foto:Nandia Nur Ghaisani IsmounandarDalam sebuah penerbangan dengan seorang first officer gadis asal Timur Tengah. Semuanya berjalan lancar dari mulai persiapan penerbangan di dispatch sampai akhirnya kami take off.

Setelah sampai di ketinggian jelajah, kami mulai agak santai. Saya PF (Pilot Flying) dan dia PM (Pilot Monitoring).

Sang pilot wanita ini mulai mengeluarkan gadgetnya dan terlihat membuka beberapa foto-foto. Saya sendiri cuma memantau terbangnya pesawat dan kami mulai terlibat percakapan santai.

Tiba-tiba dia memberikan gadgetnya pada saya dan berkata, -tentunya dalam bahasa Inggris-, "Capt, saya sedang mencari sofa untuk di rumah, menurut captain warna dan model apa yang paling bagus dari semua gambar ini".

Haah... dia minta pendapat saya? Pengalaman saya di rumah, kalau istri minta saran soal model, warna, harga, dll, pendapat saya sebagai laki-laki pasti kurang tepat....

Apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya mulai panik. Ternyata penderitaan seperti ini tidak berakhir di rumah. Mohon jangan beritahu istri saya.

Tapi kan saya pilot in command, jadi saya harus menjaga wibawa dan martabat saya sebagai pemimpin. Saya pura-pura agak acuh tidak acuh pada awalnya dan mulai melihat-lihat gambar-gambar sofa tersebut. Saya pura-pura memilih padahal sedang mencari cara untuk kabur dari situasi ini.

Saya ingat-ingat pelajaran human interaction pada waktu menjadi instruktur. Ahaa.. Facilitation! bertanya untuk menjawab.

Saya tanya dia, "Yang kamu pikir paling cocok yang mana?"
Dia menjawab, "Saya suka yang merah dan cocok kalau dipasang di pojok ruangan, tapi kakak saya kurang suka.."
Saya bilang lagi," Selera kamu bagus, saya juga suka yang merah"...
Saya kembalikan gadgetnya dan dia terlihat puas.

Haha... Aman dan terkendali. Sang pilot wanita inipun bekerja dengan sangat profesional sampai kami mendarat.

Biasanya facilitation dipakai untuk menguras pengetahuan seorang trainee. Dengan tahu seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki trainee maka instruktur akan lebih mudah memberi informasi yang tepat yang belum diketahui oleh trainee.

Kembali ke topik kita, saya sering terbang dengan penerbang wanita. Baik kapten atau pun first officer. Berbeda dengan anggapan masyarakat umum, yang menganggap menjadi penerbang adalah "pekerjaan laki-laki", mereka tetaplah wanita normal.

Mereka tetap bersolek, senang dengan fashion, dan lainnya. Ada juga sih yang tomboy. Apapun sifat mereka secara umum profesionalisme mereka bisa disandingkan dengan rekan lawan jenis mereka.

Meskipun begitu terus terang saja cara bekerja sama dengan mereka cukup berbeda contohnya adalah percakapan di atas.

Saya juga punya pengalaman yang cukup unik. Saya pernah menjadi instruktur dan melatih seorang kapten wanita dan seorang kopilot wanita di waktu yang hampir bersamaan. Kebetulan keduanya adalah ibu dan anak.

Sang ibu sudah menjadi kapten dalam waktu yang cukup lama di perusahaan kami. Beliau baru saja dipindahkan dari fleet pesawat lain ke fleet yang saya terbangkan yaitu Airbus A330. Dalam proses pelatihan ini saya menjadi salah satu instruktur untuk kapten ini.

Sang anak, yang baru saja lulus dari sekolah penerbang, kebetulan juga dimasukkan di fleet yang sama dan sempat terbang bersama saya sebagai trainee. Tidak ada yang istimewa dari proses pelatihan ini karena semua berjalan normal, tapi melatih ibu dan anak di saat yang bersamaan menjadi pengalaman unik bagi saya. Tantangannya adalah saya tidak boleh berkecenderungan membandingkan sifat dan kemampuan kedua orang tersebut.

Tantangan yang sama sebenarnya juga datang jika saya melatih seseorang sementara saya mengenal bapak atau kakak dari orang tersebut. Dalam beberapa kasus, saya melatih penerbang-penerbang baru sementara bapak atau kakak mereka adalah kapten yang saya kenal di tempat kami bekerja.

Ada juga pengalaman saya yang membuat teman-teman saya secara aneh menjadi "iri". Saya pernah melatih dengan seorang wanita mantan foto model. Saya sendiri tidak merasa aneh. Tetap saja beberapa teman bertanya, bagaimana rasanya bekerja dengan seorang mantan foto model. Padahal di kokpit saya terbang dengan pilot lain secara profesional. Tidak peduli latar belakangnya dan jenis kelaminnya.

Menjadi penerbang dengan tetap punya sisi kewanitaan ternyata bukan sesuatu yang sulit. Mereka tetap profesional. Di lain sisi saya tetap merasa pengalaman-pengalaman di atas membuktikan bahwa tantangannya tetap cukup tinggi bagi wanita untuk bekerja di tempat yang di-cap menjadi tempat laki-laki bekerja. Pandangan umum tentang penerbang wanita masih belum cukup adil. Semoga tulisan ini bisa mengubah pandangan masyarakat umum bahwa sebenarnya pekerjaan penerbang bukan hanya pekerjaan untuk laki-laki.