resmi, yang ada mungkin pengerjaan bareng. misalnya ada taskcard yang butuh hangar space dengan waktu lama. daripada dikerjakan sendiri saja, mendingan ada taskcard lain yang dibarengin kerjaannya. Pengerjaan dengan sistem ini lebih rumit, dan butuh upaya yang lebih fokus karena yang dimonitor adalah taskcardnya bukan kelompoknya. Beberapa maskapai penerbangan ada yang menggunakan ini untuk maintenance programnya karena menggunakan MSG3.
    • *note:untuk maintenance program yang MSG-3, interval setiap taskcard diberikan masing-masing. Walau ada yang sama tapi tidak ada pengelompokan seperti letter check. jadi terserah maskapai penerbangan memperlakukannya. Interval tetap dalam FH. FC, atau kalender.
  3. Equalized maintenance, yang di-equalized dalam sistem ini adalah beban kerjanya dalam kelompok-kelompok tertentu (serupa dengank letter check). namun, ada yang mempunyai persepsi yang di-equalized adalah interval check-nya. Untuk sistem ini dikenal dengan sebutan phase check. Seluruh maintenance check untuk pesawat tersebut dilist, lalu dihitung workloadnya, lalu dibag-bagi2 menjadi beberapa phase dengan interval yang tetap. Interval yang dipilih bisa FH, bisa FC, atau bisa kalender. Intervalnya di-equalized ke satuan yang digunakan, namun equalized yang dimaksud bukan ini. Banyak yang menggunakan FH, tapi ada juga yang menggunakan kalender (Day), tergantung kesanggupan maskapai penerbangan tersebut.
Setelah taskcard dikumpulkan lalu dibuat tabel beban kerjanya, intervalnya, lalu dibagi-bagi dalam phase-phase dengan interval yang sama. Beban kerja dibagi sedemikian sehingga setiap phase mempunyai beban kerja yang serupa. Terkecuali beberapa phase yang memang berbeda karena adanya taskcard yang membutuhkan groundtime yang lama. Phase-phase dengan beban kerja rendah biasanya diserupakan dengan a-check, sedangkan beban kerja tinggi diserupakan dengan c-check. Kebanyakan maskapai penerbangan yang menggunakan MSG-3 memilih bentuk ini karena lebih mudah dimonitor dibandingkan progressive. Selain bentuknya mirip dengan block maintenance, sehingga tidak menimbulkan culture shock dalam penerapannya.

Sebenarnya di saat sekarang apapun bentuk yang dipakai tidak terlalu masalah karena ada computerized systems yang dikenal dengan CMMS (computerized maintenance management systems). Namun, tetap saja orang yang memonitornya harus kompeten, dan fokus. Namanya sistem pasti tergantung dari manusia-nya. apalagi sekarang sudah ter-integrasi dengan spare management, accounting/finance, HRD, dsb. Jadi lebih bagus monitoringnya. Ingat jangan sampai terbalik, orang yang dikendalikan komputer... sebaik apapun sistemnya kalau orangnya gak kompeten ya sama aja bohong.....

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang diwajibkan oleh authority adalah setiap pesawat yang dioperasikan harus mempunyai maintenance program documentation, di mana panduannya adalah diberikan oleh pabrik. Jadi terserah pabrik dan maskapai penerbangan tersebut, tinggal permasalahannya mau tidaknya authority tandatangan dokumen-dokumen tersebut sehingga pesawat bisa dioperasikan.

RCM atau MSG-1/-2/-3 ini hanya sebuah metode, tidak ada kewajiban untuk menggunakan metode-metode tersebut. Hanya saja metode RCM/MSG-3 sudah cukup terbukti sangat efisien dan efektif dalam penyusunan maintenance program. Tapi kalo ada pabrik yang bilang, metode saya lebih baik terus mereka menggunakan itu. ya gak masalah. Selama dapat dibuktikan dan disetujui otoritasnya. Jadi perlu diingat, penggunaan MSG-3 tidak wajib, tapi terbukti paling baik....

Saat ini baik EASA maupun FAA sudah menggunakan panduan metode MSG-3 yang sama. karena saat pembuatan handbook-nya atau manualnya, kedua otoritas tersebut terlibat..... yang masih berbeda di mereka adalah Aviation Safety Regulation-nya: FAR dan JAR/EASR.

Militer? lah yang pertama kali buat project ini adalah DOD (department of defense), kemudian diterapkan oleh NAVY dan AIRFORCE. Awalnya mereka buat manual sendiri, kemudian diratifikasi dan akhirnya distandarkan oleh SAE..

Maintenance program sebuah pesawat yang membuat adalah maskapai penerbangan berdasarkan buku panduan dari pabrik yg biasanya disebut Maintenance Planning Data Document, tidak ada hubungan lisensi atau sertifikat dengan MRO yang ada di lokal. tapi untuk mengerjakan maintenance pada tipe tersebut, setiap MRO harus mempunyai kapabilitas untuk tipe pesawat tersebut (atau dibagi-bagi2 berdasarkan komponennya) sebagai persyaratan utama.

Untuk membuat maintenance program, selain daftar taskcard dari MPD (maintenance planning document) yang disediakan oleh pabrik, ada beberapa tambahan yang perlu dimasukkan.

  1. National Requirement, biasanya ada di regulasi utama di negara tersebut. untuk negara kita ada di CASR, yaitu ada kewajiban mendownload data FDR minimal per satu tahun.
  2. Kebutuhan maskapai penerbangan, biasanya ada hal spesifik yang merasa perlu dilakukan oleh maskapai penerbangan tapi tidakk ada di MPD jadi maskapai penerbangan membuat sendiri untuk dimasukan ke Maintenance Program. Ini biasanya berdasarkan experience di maskapai penerbangan.
  3. Airworthiness Directive (AD), ini adalah hal penting yang biasanya dimasukkan dalam maintenance program di luar MPD, terutama bila perintahnya adalah pekerjaan terjadwal.

AD dikeluarkan pertama kali oleh otoritas pabrik pesawat tersebut berada (BOEING - FAA, AIRBUS - EASA/French DGCA) kemudian divalidasi oleh otoritas lokal (Indonesia - DSKU) apakah berlaku untuk pesawat tipe tersebut di negaranya. Tapi karena kepemilikan pesawat lintas negara, biasanya lessor meminta maskapai penerbangan comply / patuh terhadap otoritas asal. Untuk memantau pekerjaan AD, harus dibuat laporan khusus biasanya disebut 'AD COMPLIANCE STATUS' atau sejenisnya. Setiap AD yang dikeluarkan harus dimasukkan ke dalam list tersebut, lalu dilihat apakah efektif/berlaku terhadap pesawat yang dimiliki (berdasarkan MSN, komponen, atau status dokumen lainnya). Kalau efektif, maka harus dicatat kapan pelaksanaannya. AD biasanya merujuk ke Service Bulletin (SB) yang dikeluarkan oleh pabrik untuk proses pelaksanaannya.

AD ada yang bersifat one-time ada juga yang repetitive. Yang one-time biasanya tidak susah, hanya berupa inspeksi untuk memastikan suatu kasus (biasanya alert, dengan waktu kurang dari 1 bulan), modifikasi atau untuk revisi dokumen yang ada di pesawat. Begitu dilaksanakan cukup dicatat kapan dilaksanakan dan oleh siapa, lalu status AD tersebut bisa dianggap CLOSED. Tapi apabila repetitive (berulang), biasanya berupa inspeksi berjadwal seperti taskcard yang ada di MPD. Hanya saja referensinya dari Service Bulletin dan tidak mempunyai taskcard number sehingga no AD sering dijadikan sebagai nomor taskcard. Setelah dilaksanakan, harus dicatat kapan dilaksanakan dan oleh siapa dan yang tidak kalah penting adalah kapan harus dilaksanakan kembali. Semuanya harus tertuang dalam report tersebut.

Sebenarnya dengan adanya sistem komputerisasi tidaklah susah untuk membuat planning pengerjaan AD, namun untuk memudahkan biasanya dimasukan ke dalam maintenance program sehingga maskapai penerbangan tidak repot membuat laporan lagi. Di dalam laporan AD STATUS tinggal dimasukkan pernyataan 'Inserted into Maintenance Program'. Otoritas dalam memeriksa pun mudah, tidak perlu membaca banyak report. Hanya saja yang perlu diperhatikan, bila memasukkan AD ke dalam maintenance (katakanlah ke dalam A-check), maka waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan A-check harus memasukkan prediksi waktu pengerjaan AD tersebut yang biasanya ada di SB referensinya.

Tapi bisa saja tanpa memasukan ke dalam maintenance program, tapi pengerjaannya dilakukan pada saat maintenance check terdekat. Hanya saja karena AD bersifat mandatory alias wajib ketika pabrik merevisi MPD, maka AD tersebut biasanya akan menjadi bagian MPD tersebut dan maskapai penerbangan harus merevisi maintenance programnya untuk AD tersebut.

RCM (Reliability Centered Maintenance)

RCM itu sebenernya Reliability Centered Maintenance, di mana Condition Monitoring Maintenance (CBM) adalah salah satu pelengkapnya (biasanya dikenal sebagai Predictive Maintenance). Untuk membuat maintenance program, setiap operator diberikan satu dokumen namanya Maintenance Planning Data Document yang merupakan hasil kerja 3 pihak: pabrik, otoritas, dan operator sendiri (biasanya terdiri dari operator yang membeli pesawat tersebut), dimana dibuat berdasarkan data-data yang ada atau pengalaman di lapangan. Salah satu tipe maintenance dalam RCM adalah 'no scheduled maintenance'. Tapi operator perlu untuk mempersiapkan diri terhadap kondisi komponen yang terinstall, yaitu dengan statistik tren kinerja komponen didapatkan dari penggunaan di airlines itu sendiri, yang kemudian dibandingkan dengan data pabriknya. data ini digunakan untuk perhitungan MTBUR, MTBF, dan beberapa parameter lainnya sehingga operator dapat mengambil tindakan yang tepat.

Tapi perlu diperhatikan, aplikasi RCM di airlines beda dengan industri lainnya. di airline semua program maintenance harus mendapat persetujuan dari regulator (DSKU, FAA, dsb), sedangkan di industri lain bebas aja... mereka bisa melakukan apa saja. jadi ini salah satu patokan dalam dunia penerbangan, hanya saja metode yang digunakan sama untuk mendapatkan program maintenance yang paling efektif dan efisien. hal lainnya, seperti yang dijelaskan di atas, program maintenance airlines dibuat berdasarkan dokumen dari pabrik yang sudah disusun oleh tiga pihak tersebut, kalau di industri lain bisa hanya terdiri dari internal mereka saja.

*MTBUR = Mean Time Between Unscheduled Removal (penggantian yang tidak terencana)

*MTBF = Mean Time Between Failure (harus konfirm dengan bengkel apakah peralatan tersebut memang rusak atau belum)

 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

CAMP

Nah, ini masalah revisi maintenance program juga penting. Eh, mendingan maintenance program disingkat aja sesuai bahasa resminya  Continuous Airworthiness Maintenance Program alias CAMP. Dan biasanya revisi CAMP ini yang dianaktirikan, banyak yang beranggapan yang penting dah punya... revisi mah gampang...... 

* Perubahan di Maintenance Document dari pabriknya. Kalau ini berubah, ya otomatis CAMP harus menyesuaikan. maskapai penerbangan harus jeli, karena siapa tahu ada taskcard yang dihapuskan... tapi bisa juga ada taskcard yang harus dikerjakan lebih sering (intervalnya di-downgrade atau diturunkan, misal dari 300FH ke 200FH). Yang sering terjadi sebenarnya ada peningkatan interval, karena pabrikan biasanya mengkoleksi data-data dari beberapa maskapai penerbangan besar sehingga mereka menghitung ulang dan membuat rekomendasi. Hal ini penting dilakukan oleh pabrikan agar pesawat mereka tetep laku karena maintenance-nya makin mudah dan murah.

Contohnya begini: misalnya karena belum ada historical usage suatu komponen, kan gak ketahuan umurnya kapan komponen itu bisa rusak. Nah di awal, dia di-set katakan 1000FH untuk inspeksi. Ternyata setelah 1 tahun penggunaan (kira-kira 3000FH) ternyata setelah diinspeksi gak pernah rusak. Data-data ini dikumpulkan dari beberapa maskapai penerbangan dengan beberapa sample pesawat. Akhirnya pabrik bisa membuat interval baru di maintenance document-nya, katakan mereka buat 2500FH. Nah, kemudian dokumennya dirilis ke semua maskapai penerbangan. Nah maskapai penerbangan bisa memasukan hal itu dalam revisinya. Kira-kira begitu salah satu contohnya.

* Revisi aturan dari regulator (DSKU, FAA, dsb) yang tidak tertuang langsung (seperti dalam CASR, FAR, dsb). Perubahan ini berlaku efektif saat itu juga, jadi maskapai penerbangan wajib menerapkan aturan baru tersebut begitu dapat rilisnya. Ini beda dengan yang dari pabrikan, masih bersifat pilihan, kl dari regulator sifatnya wajib.

Contohnya: cek CVR yang tadinya setahun sekali, karena banyak kejadian di indonesia. Lalu seringkali CVRnya gak bisa kasih data (entah rusak, entah banyak noise, atau apalah), akhirnya DSKU bilang cek setiap 6 bulan. Maskapai penerbangan harus segera membuat revisi begitu aturan itu disebarkan oleh DSKU. Ini contoh secara kasar ya. Kenyatannya tidak mengubah sejauh ini.

* Perubahan dari maskapai penerbangan itu sendiri, mungkin karena pengalaman atau ada hal-hal lain yang dimasukkan ke dalam CAMP, misalnya AD. Untuk pengalaman tentunya harus dibuktikan dengan data-data yang valid, berdasarkan hitungan reliability. Bebas-bebas saja mau mengubah apa saja asal data mendukung, apakah itu upgrade interval atau downgrade interval. untuk hal ini harus ada sample check dan implementasinya sedikit-sedikit, biasanya kenaikan 10%.


Contohnya: misalnya inspeksi brake pin. Di CAMP awal disebut setiap satu minggu. ternyata dengan menerapkan suatu proses, brake-nya jadi lebih awet, sehingga ketika check satu minggu tidak pernah menemukan masalah, yang biasanya baru ketemu di minggu ke-4. Akhirnya dilakukan sample dengan 1/3 pesawat menaikkan intervalnya dari satu minggu menjadi dua minggu. setelah 3 bulan, data yang diperoleh bisa dianggap valid (pakai aturan statistik umum), maka ajukan ke DSKU untuk upgrade interval dari 1 minggu ke 2 minggu. Oh ya, kasus ini di pabrik masih menggunakan interval 1 minggu ya (kalau dah 2 minggu ya tinggal dimasukin saja, asal tipe brake yang digunakan sama). Kalau DSKU setuju ya sudah masukan ke revisi CAMP.....

Kalo AD itu daripada pusing menghitung-hitung lagi sendiri, mendingan kalau sifatnya repetitive tanpa 'termination action' mendingan dimasukan ke CAMP. Gak capek kontrolnya.

Terminating action maksudnya suatu tindakan yang bisa menghilangkan kewajiban repetitive inspection, misalnya modifikasi atau penggantian komponen ke versi yang lebih baik. Sebenarnya tanpa perlu pusing, biasanya pabrik otomatis memasukkan AD repetitive ke dalam revisi maintenance document mereka sehingga maskapai penerbangan ketika merevisi juga ikut memasukkannya.

Masalah revisi reguler.

Biasanya revisi reguler ini mengikuti revisi pabrikan, Boeing kalau gak salah itu mengeluarkan per enam bulan sedangkan Airbus per tahun. Jadi maskapai penerbangan tinggal mengikuti mayoritas fleetnya itu apa, ya tinggal ikuti revisi dari pabrikannya. Karena jadwal revisi ini harus ditulis juga di CAMP. Ini statusnya untuk revisi permanen, biasanya ditandai dengan angka yang berubah.

Ada juga revisi yang sifatnya temporary, ini maksudnya untuk meng-cover revisi2 yang dibuat sebelum revisi permanen dikeluarkan. Katakan, seperti hasil perhitungan reliability untuk menaikkan interval dengan sample atau karena banyaknya kasus, sehingga suatu taskcard harus diturunkan intervalnya ini bisa digunakan dengan temporary. Begitu revisi permanen keluar, revisi temporary ini harus dimasukkan ke dalam revisi yang baru.

Revisi karena dokumen pabrik yang berubah sebaiknya jangan dibuat sebagai temporary, demikian juga revisi karena AD. karena dua2nya berlaku efektif, dan AD ini bisa mengikuti revisi terdekat berikutnya. sedangkan karena regulasi, masih bisa sih, karena biasanya langsung saat itu juga berlaku.... tapi sekali lagi, lebih baik menggunakan revisi terdekat berikutnya.

Catatan:  disarikan oleh ilmuterbang.com dari tulisan penulis di sebuah forum internet bertema penerbangan.