Akhir-akhir ini saya makin tidak mengerti arah penerbangan Indonesia. Penerbangan adalah sebuah ilmu yang luas. Saya jadi ingat cerita gajah dan si buta. Tentang beberapa orang buta yang mempelajari bentuk gajah. Masing-masing ingin menerangkan bentuk gajah.

Saya sebagai penerbang mungkin seperti si buta nomor satu yang memegang telinga gajah dan dengan yakin mengatakan bahwa gajah itu lebar, bisa dikepakkan seperti sayap burung.  Seorang teknisi pesawat mungkin seperti si buta nomor dua yang memegang kaki gajah dan yakin bahwa gajah itu bundar, tegak dan kuat.  Seorang ATC mungkin akan seperti si buta nomor tiga yang memegang belalai gajah dan yakin bahwa gajah itu panjang, bebas bergerak dan fleksibel. 

Masalah timbul pada saat datang orang buta ke empat yang mendapat amanat rakyat untuk memelihara gajah padahal belum pernah menyentuh gajah. Atau mungkin hanya pernah menyentuh ekornya yang kecil dan berpendapat gajah bentuknya seperti cacing yang mudah diatur tapi bau karena dekat dengan lubang tempat keluarnya kotoran.

Masalah keempat orang buta tersebut walaupun matanya tidak bisa melihat hanya bisa diatasi jika mereka mempergunakan telinga dan mulutnya untuk berkomunikasi. Bayangkan kalau keempatnya hanya berbicara tanpa mendengar. Hanya keributan yang terjadi.

Jika keempat orang itu memakai mulutnya setelah telinganya apalagi setelah memakai hatinya, maka mereka akan hidup damai. Saling menasehati dan saling mendengarkan. Jangan jadi si buta yang sudah tidak bisa melihat malah juga menutup telinganya. 

Maaf, saya jadi sok tahu masalah gajah. Mari kita kembali ke penerbangan Indonesia dan pemberitaannya. Banyak sekali pemberitaan di media di Indonesia kalau ada pesawat yang mendarat darurat (emergency landing). Benarkah mereka mendarat darurat? Banyak keterbatasan dalam Bahasa Indonesia untuk menyampaikan berita di penerbangan. Penggunaan bahasa Indonesia dalam penerbangan pun kadang masih seperti orang buta yang mencari bentuk gajah. Beberapa istilah di bawah ini mungkin bisa dicarikan padanan katanya oleh para pakar bahasa. 

Dalam dunia penerbangan ada beberapa hal yang tidak dikategorikan sebagai darurat. Salah satu indikasi darurat adalah pada saat mengalami keadaan yang tidak normal, penerbang akan memberi tahu ATC dengan memberi panggilan "PAN PAN" atau "MAYDAY". Jika panggilan ini dilakukan maka bisa disebut penerbangan tersebut mengalami keadaan darurat. Ada juga keadaan darurat di mana penerbangnya tidak sempat melakukan panggilan ini.

Pada panggilan “PAN PAN” (urgency signal), penerbang hanya memberi tahu bahwa dia butuh respon dan prioritas dari ATC karena keadaan yang mendesak.

Pada panggilan “MAYDAY” (distress signal), keadaan sudah berbahaya, semua orang di frekuensi akan diam dan memberi kesempatan pada pesawat itu untuk dipandu jika butuh bantuan. Panggilan MAYDAY berarti darurat dan harus segera ditanggulangi dengan segera baik oleh penerbang maupun oleh ATC.

Di bawah ini ada beberapa skenario normal yang sering dengan salah kaprah disebut mendarat darurat di dalam tulisan bahasa Indonesia.

 

Divert/Diversion:
Mengalihkan/pengalihan arah penerbangan. Kalau saya akan terbang dari Bandung ke Denpasar maka saya tidak hanya menyiapkan data untuk bandar udara di Denpasar. Misalkan saya pilih bandar udara di Lombok sebagai alternatif, maka saya juga akan kumpulkan data tentang bandar udara di Lombok tersebut. Namanya destination alternate. Datanya berupa cuaca, keadaan dan kondisi bandar udara, kemampuan pesawat, jumlah bahan bakar dan lainnya.

Apakah sudah cukup? Belum, bandar udara lain yang akan saya lewati juga harus saya periksa. Jogja, Solo, Semarang, Malang, Surabaya. Bandar udara yang saya sebutkan ini menjadi bandar udara alternatif juga. Namanya enroute alternate.

Jadi kalau sesampainya di Denpasar saya tidak bisa mendarat karena berbagai hal dan melanjutkan ke Lombok, maka pendaratan saya normal karena sudah direncanakan. Bahan bakar yang dibawapun sudah cukup. Aturannya ada di Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil dari Departemen Perhubungan, yang tidak perlu ditambahi aturan lainnya lagi dari orang yang buta penerbangan.

Pada waktu pergi ke bandar udara alternatif tanpa keadaan darurat, penerbang tidak perlu melakukan panggilan "PAN PAN" ataupun "MAYDAY".

Pengalihan pendaratan dari tujuan ke bandar udara alternatif inilah yang disebut diversion, bukan pendaratan darurat. Awak penerbang bisa memutuskan untuk mengalihkan penerbangan karena berbagai hal, misalnya ada pergerakan VVIP seperti penerbangan presiden, cuaca buruk, jarak pandang jelek dan lain-lain.

Sebelum sampai di Denpasar pun, ada kalanya diversion diperlukan. Misalnya sebelum sampai di Denpasar diketahui ada penutupan bandar udara karena ada pesawat presiden, maka mungkin penerbang akan divert ke Surabaya dengan normal. Tanpa harus melakukan pendaratan darurat.

Mungkin juga pada waktu melewati kota Semarang, lalu ada penumpang yang terkena serangan jantung. Pesawat akan divert, mengalihkan penerbangan ke Semarang. Pendaratan ini normal bukan pendaratan darurat karena penerbangnya pun sudah siap dengan data di bandar udara ini. Dalam kasus ini mungkin penerbang akan menyatakan “PAN PAN” agar diprioritaskan mendarat kalau ada pesawat lain. Kita lihat di sini dalam sebuah penerbangan juga ada kemungkinan penerbangnya tiba-tiba mengalihkan penerbangan atau divert karena keadaan darurat. Pada kejadian ini penerbangnya mungkin akan melakukan panggilan “PAN PAN” atau "MAYDAY".

Kasus lain sebagai penyebab diversion antara lain, penumpang yang membuat onar, berkelahi, masalah medis, masalah teknis baik kecil ataupun besar, cuaca, dan lain-lain. Jadi secara umum diversion tidak selalu identik dengan keadaan darurat.

 

RTB, return to base:

Aslinya ini adalah istilah militer yang artinya pesawat tidak bisa menjalankan misinya dan kembali ke pangkalannya. Istilah ini sekarang sering digunakan untuk menyatakan bahwa sebuah pesawat akan kembali ke bandar udara asal tempat pesawat itu lepas landas. Hal ini juga yang sering disebut mendarat darurat di media berita. Padahal kembali ke bandar udara asal tidak berarti mengalami keadaan darurat. Sebabnya sama. Mungkin karena ada penumpang yang sakit, mungkin ada masalah teknis ringan atau berat, cuaca di tujuan yang tidak baik dan lainnya.
Kembalinya pesawat ke bandar udara asal belum tentu disebut mendarat darurat. Penerbang belum tentu menyatakan keadaan darurat.

 

RTA, return to apron

Istilah return to apron menjadi umum digunakan pada pesawat yang kembali ke tempat parkir sebelum terbang. Alasannya pun bisa normal, atau bisa darurat. Kegagalan teknis sebelum terbang juga belum tentu masalah darurat.

Kadang pesawat bisa terbang tapi ada masalah ringan secara teknis yang perlu diperbaiki sebelum terbang. Misalnya kalau ada masalah teknis ringan tapi tidak bisa diperbaiki di bandar udara tujuan karena tidak ada suku cadang. Cara terbaik adalah pesawat akan diperbaiki dulu sebelum terbang. Daripada tetap terbang tapi sesampainya di tujuan pesawat tidak bisa diperbaiki. Jadi RTA belum tentu keadaan darurat.

 

Diversion atau RTB karena masalah teknis dan non-teknis

Masalah teknis bisa disebabkan oleh berbagai hal. Masalah ini juga bisa ringan atau berat. Kalau masalahnya ringan, mendaratnya pun normal. Tidak ada panggilan “PAN PAN” atau “MAYDAY” dari penerbang.

Kalau masalahnya berat, misalnya roda pendarat tidak bisa dimasukkan dan terganjal dalam posisi tidak terkunci, maka penerbangnya bisa menyatakan keadaan darurat, melakukan panggilan “MAYDAY” dan meminta disiapkan bantuan pada saat mendarat jika terjadi pendaratan darurat tanpa roda. Pendaratan tanpa roda ini adalah sebuah contoh pendaratan darurat. Emergency landing.

Apakah setiap masalah teknis akan menyebabkan penerbang menyatakan hal darurat? Tidak selalu. Salah seorang penerbang pernah mengalami kebocoran hidrolik tapi tidak melakukan panggilan darurat atau melakukan diversion ke bandar udara terdekat. Di pesawatnya ada 3 sistem hidrolik, jadi kehilangan satu sistem bukanlah masalah besar. Di sini bisa kita lihat, sebuah masalah teknis belum tentu menyebabkan keadaan darurat.

Kenapa ada beberapa kecelakaan teknis yang penerbangnya tidak melakukan panggilan darurat?
Pada rekaman kecelakaan sering ditemukan penerbang tidak menyadari ada masalah, atau sedang sibuk menerbangkan pesawatnya. Pada beberapa kecelakaan dengan faktor manusia sebagai pemicunya, ada kejadian di mana penerbangnya masih sibuk menanggulangi masalah dan tidak sempat menyatakan keadaan darurat baik “PAN PAN” atau “MAYDAY”. Komunikasi dengan ATC adalah prioritas terakhir. Prioritas pertama adalah menyelamatkan pesawat.

Pada masalah non teknis, pernyataan darurat juga tergantung situasi dan kondisi. Kalau ada penumpang sesak napas berat mungkin panggilannya akan “PAN PAN”. Kalau ada serangan jantung mungkin panggilannya akan “MAYDAY”.

 

Forced landing

Pernah lihat berita pesawat mendarat di sawah atau di jalan tol? Kejadian ini pasti bisa kita sebut mendarat darurat, emergency landing. Lebih tepatnya “terpaksa mendarat”. Dalam hal ini tidak ada pilihan lain, pesawat harus mendarat. Contoh kasus: semua mesinnya mati, kebakaran yang tidak bisa dikendalikan dan lainnya.

Forced landing bisa juga berarti “Dipaksa mendarat”. Misalnya pesawat yang dipaksa mendarat oleh militer karena melanggar batas wilayah.

 

Ditching
Ditching sama dengan forced landing yang dilakukan di air oleh pesawat yang bukan pesawat amfibi.

Semoga dengan beberapa istilah di atas, semua pesawat yang tidak mendarat di bandar udara tujuan tidak selalu disebut mendarat darurat.