PARA penumpang dan crew pesawat sebuah Airlines yang terbang dari Taipei, Taiwan menuju Denpasar tak pernah menyangka akan mengalami insiden udara. Ketika take off dari Taipei pukul 09.19 (wita), Sabtu (20/9/2008) lalu, pesawat jenis Boeing 747-400 itu mengudara dengan soft, maklum langit begitu cerah. Secara perlahan, pilot menaikkan ketinggian pesawat.
Setelah ketinggian cukup ideal, salah satu crew pesawat mengumumkan, para penumpang bisa menanggalkan sabuk pengaman (safety belt), namun dianjurkan untuk tetap menggunakannya bila sedang duduk. Penumpang yang berjumlah 399 orang itu lantas tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Sebagian penumpang membunuh waktu dengan membaca, sebagian lagi mengobrol. Ada pula yang ke toilet.
Kira-kira dua jam setelah lepas landas atau sekitar pukul 11.20 wita, pesawat mendadak mengalami guncangan hebat. Begitu tiba-tibanya kejadian itu, banyak penumpang dan crew pesawat sampai terempas karena tidak dalam posisi duduk dan tidak mengenakan safety belt. Lalu terdengar pengumuman bahwa pesawat diterpa cuaca buruk dan pesawat mengalami turbulensi.
Saat badai Taifun mengempas, badan pesawat milik maskapai penerbangan itu mengalami guncangan hebat. Pesawat terbang pada ketinggian 37.000 kaki atau sekitar 12,2 km di atas permukaan laut dengan posisi di atas wilayah hukum Filipina. Kejadian beberapa detik itu cukup fatal, ada penumpang yang terlempar dan sebagiannya mengalami patah tulang.
Setelah ketinggian cukup ideal, salah satu crew pesawat mengumumkan, para penumpang bisa menanggalkan sabuk pengaman (safety belt), namun dianjurkan untuk tetap menggunakannya bila sedang duduk. Penumpang yang berjumlah 399 orang itu lantas tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Sebagian penumpang membunuh waktu dengan membaca, sebagian lagi mengobrol. Ada pula yang ke toilet.
Kira-kira dua jam setelah lepas landas atau sekitar pukul 11.20 wita, pesawat mendadak mengalami guncangan hebat. Begitu tiba-tibanya kejadian itu, banyak penumpang dan crew pesawat sampai terempas karena tidak dalam posisi duduk dan tidak mengenakan safety belt. Lalu terdengar pengumuman bahwa pesawat diterpa cuaca buruk dan pesawat mengalami turbulensi.
Saat badai Taifun mengempas, badan pesawat milik maskapai penerbangan itu mengalami guncangan hebat. Pesawat terbang pada ketinggian 37.000 kaki atau sekitar 12,2 km di atas permukaan laut dengan posisi di atas wilayah hukum Filipina. Kejadian beberapa detik itu cukup fatal, ada penumpang yang terlempar dan sebagiannya mengalami patah tulang.
Dalam keterangannya kepada Group Leader APP Bandara Ngurah Rai, Kapten Pilot mengatakan, setelah pesawat terbang normal, para penumpang dan crew pesawat yang luka-luka termasuk pramugari segera ditangani tim kesehatan dalam pesawat. Kehadiran tim kesehatan merupakan salah satu syarat utama dalam setiap penerbangan internasional.
Seiring dengan kian meredanya badai Taifun, pesawat yang semula mengalami guncangan akhirnya bisa dikendalikan. Sang pilot sendiri tak pernah menyangka pesawatnya akan terjebak dalam badai karena pada saat terjadi turbulensi kondisinya cerah atau dalam istilah penerbangan dikenal dengan Clear Air Turbulence (CAT). Kejadian seperti ini merupakan hal wajar dalam penerbangan lintas negara.
Tak Ada Pemberitahuan
Karena kondisi normal, pilot memutuskan untuk tidak melakukan pendaratan darurat. Flight Information Region (FIR) milik Indonesia yang ada di Makassar tak mendapat sinyal atau isyarat pendaratan darurat. Saat itu memang tidak ada pemberitahuan dari pilot kepada Air Traffic Control (ATC), termasuk ATC di Bandara Ngurah Rai.
Uniknya, pilot malah menghubungi Gapura Angkasa -- salah satu operator ground-handling di Bandara Ngurah Rai -- dan memberitahukan ada penumpang yang terluka sehingga perlu disiapkan fasilitas perawatan. Gapura Angkasa lantas meneruskan informasi itu kepada Airport Duty Manager (ADM) Bandara Ngurah Rai untuk selanjutnya dilaporkan ke ATC. Pihak ATC lantas mengonfirmasi pilot dan membenarkannya.
Pukul 14.05 wita pesawat landing dengan normal. PAP I Bandara Ngurah Rai sudah menyiagakan sejumlah mobil ambulans untuk mengangkut penumpang yang luka berat. Sementara penumpang yang luka ringan sempat dirawat di klinik Bandara Ngurah Rai. Setelah semua rampung, sekitar pukul 16.00 wita 'burung terbang' milik Airlines itu kembali mengangkasa dengan menyisakan kegalauan bagi para korban yang dirawat.
Dikutip dari Koran Bali Post Rabu 24 September 2008
Diatas adalah kutipan dari Koran Bali post yang memberitakan adanya Inflight-injuries ketika sebuah heavy jet menabrak suatu Turbulence. Sering kali menjadi diskusi yang cukup hangat adalah apa yang dapat dilakukan oleh awak pesawat apabila terjadi kejadian seperti yang dialami oleh pesawat terbang dalam pemberitaan Bali post di atas,
Seiring dengan kian meredanya badai Taifun, pesawat yang semula mengalami guncangan akhirnya bisa dikendalikan. Sang pilot sendiri tak pernah menyangka pesawatnya akan terjebak dalam badai karena pada saat terjadi turbulensi kondisinya cerah atau dalam istilah penerbangan dikenal dengan Clear Air Turbulence (CAT). Kejadian seperti ini merupakan hal wajar dalam penerbangan lintas negara.
Tak Ada Pemberitahuan
Karena kondisi normal, pilot memutuskan untuk tidak melakukan pendaratan darurat. Flight Information Region (FIR) milik Indonesia yang ada di Makassar tak mendapat sinyal atau isyarat pendaratan darurat. Saat itu memang tidak ada pemberitahuan dari pilot kepada Air Traffic Control (ATC), termasuk ATC di Bandara Ngurah Rai.
Uniknya, pilot malah menghubungi Gapura Angkasa -- salah satu operator ground-handling di Bandara Ngurah Rai -- dan memberitahukan ada penumpang yang terluka sehingga perlu disiapkan fasilitas perawatan. Gapura Angkasa lantas meneruskan informasi itu kepada Airport Duty Manager (ADM) Bandara Ngurah Rai untuk selanjutnya dilaporkan ke ATC. Pihak ATC lantas mengonfirmasi pilot dan membenarkannya.
Pukul 14.05 wita pesawat landing dengan normal. PAP I Bandara Ngurah Rai sudah menyiagakan sejumlah mobil ambulans untuk mengangkut penumpang yang luka berat. Sementara penumpang yang luka ringan sempat dirawat di klinik Bandara Ngurah Rai. Setelah semua rampung, sekitar pukul 16.00 wita 'burung terbang' milik Airlines itu kembali mengangkasa dengan menyisakan kegalauan bagi para korban yang dirawat.
Dikutip dari Koran Bali Post Rabu 24 September 2008
Diatas adalah kutipan dari Koran Bali post yang memberitakan adanya Inflight-injuries ketika sebuah heavy jet menabrak suatu Turbulence. Sering kali menjadi diskusi yang cukup hangat adalah apa yang dapat dilakukan oleh awak pesawat apabila terjadi kejadian seperti yang dialami oleh pesawat terbang dalam pemberitaan Bali post di atas,
Kalau kita membaca berita di koran seringkali kita menjadi ikut marah dan emosi kepada pilot dan awak pesawat tersebut kenapa tidak melakukan pendaratan darurat di bandara terdekat saja? Kenapa mereka tidak membawa peralatan medis yang memadai? Dan banyak sekali kenapa dan kenapa.
Kejadian seperti diatas adalah suatu jenis emergency yang sangat sering terjadi di dunia penerbangan, bagi setiap awak pesawat ketika terjadi situasi dimana penumpang ataupun crew membutuhkan medical assistant, maka pilot akan menentukan seberapa seriusnya kondisi penumpang maupun awak pesawat yang sakit, hal tersebut untuk keperluan memutuskan apakah suatu inflight medical emergency mengharuskan seorang Captain pilot memutuskan untuk divert bila sekiranya memang diperlukan.
Pada saat yang sama Cabin attendant akan membuat pengumuman kepada penumpang bila sekiranya diantara mereka ada seorang dokter ataupun perawat. Apabila dokter ataupun perawat tidak ada didalam penerbangan tersebut dengan pertimbangan kemanusiaan maka seorang Captain akan melakukan pendaratan di bandara terdekat agar supaya penumpang yang sakit tersebut mendapatkan pertolongan dengan segera.
Selain penumpang yang cedera sepert berita Koran diatas banyak kejadian2 inflight medical emergency di dalam penerbangan di zaman modern sekarang ini. Bertambahnya orang-orang tua bepergian dengan pesawat terbang menyebabkan kemungkinan terjadinya inflight medical emergency semakin besar. Dengan bertambahnya kemungkinan terjadinya hal tersebut maka Major airline didunia berusaha melengkapi setiap pesawatnya dengan inflight medical kit yang semakin komplit sehingga akan membantu penumpang yang sakit dengan standar seperti dirumah sakit UGD (unit Gawat Darurat) terutama lagi apabila terdapat paramedic dokter maupun perawat onboard. Semua persiapan tersebut adalah sebagai upaya untuk menghindari keputusan melakukan pendaratan di bandara terdekat atau Diversion.
Pertimbangan untuk memutuskan suatu Diversion haruslah benar2 diperhitungkan oleh Captain mengingat ongkos yang harus dibayar untuk sebuah diversion bagi airline yang menggunakan pesawat berbadan lebar tidaklah kurang dari USD 100.000, belum menghitung kerugian non materi bagi penumpang lainnya yang harus terlambat di bandara tujuan. Namun atas nama kemanusiaan seorang Captain harus melakukan pendaratan di bandara terdekat apabila situasi dan kondisinya mengharuskan. Dengan peralatan yang lebih lengkap pada inflight medical kit maka seorang paramedic telah membantu seorang Captain untuk tidak melakukan diversion yang tidak perlu.
Virgin airlines terkenal sebagai perusahaan penerbangan pertama di dunia yang melengkapi penerbangannya dengan peralatan AED atau Automatic External Dedibrillators. pada tahun 1990 dan Lifepak 500s (Physio-control corporation, Redmon WA) semua perlengkapan ini digunakan untuk pertolongan pertama kepada para penderita jantung.
Sebuah peralatan tersebut seharga tidak kurang dari USD 7500 ditambah lagi Virgin airline harus mengeluarkan uang sebesar tidak kurang dari USD 60.000 setiap tahun untuk biaya pelatihan untuk menggunakan peralatan tersebut pada 440 purser mereka. Data penggunaan alat tersebut hanya lima kali untuk tahun 1997 dan hanya dua kali saja di tahun 1998 dan 1999. Melengkapi AED pada setiap pesawat Virgin air merupakan tindakan kontroversial tapi dengan pertimbangan menghidari kemungkinan terjadinya diversion yang tidak perlu juga hal ini telah ikut mendongkrak nama besar Virgin Air di masyarakat. Langkah melengkapi pesawat longhaul dengan AED telah diikuti banyak perusahaan penerbangan lainnya didunia saat ini.
Kemajuan dunia medis juga telah dipergunakan di dalam dunia penerbangan, yaitu diperkenalkannya lembaga seperti Medlink. Sebuah komunikasi antara awak pesawat dengan MedAir , sebuah grup yang terdiri dari beberapa dokter yang berada di emergency room di Arizona USA yang siap memberikan pertimbangan medis. Dengan memberikan pertimbangan tersebut kepada dokter, perawat maupun crew yang berada di pesawat secara langsung akan sangat membuat paramedic maupun crew lebih percaya diri menghadapi situasi yang ada. Pada akhirnya dengan bantuan Medair ini maka keputusan seorang Captain untuk melakukan diversion akan lebih tepat yang pada akhirnya juga akan mengurangi biaya atas terjadinya suatu diversion yang tidak perlu.
Namun demikian secanggih apapun peralatan yang dibawa seorang Captain tetap memiliki hak untuk melakukan diversion ke bandara terdekat apabila terjadi inflight medical emergency, tentu saja atas nama kemanusiaan……
Hendriady Ade/Blue sky fly safe
administrator www.mimpiairlines.com