Sebuah tulisan lama yang diterbitkan oleh harian Kompas, Selasa, 17 September 1996. Penulis waktu itu masih aktif sebagai wartawan harian Kompas, juga seorang penerbang dengan lisensi PPL dan diundang oleh salah satu sekolah penerbang di Amerika Serikat yang menerima siswa dari Indonesia. Sayangnya sekolah tersebut saat ini sudah tutup. Tulisan beliau yang lainnya dapat dibaca di perpustakaan elektronik pribadi www.hendrowijono.com (admin)
"ANDA membawa headset?" tanya Robert P Harper III, ketika kami lewat ruang dispatch sekolah pilot di area Bandara Internasional Brownsville, Texas. Saya mengangguk. Pasti bawa, sebab headset jadi no go item bagi seorang penerbang di Amerika Serikat, atau semacam bantal bagi penerbang bertubuh pendek di Indonesia. Tanpa no go item, kita akan kesulitan, bahkan tidak boleh terbang.
Kami masuk ke dalam sebuah pesawat penumpang eksekutif King Air seri 90 yang bisa muat 10 orang. Di belakang, Bob segera menarik tali tangga dan menutup pintu. "Kita cuma berdua?" tanya saya. "Ya, cuma kita penumpangnya dan Anda duduk di kursi kopilot," kata Bob serius.
Setelah duduk, mengikat tali kursi dan tali bahu, menggeser kursi ke depan, lalu memasang headset, rasa percaya belum kunjung muncul. Benarkah dalam perjalanan ini saya akan ikut mengemudikan sebuah King Air, pesawat turboprop yang lembut? Padahal ini perjalanan bukan main-main, karena kami akan terbang ke Bandara Internasional Houston, sekitar 270 mil di timur laut Brownsville.
Bukan cuma karena Houston merupakan bandara modern dan sangat sibuk di Amerika Serikat, yang membuat agak senewen. Tetapi juga karena sepanjang rute ini, sesuai dengan ramalan cuaca, perjalanan akan berlangsung buruk, keluar masuk awan dan badai.
"Your airplane," kata Bob, mengisyaratkan saya yang harus mengemudikan pesawat, begitu King Air masuk ke ujung awal landas pacu. Inilah pengalaman pertama membawa King Air. Agak menegangkan, karena sebelum berangkat tak ada kesempatan mempelajari "kelakuan" pesawat itu. Akibatnya, saat rotate - menarik kemudi untuk mendongakkan hidung pesawat agar pesawat mulai mengudara - saya terlambat melakukannya.
Rotate harus dilakukan pada kecepatan 90 mil per jam. Meski sudah dicoba, rasanya pesawat lambat sekali bereaksi dan ia masih saja terkena ground effect. Lain dengan pesawat yang beberapa hari terakhir ini saya kemudikan ke mana-mana, Piper Apache, yang sama-sama bermesin dua. Rotate Piper Apache lebih ringan, sementara King Air perlu tenaga lebih.
"Rotate, rotate!" teriak Bob. Saya menarik yoke (kemudi) lebih kencang ke arah dada, tetapi akibatnya hidung pesawat mendongak tajam dan terdengar bunyi stall warning, tanda kecepatan menurun dengan segera karena terlalu mendongak. Bob mengoreksi sudut dongak pesawat, dan berikutnya mulus sekali. Pesawat bisa dibelokkan ke kiri, dan roda-roda pendaratnya pun dapat diangkat.
Beda dengan Apache yang bisa diisi enam penumpang, King Air sangat nyaman dikendalikan. Apalagi ia memiliki seperangkat avionics yang mutakhir serta radar cuaca yang responsif dan autopilot.
Radar cuaca dihidupkan Bob sepanjang perjalanan, terutama setelah melewati Corpus Christi, beberapa belas mil dari Brownsville arah ke timur laut. Bob memanfaatkan GPS (global positioning system) yang bisa menunjukkan berbagai hal dengan tepat selama perjalanan, yang ia pasang di yoke-nya. GPS itu bisa menunjukkan arah tujuan dengan tepat, kecepatan pesawat, kecepatan dan arah angin, serta jarak tersisa yang masih harus ditempuh ke tujuan dan sebagainya.
Tidak ada GPS di yoke saya, karenanya Bob selalu menunjukkan pada saya arah yang tepat. Meski begitu, petugas kontrol yang memantau keberadaan pesawat dari pancaran transponder kami, sering kali meminta kami mengubah arah. Kami harus menaatinya, sebab kalau tidak, bisa terjadi tabrakan karena jalur ke Houston sangat sibuk. Di bandara ini, setiap jam terjadi lebih dari 60 kali pergerakan pesawat, naik atau turun dari tiga landasannya.
***
RADAR cuaca yang disetel sepanjang jalan sangat bermanfaat. Jika ada gumpalan warna hijau, itu berarti ada awan di depan. Melihat di radar, kami bisa saja menembus awan yang digambarkan warna hijau, tetapi harus menghindari gumpalan warna kuning, karena itu berarti badai yang berbahaya jika ditembus.
Begitupun selewat Corpus Christi, pesawat terpaksa keluar masuk awan. Kalau yang ditembus awan tipis, pesawat masih tetap bisa melaju dengan tenang. Suatu saat ketika tiba di sebuah jalur, kami tidak mungkin menghindar dari tembok badai, mau tidak mau harus masuk ke dalamnya. Untuk menghindar, kami harus menikung sampai puluhan mil, sehingga tidak efisien.
"Masuk saja," kata Bob. Saya pun tidak membelokkan pesawat untuk menghindar. Tak sampai empat detik, pesawat sudah mulai terasa terbanting-banting. Saya tidak berani melihat keluar. Bukannya takut, melainkan karena harus tetap memelototi instrumen. Ini dibutuhkan agar pesawat tidak berganti arah - yang bahkan bisa kembali ke arah sebaliknya - atau naik-turun dan menikung atau bank (miring) dipermainkan alam.
Pesawat kami sedang diguncang badai. Burung besi itu diangkat tiba-tiba ke atas sehingga rasanya pantat ini melekat erat di jok. Segera saja hidung pesawat harus ditundukkan lagi untuk tetap berada di ketinggian yang sudah ditetapkan.
Tetapi tak sampai dua detik, pesawat tiba-tiba dibanting, sehingga pantat terangkat ke atas dibarengi dengan semangat yang melayang. Kalau saja tidak terikat erat di kursi, tentu kami sudah melayang dan kepala terbentur keras ke langit-langit kokpit. Dua tiga kali kami diangkat dan dibanting, sampai keadaan agak tenang meski masih berada dalam awan.
Secara naluriah, saya menengok ke belakang, ke tempat penumpang. Untung ruang itu kosong. Kalau ada penumpangnya, pasti mereka sudah berteriak-teriak ketakutan, seperti saat pesawat Garuda MD-11 kami memasuki kantung udara, Minggu 1 September lalu. Saat itu pesawat dari Los Angeles ke Jakarta seolah ambles ke bawah, melayangkan apa saja yang tidak terikat, seperti gelas-gelas plastik yang ada di meja penumpang. Tidak cuma gelas plastik, ikut melayang adalah teriakan-teriakan ibu-ibu yang terkejut dengan hati berdesir.
Awan tidak pernah lepas dari rute kami. Bahkan awan menggayut setinggi tak sampai 100 meter di atas bandara internasional Houston dan jarak pandangan cuma empat mil. Tak mungkin kami melakukan pendaratan secara visual (VFR-visual flight rules). Pendaratan harus dilakukan oleh instrumen. Saya belum fasih menjadi penerbang instrumen dan memanfaatkan ILS, sehingga Bob lalu mengambil alih kemudi.
Saya tak bisa menebak bandara ada di mana, karena kami tersaput kabut. Hanya dengan ILS (instrument landing system) saja pesawat bisa menemukan landasan dan mendarat dengan mulus. Saya menarik napas lega, ketika roda-roda pesawat yang diturunkan sebelumnya sudah menjejak bumi. Alhamdulillah.
***
SAAT itu kami dalam perjalanan meninjau pusat pendidikan dan latihan awak kokpit Continental Airlines di Bandara Houston. Di sini kami meninjau dan mencoba perangkat simulator untuk berbagai pesawat jet, seperti Boeing 737, Boeing 727, MD-80, DC-9, dan DC-10.
Simulator 737 saja ada beberapa versi, antara lain 737-200 dan 737-500 yang sama sekali lain cara pengendaliannya. Untuk bisa menggunakan pesawat 737-500, atau bahkan 737-300, seorang pilot harus bisa mengendalikan pesawat 737-200 lebih dulu.
Dari sejumlah simulator yang ada, beberapa statis, artinya diam saja meski sedang dikendalikan ke segala arah. Simulator ini umumnya hanya digunakan untuk pengenalan kokpit bagi pemula. Simulator lain, yang lebih canggih dan mahal, adalah simulator yang bisa bergerak (motion). Simulator lama cuma bisa bergerak ke empat arah, kiri-kanan dan atas bawah. Tetapi jenis yang baru memiliki kaki banyak yang dikontrol secara hidrolis, sehingga bisa bergerak ke enam arah yang membuat pilot serasa benar-benar di pesawat sesungguhnya.
Tom Smith, pilot pesawat berbadan lebar dan instruktur di Pusdiklat itu mengajak saya dan Bob mencoba simulator B 737-200. Simulator ini rencananya akan digunakan siswa-siswa penerbang Southwind milik Bob untuk mengambil rating Boeing 737.
Ini kesempatan langka, yang tidak saya tampik ketika ditawari mencoba mengemudikan pesawat jet itu terbang dari Houston, lalu mendarat lagi di tempat sama. Saya duduk di kokpit, kemudian Tom memberi brifing singkat dan menyilakan saya take off.
Boeing ini, yang jenisnya di Indonesia digunakan oleh Bouraq, Mandala, Merpati dan Sempati serta Airfast, ternyata sangat ringan dikendalikan. Trim-nya tidak harus diputar tangan, tetapi digerakkan secara elektris. Kekuatannya yang besar pun membuat ia cepat sampai pada ketinggian pattern yang ditetapkan, yaitu 2.000 kaki.
Begitu mengudara, sampai ketinggian 500 kaki kami lalu menikung ke kanan, lalu menanjak terus sampai ketinggian 2.000 kaki dan kembali ke arah berlawanan, sampai ke down wind. Tak lama, setelah melewati arah ujung landasan lalu masuk base leg, pesawat turun pelan-pelan.
Persis di depan landasan, pesawat saya kurangi kecepatannya dan saya biarkan turun sendiri sesuai glide slope sampai roda-roda belakangnya menyentuh landasan. Begitu roda depan turun, saya tarik throttle ke belakang untuk reverse atau mengerem dengan daya semburan jet yang terbalik. Pesawat pun segera melaju makin pelan sampai hampir berhenti. Bob berseru, "Good job!".
Simulator milik Continental ini bisa bergerak (motion) ke segala arah dan bahkan membanting keras jika pilot mendaratkannya dengan keras pula. Ruang kokpit ikut mendongak saat pesawat menanjak, miring saat pesawat bank, ikut menukik ketika pesawat akan mendarat. Pokoknya, semua gerakan yang mungkin terjadi saat terbang betulan, akan terjadi pula di simulator ini.
"Kami akan mendidik pilot untuk mengambil rating 737-200 di sini, tetapi ground school-nya di Brownsville," ujar Bob. Ia bekerja sama dengan Continental dengan harapan pendidikan di perusahaan penerbangan akan diberikan sesuai kebutuhan lapangan, sehingga lulusannya bisa siap pakai.
Saat ini memang ada pusat-pusat pendidikan rating B 737-200 yang tidak berafiliasi dengan perusahaan penerbangan. Akibatnya, lulusannya tidak begitu saja bisa diangkat sebagai awak kokpit di perusahaan-perusahaan penerbangan. Bagi pemuda-pemuda Indonesia, sebenarnya lebih baik jika mereka mengikuti pendidikan rating pesawat jet, setelah pendidikan pilot komersial mereka selesai. Kendalanya adalah biaya yang harus dibayar akhirnya cukup tinggi.
Jika untuk CPL/ME/IR (commercial pilot licence/multi engine/instrument rating) mereka harus membayar sekitar 20.000 dollar AS, untuk rating 737-200, mereka harus membayar 10.000 dollar lagi. "Tetapi kalau mengambil paket komplet dari awal sampai 737, mungkin biayanya akan lebih murah," kata Bob Harper.
Bagaimanapun, persaingan antarsumber daya manusia pilot di Indonesia kini sangat ketat. Bayangkan, dari Southwind saja setiap tahun diluluskan sedikitnya 100 orang, belum dari sekolah-sekolah terbang AS lainnya, ditambah dari Australia dan New Zealand. Sementara jumlah lulusan Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug sekitar 60 orang (tahun depan akan 120 orang), dari Deraya, Avindo, dan Juanda Flying School sekitar 60 orang. Jumlahnya mungkin sekitar 350 pilot hijau terjun meramaikan pasar tenaga kerja, sementara kebutuhan riil cuma sekitar 300 orang.
Makin lama, persyaratan yang diminta perusahaan penerbangan akan makin tinggi. Selain syarat itu harus dipenuhi sekolah terbang, nilai tambah calon kapten juga diperhatikan. Misalnya, apakah dia datang dengan sekadar "CPL-gundul" - tanpa multi engine/instrument rating - CPL komplet atau punya rating jet. "Mereka yang melamar dengan kualifikasi penerbang pesawat penumpang jet semisal Boeing 737-200 akan lebih mudah mencari kerja daripada yang tanpa rating jet sama sekali," kata seorang eksekutif penerbangan.
Namun demikian, menurut beberapa checker Indonesia, mereka yang sudah lulus dan mendapat rating Boeing 737-200 ternyata belum siap pakai kalau hanya dari simulator. Karenanya rating-nya tidak bisa begitu saja dialihkan (endorse) ke licence Indonesia. Tamatan beberapa sekolah penerbangan dengan rating Boeing 737-200 ternyata belum mendapat pengakuan dari FAA (Federal Aviation Administration - Badan Administrasi Penerbangan AS). "Kalau mereka saja tidak mengakui, kami pun tidak bisa mengakuinya," kata seorang penguji. Maklum, mereka cuma 30 menit mengemudi pesawat betulan, dan selebihnya, 25 jam di simulator.
"ANDA membawa headset?" tanya Robert P Harper III, ketika kami lewat ruang dispatch sekolah pilot di area Bandara Internasional Brownsville, Texas. Saya mengangguk. Pasti bawa, sebab headset jadi no go item bagi seorang penerbang di Amerika Serikat, atau semacam bantal bagi penerbang bertubuh pendek di Indonesia. Tanpa no go item, kita akan kesulitan, bahkan tidak boleh terbang.
Kami masuk ke dalam sebuah pesawat penumpang eksekutif King Air seri 90 yang bisa muat 10 orang. Di belakang, Bob segera menarik tali tangga dan menutup pintu. "Kita cuma berdua?" tanya saya. "Ya, cuma kita penumpangnya dan Anda duduk di kursi kopilot," kata Bob serius.
Setelah duduk, mengikat tali kursi dan tali bahu, menggeser kursi ke depan, lalu memasang headset, rasa percaya belum kunjung muncul. Benarkah dalam perjalanan ini saya akan ikut mengemudikan sebuah King Air, pesawat turboprop yang lembut? Padahal ini perjalanan bukan main-main, karena kami akan terbang ke Bandara Internasional Houston, sekitar 270 mil di timur laut Brownsville.
Bukan cuma karena Houston merupakan bandara modern dan sangat sibuk di Amerika Serikat, yang membuat agak senewen. Tetapi juga karena sepanjang rute ini, sesuai dengan ramalan cuaca, perjalanan akan berlangsung buruk, keluar masuk awan dan badai.
"Your airplane," kata Bob, mengisyaratkan saya yang harus mengemudikan pesawat, begitu King Air masuk ke ujung awal landas pacu. Inilah pengalaman pertama membawa King Air. Agak menegangkan, karena sebelum berangkat tak ada kesempatan mempelajari "kelakuan" pesawat itu. Akibatnya, saat rotate - menarik kemudi untuk mendongakkan hidung pesawat agar pesawat mulai mengudara - saya terlambat melakukannya.
Rotate harus dilakukan pada kecepatan 90 mil per jam. Meski sudah dicoba, rasanya pesawat lambat sekali bereaksi dan ia masih saja terkena ground effect. Lain dengan pesawat yang beberapa hari terakhir ini saya kemudikan ke mana-mana, Piper Apache, yang sama-sama bermesin dua. Rotate Piper Apache lebih ringan, sementara King Air perlu tenaga lebih.
"Rotate, rotate!" teriak Bob. Saya menarik yoke (kemudi) lebih kencang ke arah dada, tetapi akibatnya hidung pesawat mendongak tajam dan terdengar bunyi stall warning, tanda kecepatan menurun dengan segera karena terlalu mendongak. Bob mengoreksi sudut dongak pesawat, dan berikutnya mulus sekali. Pesawat bisa dibelokkan ke kiri, dan roda-roda pendaratnya pun dapat diangkat.
Beda dengan Apache yang bisa diisi enam penumpang, King Air sangat nyaman dikendalikan. Apalagi ia memiliki seperangkat avionics yang mutakhir serta radar cuaca yang responsif dan autopilot.
Radar cuaca dihidupkan Bob sepanjang perjalanan, terutama setelah melewati Corpus Christi, beberapa belas mil dari Brownsville arah ke timur laut. Bob memanfaatkan GPS (global positioning system) yang bisa menunjukkan berbagai hal dengan tepat selama perjalanan, yang ia pasang di yoke-nya. GPS itu bisa menunjukkan arah tujuan dengan tepat, kecepatan pesawat, kecepatan dan arah angin, serta jarak tersisa yang masih harus ditempuh ke tujuan dan sebagainya.
Tidak ada GPS di yoke saya, karenanya Bob selalu menunjukkan pada saya arah yang tepat. Meski begitu, petugas kontrol yang memantau keberadaan pesawat dari pancaran transponder kami, sering kali meminta kami mengubah arah. Kami harus menaatinya, sebab kalau tidak, bisa terjadi tabrakan karena jalur ke Houston sangat sibuk. Di bandara ini, setiap jam terjadi lebih dari 60 kali pergerakan pesawat, naik atau turun dari tiga landasannya.
***
RADAR cuaca yang disetel sepanjang jalan sangat bermanfaat. Jika ada gumpalan warna hijau, itu berarti ada awan di depan. Melihat di radar, kami bisa saja menembus awan yang digambarkan warna hijau, tetapi harus menghindari gumpalan warna kuning, karena itu berarti badai yang berbahaya jika ditembus.
Begitupun selewat Corpus Christi, pesawat terpaksa keluar masuk awan. Kalau yang ditembus awan tipis, pesawat masih tetap bisa melaju dengan tenang. Suatu saat ketika tiba di sebuah jalur, kami tidak mungkin menghindar dari tembok badai, mau tidak mau harus masuk ke dalamnya. Untuk menghindar, kami harus menikung sampai puluhan mil, sehingga tidak efisien.
"Masuk saja," kata Bob. Saya pun tidak membelokkan pesawat untuk menghindar. Tak sampai empat detik, pesawat sudah mulai terasa terbanting-banting. Saya tidak berani melihat keluar. Bukannya takut, melainkan karena harus tetap memelototi instrumen. Ini dibutuhkan agar pesawat tidak berganti arah - yang bahkan bisa kembali ke arah sebaliknya - atau naik-turun dan menikung atau bank (miring) dipermainkan alam.
Pesawat kami sedang diguncang badai. Burung besi itu diangkat tiba-tiba ke atas sehingga rasanya pantat ini melekat erat di jok. Segera saja hidung pesawat harus ditundukkan lagi untuk tetap berada di ketinggian yang sudah ditetapkan.
Tetapi tak sampai dua detik, pesawat tiba-tiba dibanting, sehingga pantat terangkat ke atas dibarengi dengan semangat yang melayang. Kalau saja tidak terikat erat di kursi, tentu kami sudah melayang dan kepala terbentur keras ke langit-langit kokpit. Dua tiga kali kami diangkat dan dibanting, sampai keadaan agak tenang meski masih berada dalam awan.
Secara naluriah, saya menengok ke belakang, ke tempat penumpang. Untung ruang itu kosong. Kalau ada penumpangnya, pasti mereka sudah berteriak-teriak ketakutan, seperti saat pesawat Garuda MD-11 kami memasuki kantung udara, Minggu 1 September lalu. Saat itu pesawat dari Los Angeles ke Jakarta seolah ambles ke bawah, melayangkan apa saja yang tidak terikat, seperti gelas-gelas plastik yang ada di meja penumpang. Tidak cuma gelas plastik, ikut melayang adalah teriakan-teriakan ibu-ibu yang terkejut dengan hati berdesir.
Awan tidak pernah lepas dari rute kami. Bahkan awan menggayut setinggi tak sampai 100 meter di atas bandara internasional Houston dan jarak pandangan cuma empat mil. Tak mungkin kami melakukan pendaratan secara visual (VFR-visual flight rules). Pendaratan harus dilakukan oleh instrumen. Saya belum fasih menjadi penerbang instrumen dan memanfaatkan ILS, sehingga Bob lalu mengambil alih kemudi.
Saya tak bisa menebak bandara ada di mana, karena kami tersaput kabut. Hanya dengan ILS (instrument landing system) saja pesawat bisa menemukan landasan dan mendarat dengan mulus. Saya menarik napas lega, ketika roda-roda pesawat yang diturunkan sebelumnya sudah menjejak bumi. Alhamdulillah.
***
SAAT itu kami dalam perjalanan meninjau pusat pendidikan dan latihan awak kokpit Continental Airlines di Bandara Houston. Di sini kami meninjau dan mencoba perangkat simulator untuk berbagai pesawat jet, seperti Boeing 737, Boeing 727, MD-80, DC-9, dan DC-10.
Simulator 737 saja ada beberapa versi, antara lain 737-200 dan 737-500 yang sama sekali lain cara pengendaliannya. Untuk bisa menggunakan pesawat 737-500, atau bahkan 737-300, seorang pilot harus bisa mengendalikan pesawat 737-200 lebih dulu.
Dari sejumlah simulator yang ada, beberapa statis, artinya diam saja meski sedang dikendalikan ke segala arah. Simulator ini umumnya hanya digunakan untuk pengenalan kokpit bagi pemula. Simulator lain, yang lebih canggih dan mahal, adalah simulator yang bisa bergerak (motion). Simulator lama cuma bisa bergerak ke empat arah, kiri-kanan dan atas bawah. Tetapi jenis yang baru memiliki kaki banyak yang dikontrol secara hidrolis, sehingga bisa bergerak ke enam arah yang membuat pilot serasa benar-benar di pesawat sesungguhnya.
Tom Smith, pilot pesawat berbadan lebar dan instruktur di Pusdiklat itu mengajak saya dan Bob mencoba simulator B 737-200. Simulator ini rencananya akan digunakan siswa-siswa penerbang Southwind milik Bob untuk mengambil rating Boeing 737.
Ini kesempatan langka, yang tidak saya tampik ketika ditawari mencoba mengemudikan pesawat jet itu terbang dari Houston, lalu mendarat lagi di tempat sama. Saya duduk di kokpit, kemudian Tom memberi brifing singkat dan menyilakan saya take off.
Boeing ini, yang jenisnya di Indonesia digunakan oleh Bouraq, Mandala, Merpati dan Sempati serta Airfast, ternyata sangat ringan dikendalikan. Trim-nya tidak harus diputar tangan, tetapi digerakkan secara elektris. Kekuatannya yang besar pun membuat ia cepat sampai pada ketinggian pattern yang ditetapkan, yaitu 2.000 kaki.
Begitu mengudara, sampai ketinggian 500 kaki kami lalu menikung ke kanan, lalu menanjak terus sampai ketinggian 2.000 kaki dan kembali ke arah berlawanan, sampai ke down wind. Tak lama, setelah melewati arah ujung landasan lalu masuk base leg, pesawat turun pelan-pelan.
Persis di depan landasan, pesawat saya kurangi kecepatannya dan saya biarkan turun sendiri sesuai glide slope sampai roda-roda belakangnya menyentuh landasan. Begitu roda depan turun, saya tarik throttle ke belakang untuk reverse atau mengerem dengan daya semburan jet yang terbalik. Pesawat pun segera melaju makin pelan sampai hampir berhenti. Bob berseru, "Good job!".
Simulator milik Continental ini bisa bergerak (motion) ke segala arah dan bahkan membanting keras jika pilot mendaratkannya dengan keras pula. Ruang kokpit ikut mendongak saat pesawat menanjak, miring saat pesawat bank, ikut menukik ketika pesawat akan mendarat. Pokoknya, semua gerakan yang mungkin terjadi saat terbang betulan, akan terjadi pula di simulator ini.
"Kami akan mendidik pilot untuk mengambil rating 737-200 di sini, tetapi ground school-nya di Brownsville," ujar Bob. Ia bekerja sama dengan Continental dengan harapan pendidikan di perusahaan penerbangan akan diberikan sesuai kebutuhan lapangan, sehingga lulusannya bisa siap pakai.
Saat ini memang ada pusat-pusat pendidikan rating B 737-200 yang tidak berafiliasi dengan perusahaan penerbangan. Akibatnya, lulusannya tidak begitu saja bisa diangkat sebagai awak kokpit di perusahaan-perusahaan penerbangan. Bagi pemuda-pemuda Indonesia, sebenarnya lebih baik jika mereka mengikuti pendidikan rating pesawat jet, setelah pendidikan pilot komersial mereka selesai. Kendalanya adalah biaya yang harus dibayar akhirnya cukup tinggi.
Jika untuk CPL/ME/IR (commercial pilot licence/multi engine/instrument rating) mereka harus membayar sekitar 20.000 dollar AS, untuk rating 737-200, mereka harus membayar 10.000 dollar lagi. "Tetapi kalau mengambil paket komplet dari awal sampai 737, mungkin biayanya akan lebih murah," kata Bob Harper.
Bagaimanapun, persaingan antarsumber daya manusia pilot di Indonesia kini sangat ketat. Bayangkan, dari Southwind saja setiap tahun diluluskan sedikitnya 100 orang, belum dari sekolah-sekolah terbang AS lainnya, ditambah dari Australia dan New Zealand. Sementara jumlah lulusan Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug sekitar 60 orang (tahun depan akan 120 orang), dari Deraya, Avindo, dan Juanda Flying School sekitar 60 orang. Jumlahnya mungkin sekitar 350 pilot hijau terjun meramaikan pasar tenaga kerja, sementara kebutuhan riil cuma sekitar 300 orang.
Makin lama, persyaratan yang diminta perusahaan penerbangan akan makin tinggi. Selain syarat itu harus dipenuhi sekolah terbang, nilai tambah calon kapten juga diperhatikan. Misalnya, apakah dia datang dengan sekadar "CPL-gundul" - tanpa multi engine/instrument rating - CPL komplet atau punya rating jet. "Mereka yang melamar dengan kualifikasi penerbang pesawat penumpang jet semisal Boeing 737-200 akan lebih mudah mencari kerja daripada yang tanpa rating jet sama sekali," kata seorang eksekutif penerbangan.
Namun demikian, menurut beberapa checker Indonesia, mereka yang sudah lulus dan mendapat rating Boeing 737-200 ternyata belum siap pakai kalau hanya dari simulator. Karenanya rating-nya tidak bisa begitu saja dialihkan (endorse) ke licence Indonesia. Tamatan beberapa sekolah penerbangan dengan rating Boeing 737-200 ternyata belum mendapat pengakuan dari FAA (Federal Aviation Administration - Badan Administrasi Penerbangan AS). "Kalau mereka saja tidak mengakui, kami pun tidak bisa mengakuinya," kata seorang penguji. Maklum, mereka cuma 30 menit mengemudi pesawat betulan, dan selebihnya, 25 jam di simulator.