Dunia penerbangan memiliki spektrum luas dan membutuhkan penggedor batasan horison yang belum terbuka. Tidak hanya mengenai bagaimana membuat dan mengoperasikan pesawat dan helikopter saja, namun juga sejauh mana terbangnya pesawat dan helikopter turut memberikan lebih banyak manfaat bagi peradaban manusia dengan merangkul berbagai disiplin ilmu.
Minat masyarakat terhadap jenjang studi program doktor bidang penerbangan tidak seramai pendidikan pilot, petugas ATC, dispatcher, mekanik, atau flight attendant/awak kabin. Sebab, jenjang studi ini masih kurang promosi, pembahasan, asupan informasi sehingga sepi peminat. Di atas semua itu, kesadaran akan pentingnya spesialisasi lulusan jenjang pendidikan ini bagi pertumbuhan industri aviasi masih tergolong rendah.
Meski denyut industri aviasi dapat berjalan tanpanya, mengabaikannya begitu saja tidak sesuai dengan pengembangan industri aviasi dalam negeri ke depannya, terlebih dengan iklim kompetisi liberalisasi angkutan udara. Jenjang pendidikan Ph.D (Doctor of Philosophy) bidang aviasi sudah sangat layak digolongkan sebagai national planning seiring ritme pertumbuhan penerbangan domestik yang semakin progresif.
Dari Aristoteles Hingga Howard Hughes
Lantas apa keterkaitannya antara philosophy dengan penerbangan? Filsafat tidak selalu berkutat pada ide abstrak yang kita kenal melalui sejumlah pemikir ternama seperti Aristoteles, Plato, Ibnu Rushdi, Ibnu Khaldun, Confucius, atau Voltaire. Filsafat adalah ilmu untuk mengetahui kebenaran karena cinta akan kebenaran, atau upaya mencapai pemahaman lengkap terhadap hakikat sesuatu.
Dalam konteks penerbangan, jenjang pendidikan ini berfokus pada beberapa konsep sentral aviasi serta teori-teori progresif serta keterkaitannya dengan berbagai spektrum untuk mencapai pemahaman mendalam dan seluas-luasnya.
Seperti pada disiplin ilmu lainnya, Banyak peneliti, penulis, dan peletak dasar teori yang lahir dari jenjang pendidikan ini. Di bidang penerbangan, kompetensi lulusannya diharapkan dapat membuka horison baru melalui riset mandiri melalui hipotesis dan rangkaian metodologi riset. Jika sebuah teori dapat dipertahankan kebenarannya maka akan memperkaya khasanah sains dalam dunia penerbangan.
Jika mengacu pada epistomologi di atas, maka terdapat beberapa tokoh sentral penerbangan dengan kontribusi semisal di atas. Di antaranya adalah Abbas Ibnu Firnas (810–887, eksperimen terbang pertama dalam sejarah), Leonardo Da Vinci (1452-1519), Wright Bersaudara, Lagari Hasan Celebi (abad 17-eksperimen terbang dengan roket menggunakan bubuk mesiu), Anthony Fokker, Igor Sikorsky (1889-1972, pionir pesawat bermesin empat), Lawrence Sperry (1892-1923, penemu dan pengembang autopilot), dan Howard Hughes (1905-1976).
Di saat teknologi dan konsep aviasi era ini dianggap sudah final tanpa membutuhkan sejumlah inovasi progresif, maka di saat itulah aviasi sejatinya mengalami kemunduran. Berbagai aspek bahkan masih minim dari perluasan keilmuan, seperti keterkaitan antara perilaku sosial, kondisi politik global dan dampaknya pada perekonomian, termasuk tren ancaman terorisme.
“Pakar Penerbangan” Sesungguhnya
Program doktor bidang penerbangan mencakup beberapa aspek kontemporer semisal dasar-dasar industri aviasi, sejarah, aviation safety management, aspek hukum, dan metode penelitian kuantitatif. Beberapa aspek arus utama lainnya adalah sistem pesawat terbang, prosedur di bandara, aspek binsis, engineering, dan kepemimpinan.
Secara umum program doktor bidang aviasi terbagi ke dalam tiga, yakni Keselamatan Penerbangan, Faktor Manusia Dalam Penerbangan, dan Keterkaitan Penerbangan Antar Disiplin Ilmu. Aktifitas keilmuan yang dominan dalam program doktor bidang aviasi adalah meneliti dan menulis. Dalam tahapan akhir, seorang kandidat doktor harus mempertahankan disertasinya (teori dan metodologinya) dalam Sidang Promosi Doktoral di hadapan para penguji program doktor.
Lulusan program doktor bidang penerbangan dapat menapaki karir sebagai seorang spesialis, analis, pengajar atau konsultan. Beragam isu yang dikaji di antaranya adalah defisit tenaga pilot, harga minyak yang fluktuatif, basis dinamika kostumer, dan rancangan konsep green airport. Objek yang ditekuni mencakup biologi, kimia dan materi, sains lingkungan, teknik, teori dan aplikasi matematika dalam penerbangan, studi sosial terkait penerbangan, dan fisika.
Para lulusan program doktoral juga dapat melanjutkan studi hingga meraih gelar Profesor untuk mengembangkan riset spesifik di ranah sains penerbangan dan meregenerasi kepada para akademisi, decision maker, pejabat pemerintahan, dan para intelektual penerbangan guna memantapkan pengetahuan aviasi secara umum beserta kompleksitasnya demi memberi sumbangan pemikiran, konsep, teori, dan inovasi di masa depan.
Dalam aspek keselamatan penerbangan lulusan jenjang studi ini dapat berkecimpung dalam penyelidikan dan pengembangan aspek keselamatan maskapai, air traffic control, pengembangan software terkait penerbangan (avionika, IT bandara) dan investigasi kasus insiden/kecelakaan penerbangan.
Damon Lercel Dan Shareef Al Romaithi
Program Ph.D (doktoral) bidang aviasi masih berusia sangat muda, yakni baru muncul di tahun 2010 silam. Meski masih berusia muda, program Ph.D bidang penerbangan akan memberikan course of action yang metodologis dan terencana baik dalam seluruh aktifitas operasional dan pengembangan di berbagai lini aviasi sipil.
Pada tanggal 18 Mei 2013, dunia penerbangan mencapai milestone penting dengan diberikannya gelar Ph.D bidang penerbangan pertama di dunia kepada Damon Lercel di Saint Louis University.
Damon menyelami ranah Safety Management Systems (SMS) dengan merekomendasikan pendekatan unik terhadap tantangan dan hambatan dalam mengaplikasikan SMS di berbagai fasilitas teknis penerbangan di Amerika Serikat.
Sedangkan pada bulan Maret 2015 silam, seorang pilot maskapai Etihad Airways meraih gelar Ph.D. di bidang aviasi sekaligus menjadikannya warga negara Uni Emirat Arab pertama yang meraih gelar tersebut. Pilot bernama Shareef Al Romaithi yang kala itu baru berusia 31 tahun juga merupakan peraih gelar termuda, dan lulusan ke-delapan di dunia pada waktu itu.
Kaderisasi “Filosof” Penerbangan Indonesia
Sejauh ini, isu yang ramai disorot adalah seputar minimnya tenaga pilot dan sumber daya manusia di fasilitas-fasilitas MRO (Maintenance Repair Overhaul). Meski krusial, menguasai dan memahami secara mendalam ranah aviasi melalui aspek teknis, bisnis, sejarah, hukum, operasional, dan keterkaitan antara aspek non aviasi akan memperluas horison kondisi umum dan spesifik industri penerbangan sipil di Indonesia yang kian menantang, progresif, dan majemuk.
Dengan adanya kompetensi akademis semisal di atas pada level pemerintahan diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam menjawab tantangan, hambatan, dan pengembangan potensi indistri aviasi sipil dengan arif dan efektif.
Pemerintah dapat menggiatkan wacana ini melalui berbagai langkah seperti beasiswa atau prasyarat promosi jabatan di Kementerian terkait, juga menggiatkan pembukaan program studi doktor di universitas dan perguruan tinggi dalam negeri.
Lebih ideal lagi, jika sejumlah pilot berpengalaman dengan catatan evaluasi performa kerja yang juga gemilang, dimasukkan ke dalam kaderisasi ini. Sehingga, paduan antara pengalaman di lapangan, kemampuan analisa (kognitif), pemamahan konsep dasar aviasi, serta luasnya pandangan akan keterkaitan aviasi dengan aspek lain akan turut membentuk “peradaban” aviasi sipil dalam negeri maju pesat.
Seseorang yang telah melalui jenjang pendidikan Doctor of Philosophy bidang penerbangan diharapkan memiliki karakter wisdom yang dominan dalam memecahkan masalah dan menjawab tantangan. Salah satunya adalah mencetak decision maker di level pemerintahan yang dilengkapi pemahaman komprehensif untuk merumuskan regulasi dan mengambil langkah pemecahan masalah dengan tidak hanya tegas, namun arif, serarif seorang filosof.