Menurut data yang diterbitkan oleh PT.Angkasa Pura II Bandara International Soekarno-Hatta (CGK) tahun 2010 berada pada urutan ke 16 bandara paling sibuk di dunia berdasarkan pergerakan jumlah penumpangnya serta berada di urutan nomor 5 di Asia mengalahkan bandara Internasional Changi di Singapura.1*) Dari table yang tersebut kita bisa melihat volume jumlah penumpang di bandar udara Soekarno-Hatta, Cengkareng meningkat sangat signifikan dari 11.818047 penumpang pada tahun 2001 menjadi 43.704.000 penumpang atau peningkatan sebesar lebih dari 350 persen!
Pergerakan pesawat di bandara International Soekarno-Hatta juga tercatat meningkat tajam dari sebesar 123.540 pergerakan pada tahun 2001 menjadi 248.482 pada tahun 2008 atau meningkat lebih dari 200 persen. Dengan jumlah penumpang yang setara dengan penumpang di bandara Schipol Amsterdam maka seyogianya kemampuan pengaturan lalu lintas udara dari dan menuju bandara Soekarno juga sekelas dengan bandara-bandara International di dunia..
Hampir semua pilot yang terbang menuju dan dari bandara Soekarno-Hatta pasti merasakan betapa sibuknya seorang pengatur lalu lintas udara (ATC, Air Traffic Controller) Jakarta, baik yang bertugas di Jakarta Arrival Control Center maupun Jakarta Approach Control Center bahkan sampai ATC yang bertugas di Soekarno-Hatta Control tower. Pertanyaannya adalah mengapa ke”sibuk”an ini bisa terjadi? Sebagai pembanding dapat diilustrasikan demikian besarnya perbedaan suasana komunikasi ketika pilot menerbangkan pesawat menuju dan dari bandara Changi di Singapura dengan menuju dan dari bandara Internasional Soekarno Hatta.
Kemampuan ATC kita tidaklah kalah apabila dibanding dengan ATC di kawasan Asia. Ketika pilot menerbangkan pesawat dari dan ke bandara Internasional Suvarnabhumi di Bangkok Thailand sebagai contoh, meskipun petugas ATC Bangkok memiliki aksen bahasa Thai yang kuat namun pilot sama-sekali tidak merasakan “sibuk”nya komunikasi yang dilakukan dengan Bangkok Arrival control Center maupun Bangkok Approach Control Center, semuanya berjalan dengan normal dan dengan intonasi ATC yang selalu terjaga tanpa emosi. Menerbangkan pesawat menuju dan dari bandara Changi bahkan jauh lebih mudah dan jauh lebih tidak “sibuk”, ada pameo diantara pilot apabila terbang ke Singapura, ATC lah yang menerbangkan pesawat dan tugas pilot hanyalah mendarat. ATC selalu memberikan update dimana posisi traffic serta berapa jarak pesawat kita ke touchdown bahkan merekalah yang mengatur kecepatan pesawat yang harus dimaintain oleh Pilot, ATC memegang kendali terhadap Vertikal dan lateral separation dan pilot harus disiplin mengikuti perintah ATC.
Apakah ini yang disebut sebagai over capacity di Bandara International Soekarno Hatta? Tidak ada data yang akurat mengenai hal ini namun demikian kita asumsikan saja bahwa telah terjadi over capacity di bandara Internasional Soekarno-Hatta, lalu kalau telah terjadi over capacity apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi “sibuk” nya ATC Jakarta tersebut. Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan referensi sebagai jalan keluar untuk mengurangi over capacity tersebut. Beberapa tahun yang lalu bandara International Indira Ghandi di New Delhi memiliki persoalan yang sangat mirip, di satu pihak terjadi peningkatan jumlah pergerakan pesawat yang sangat significant yang disebabkan oleh banyaknya airlines baru yang didirikan di India, sementara di pihak lain ATS tidak melakukan peningkatan kemampuannya dan akibatnya frekuensi radio menjadi sangat “sibuk” meskipun dalam kondisi yang normal.
Kondisi normal disini adalah kondisi di mana cuaca bagus, kondisi peralatan di bandara normal serta semua landasan beroperasi ditambah lagi tidak ada pesawat yang mengalami gangguan (emergency). Ketika kondisi cuaca memburuk ditambah lagi ILS tidak bekerja serta beberapa pesawat harus divert karena visibility di bawah minima, belum lagi apabila ada pesawat yang menyatakan dalam keadaan darurat (emergency) dimana pesawat bersangkutan menuntut prioritas atas pesawat yang lain... sudah pasti ATC menjadi super “sibuk”. Kesibukan tersebut tidak berlangsung lama setelah ATC Delhi India menerapkan ATS grand design yang berbasis kepada RNAV (Area Navigation), penerapan RNAV STAR (Area Navigation Standard Terminal Arrival Route) dan RNAV SID (Area Navigation Standard Instrument Departure)
RNAV (Area Navigation) adalah sebuah design route yang bertujuan untuk mengurangi konflik di antara Departure Traffic dan Arrival traffic, route ini didesign sehingga pilot memiliki otoritas menerbangkan pesawat dengan sangat sedikit intervensi dari Air Traffic Controller (ATC) dengan demikian mengurangi ke”sibuk”an komunikasi diantara Pilot dan ATC.
Dengan perlengkapan pesawat yang semakin maju dan akurat serta dilengkapi FMS (Flight Management System) maka pesawat udara dengan dibantu dengan ground-based dan space-based navigation positioning system serta koordinat airport bersangkutan yang telah memenuhi ketentuan ICAO ditambah lagi crew telah mendapatkan approval dari authority Negara bersangkutan untuk mengoperasikan pesawat pada RNAV Route. 2*)
Beberapa keuntungan penerapan RNAV adalah :
• Mengurangi work load penerbang dan ATC
• Meningkatkan Situational Awareness (SA) dari penerbang
• Mengurangi kebisingan dengan route design ini
• Mengurangi fuel consumption dengan design direct route.
Pelaksanaan dan aplikasi RNAV tersebut tidaklah sederhana karena menyangkut software dan hardware yang harus disiapkan oleh ATS ditambah lagi harus ada approval dari otoritas penerbangan negara masing-masing bagi airline yang diperbolehkan melakukan RNAV dan dinyatakan pada Opspec (Operation Specification) airline bersangkutan. Meskipun demikian dengan mengingat kembali akan volume jumlah penumpang di bandara internasional Soekarno-Hatta yang sudah berada pada urutan ke 5 di Asia dan urutan ke 16 di dunia maka memang sudah waktunya kita memiliki kemampuan ATS setara dengan bandara internasional lainnya.
Dalam jangka pendek barangkali ada beberapa langkah yang lebih mudah , murah dan realistis yang dapat segera diterapkan guna mengurangi ke”sibuk”an komunikasi di radio antara Pilot dengan ATC, beberapa langkah tersebut adalah:
Membaca tulisan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ternyata memang tidak mudah menjadi ATC di Jakarta……………being pilot is tough but being Jakarta ATC is tougher.
Blue sky fly safe/Hendriady Ade
1*) (http://en.wikipedia.org/wiki/Soekarno%E2%80%93Hatta_International_Airport).
2*) Setiap bandara yang telah menerapkan RNAV selalu menulis Notes : “RNAV with GNSS required for transition, Aircraft unable to meet RNAV 1 requirement can expect radar vector to Localizer Interception”, pesawat Boeing dan Airbus memiliki capability persyaratan RNAV 1 namun karena belum adanya approval dari regulator maka radar vector adalah satu-satunya opsi kita.
Pergerakan pesawat di bandara International Soekarno-Hatta juga tercatat meningkat tajam dari sebesar 123.540 pergerakan pada tahun 2001 menjadi 248.482 pada tahun 2008 atau meningkat lebih dari 200 persen. Dengan jumlah penumpang yang setara dengan penumpang di bandara Schipol Amsterdam maka seyogianya kemampuan pengaturan lalu lintas udara dari dan menuju bandara Soekarno juga sekelas dengan bandara-bandara International di dunia..
Hampir semua pilot yang terbang menuju dan dari bandara Soekarno-Hatta pasti merasakan betapa sibuknya seorang pengatur lalu lintas udara (ATC, Air Traffic Controller) Jakarta, baik yang bertugas di Jakarta Arrival Control Center maupun Jakarta Approach Control Center bahkan sampai ATC yang bertugas di Soekarno-Hatta Control tower. Pertanyaannya adalah mengapa ke”sibuk”an ini bisa terjadi? Sebagai pembanding dapat diilustrasikan demikian besarnya perbedaan suasana komunikasi ketika pilot menerbangkan pesawat menuju dan dari bandara Changi di Singapura dengan menuju dan dari bandara Internasional Soekarno Hatta.
Kemampuan ATC kita tidaklah kalah apabila dibanding dengan ATC di kawasan Asia. Ketika pilot menerbangkan pesawat dari dan ke bandara Internasional Suvarnabhumi di Bangkok Thailand sebagai contoh, meskipun petugas ATC Bangkok memiliki aksen bahasa Thai yang kuat namun pilot sama-sekali tidak merasakan “sibuk”nya komunikasi yang dilakukan dengan Bangkok Arrival control Center maupun Bangkok Approach Control Center, semuanya berjalan dengan normal dan dengan intonasi ATC yang selalu terjaga tanpa emosi. Menerbangkan pesawat menuju dan dari bandara Changi bahkan jauh lebih mudah dan jauh lebih tidak “sibuk”, ada pameo diantara pilot apabila terbang ke Singapura, ATC lah yang menerbangkan pesawat dan tugas pilot hanyalah mendarat. ATC selalu memberikan update dimana posisi traffic serta berapa jarak pesawat kita ke touchdown bahkan merekalah yang mengatur kecepatan pesawat yang harus dimaintain oleh Pilot, ATC memegang kendali terhadap Vertikal dan lateral separation dan pilot harus disiplin mengikuti perintah ATC.
Apakah ini yang disebut sebagai over capacity di Bandara International Soekarno Hatta? Tidak ada data yang akurat mengenai hal ini namun demikian kita asumsikan saja bahwa telah terjadi over capacity di bandara Internasional Soekarno-Hatta, lalu kalau telah terjadi over capacity apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi “sibuk” nya ATC Jakarta tersebut. Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan referensi sebagai jalan keluar untuk mengurangi over capacity tersebut. Beberapa tahun yang lalu bandara International Indira Ghandi di New Delhi memiliki persoalan yang sangat mirip, di satu pihak terjadi peningkatan jumlah pergerakan pesawat yang sangat significant yang disebabkan oleh banyaknya airlines baru yang didirikan di India, sementara di pihak lain ATS tidak melakukan peningkatan kemampuannya dan akibatnya frekuensi radio menjadi sangat “sibuk” meskipun dalam kondisi yang normal.
Kondisi normal disini adalah kondisi di mana cuaca bagus, kondisi peralatan di bandara normal serta semua landasan beroperasi ditambah lagi tidak ada pesawat yang mengalami gangguan (emergency). Ketika kondisi cuaca memburuk ditambah lagi ILS tidak bekerja serta beberapa pesawat harus divert karena visibility di bawah minima, belum lagi apabila ada pesawat yang menyatakan dalam keadaan darurat (emergency) dimana pesawat bersangkutan menuntut prioritas atas pesawat yang lain... sudah pasti ATC menjadi super “sibuk”. Kesibukan tersebut tidak berlangsung lama setelah ATC Delhi India menerapkan ATS grand design yang berbasis kepada RNAV (Area Navigation), penerapan RNAV STAR (Area Navigation Standard Terminal Arrival Route) dan RNAV SID (Area Navigation Standard Instrument Departure)
RNAV (Area Navigation) adalah sebuah design route yang bertujuan untuk mengurangi konflik di antara Departure Traffic dan Arrival traffic, route ini didesign sehingga pilot memiliki otoritas menerbangkan pesawat dengan sangat sedikit intervensi dari Air Traffic Controller (ATC) dengan demikian mengurangi ke”sibuk”an komunikasi diantara Pilot dan ATC.
Dengan perlengkapan pesawat yang semakin maju dan akurat serta dilengkapi FMS (Flight Management System) maka pesawat udara dengan dibantu dengan ground-based dan space-based navigation positioning system serta koordinat airport bersangkutan yang telah memenuhi ketentuan ICAO ditambah lagi crew telah mendapatkan approval dari authority Negara bersangkutan untuk mengoperasikan pesawat pada RNAV Route. 2*)
Beberapa keuntungan penerapan RNAV adalah :
• Mengurangi work load penerbang dan ATC
• Meningkatkan Situational Awareness (SA) dari penerbang
• Mengurangi kebisingan dengan route design ini
• Mengurangi fuel consumption dengan design direct route.
Pelaksanaan dan aplikasi RNAV tersebut tidaklah sederhana karena menyangkut software dan hardware yang harus disiapkan oleh ATS ditambah lagi harus ada approval dari otoritas penerbangan negara masing-masing bagi airline yang diperbolehkan melakukan RNAV dan dinyatakan pada Opspec (Operation Specification) airline bersangkutan. Meskipun demikian dengan mengingat kembali akan volume jumlah penumpang di bandara internasional Soekarno-Hatta yang sudah berada pada urutan ke 5 di Asia dan urutan ke 16 di dunia maka memang sudah waktunya kita memiliki kemampuan ATS setara dengan bandara internasional lainnya.
Dalam jangka pendek barangkali ada beberapa langkah yang lebih mudah , murah dan realistis yang dapat segera diterapkan guna mengurangi ke”sibuk”an komunikasi di radio antara Pilot dengan ATC, beberapa langkah tersebut adalah:
- Demi mengurangi workload ATC sejak dari apron dimana lalu lintas pesawat di apron yang meningkat tajam maka seyogianya dibuat ramp control yang bertanggung jawab atas pergerakan pesawat di apron sebelum ditransfer ke Ground control ketika pesawat memasuki taxiway.
- Membagi tugas Ground control untuk South dan North area dengan pembagian tugasnya yang lebih jelas sehingga akan mengurangi workload masing2 ground control.
- Mendesign Tower controller menjadi dua yaitu South Tower dan North Tower dimana South tower bertanggung jawab atas pergerakan lalu lintas yang menggunakan runway 25Ldan 07R sementara Soeta North tower bertanggung jawab pada Runway 25R dan 07L.
- Menerapkan satu Runway untuk Landing dan Runway lain hanya untuk mendarat dengan tujuan menyederhanakan pengaturan lalu lintas pesawat yang akan mendarat dan tinggal landas dari bandara Internasional SoekarnoHatta Jakarta
- Menerapkan speed control 250 kts within 70 DME DKI dengan disiplin agar supaya memudahkan ATC “menerbangkan” lalu lintas pesawat yang akan mendarat di bandara Internasional SoekarnoHatta.
Membaca tulisan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ternyata memang tidak mudah menjadi ATC di Jakarta……………being pilot is tough but being Jakarta ATC is tougher.
Blue sky fly safe/Hendriady Ade
1*) (http://en.wikipedia.org/wiki/Soekarno%E2%80%93Hatta_International_Airport).
2*) Setiap bandara yang telah menerapkan RNAV selalu menulis Notes : “RNAV with GNSS required for transition, Aircraft unable to meet RNAV 1 requirement can expect radar vector to Localizer Interception”, pesawat Boeing dan Airbus memiliki capability persyaratan RNAV 1 namun karena belum adanya approval dari regulator maka radar vector adalah satu-satunya opsi kita.