Mendung kembali merundung dunia aviasi sepanjang bulan Maret 2016. Dua hari pasca jatuhnya pesawat Boeing 737-800 milik Flydubai, sebuah helikopter Bell 412 EP milik TNI AD jatuh di Poso. Satu hari berselang, dua bom meledak di Bandara Brussel, menewaskan 34 jiwa. Sepekan kemudian, pesawat jet komersial Airbus A320 dioperasikan maskapai EgyptAir dibajak oleh seorang penumpang pria.
Selain menandai dua tahun raibnya pesawat Boeing 777-200ER Malaysia Airlines Flight MH370 bersama 239 jiwa, peristiwa dua ledakan bom di Bandara Zaventem, Brussels, dan kasus pembajakan EgyptAir penerbangan MS181 pada tanggal 29 Maret kemarin membuat kita kembali bertanya, apakah perjalanan udara semakin rentan terhadap bencana?
Optimisme Statistik
Pesawat terbang komersial adalah moda transportasi paling aman yang dimiliki manusia. Mengendarai mobil dari rumah menuju bandara 22 kali lebih beresiko untuk terlibat dalam kecelakaan fatal ketimbang terlibat dalam kecelakaan pesawat. Berdasarkan data International Safety Council, aktifitas berjalan di luar ruangan justru jauh lebih berbahaya ketimbang berada di dalam penerbangan komersial.
Saat berada dalam pesawat, probabilitas seorang penumpang kehilangan nyawa lebih besar disebabkan oleh serangan jantung atau tersedak makanan ketimbang disebabkan oleh kecelakaan udara. Secara statistik, kemungkinan seseorang berada dalam kecelakaan pesawat adalah 1:5 juta penerbangan.
IATA mencatat terdapat 3 miliar orang bepergian melalui udara setiap tahunnya. Di tahun 2013, terdapat 81 kecelakaan yang merenggut 210 jiwa. Ini berarti persentase korban jiwa kecelakaan pesawat di sepanjang tahun 2013 adalah 70 korban jiwa setiap satu miliar penerbangan. Tidak kurang dari 10,000 unit pesawat mengudara dalam suatu waktu setiap harinya.
Ironisnya, fear of flying menjadi salah satu fobia yang paling populer. Persepsi tentang rawannya bepergian melalui udara juga ditengarai oleh derasnya pemberitaan mengenai peristiwa kecelakaan pesawat. Bukan karena intensitas berita itu sendiri, melainkan tercampurnya mitos dan kekeliruan dalam menterjemahkan peristiwa kecelakaan udara. Setidaknya ada 102.000 jadwal penerbangan per harinya di dunia. Artinya, 204.000 fase takeoff dan landing yang selamat setiap harinya, luput dari sorotan kamera televisi dan pemberitaan media.
Meski tragedi MH370 dan MH17 menggemparkan warga dunia, tahun 2014 justru merupakan salah satu tahun dengan kecelakaan penerbangan komersial terendah dalam sejarah (Aviation Safety Network Data, 2014).
Evolusi Terorisme Aviasi
Ancaman terhadap keselamatan penerbangan saat ini lebih didominasi oleh terorisme, tidak melulu dari aspek teknis pesawat, faktor alam, atau faktor manusia. Pemboman bandara di Brussels mempertegas bahwa aviasi sipil adalah salah satu target vital, efektif, dan masih mungkin ditembus. Jika tidak segera dicabut akarnya dengan tuntas, masa depan keselamatan dan keamanan penerbangan komersial dunia akan kembali merangkak di gelapnya lorong waktu seperti beberapa dekade lalu.
Peristiwa pembajakan pesawat Airbus A320 milik EgyptAir mengingatkan kembali industri aviasi sipil akan “masa keemasan” pembajakan pesawat pada medio 60-an. Bedanya, ancaman terorisme saat ini memiliki dimensi yang lebih luas. Ancaman dapat timbul dari darat, penyerangan pada infrastruktur, dan menerobos masuk ke sistem avionika pesawat melalui cyber warfare.
Meski peristiwa pembajakan EgyptAirt MS181 diklaim bukan tergolong sebagai aksi terorisme, satu hal yang pasti, teror yang ditimbulkan tidak main-main sembarangan, terlepas apa motif pelaku serta ada atau tidaknya bahan peledak. Berbicara teror, maka terkait erat dengan faktor psikologis. Peristiwa EgyptAir menyegarkan ingatan kita akan maraknya kasus candaan bom di bandara-bandara domestik sepanjang bulan Januari 2016 silam.
Satu tebasan aksi teror ke leher industri aviasi sipil di satu belahan dunia dapat mencederai seluruh komponen penerbangan komersial global. Sebab, industri aviasi sipil memiliki keterkaitan multi-arah lintas benua melalui interaksi antar pemerintah dan hirarki regulator penerbangan, hubungan antar operator dan antar bandara, hubungan operator dengan manufaktur pesawat, dan majemuknya kewarganegaraan penumpang dalam rute penerbangan internasional.
Aksi terorisme dapat mengguncang hingga level pemerintahan dan berdampak signifikan terhadap perekonomian suatu negara. Aksi teror yang menghantam aviasi sipil juga semakin efektif menggiring psikologis publik seiring semakin masifnya perkembangan media.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia (Operasi Woyla 1981), Lockerbie Bombing (1988), dan Malaysia Airlines MH370 dan MH17 (2014) telah membuktikannya. Terlebih semakin eratnya warga dunia dengan sosial media seperti sekarang, sebuah ancaman bom dapat menjangkau pelosok negeri dalam hitungan menit saja.
Setelah peristiwa 9/11, pencegahaan aksi terorisme dalam penerbangan membuahkan sejumlah terobosan progresif. Meski aspek aviation security telah memakan biaya tidak kurang dari 7.4 miliar dollar per tahunnya, peristiwa meledaknya dua bom di Bandara Brussels dan pembajakan pesawat Airbus A320 EgyptAir Flight MS181 29 Maret kemarin menyadarkan pihak otoritas bahwa belum ada satu level pengamanan pun yang mampu menutup secara purna celah bagi aksi terorisme.
Dimensi ancaman terorisme akan terus berevolusi mengikuti perkembangan aviasi itu sendiri, baik dari melalui celah teknologi maupun regulasi. Cyber warfare telah dianggap sebagai potensi baru aksi teror. Hal ini alamiah mengingat operasional penerbangan sipil sangat bergantung pada teknologi digital nyaris di semua lini, terlebih pada sistem avionika pesawat. Sejauh ini, belum ada kasus yang secara lugas mengindikasikan bahwa ancaman infiltrasi cyber warfare telah menjadi nyata.
Sistem pada aviasi sipil juga dinilai cukup aman. Sebagian besar sistem dalam pesawat terbang komersial tidak mudah diakses atau dipahami bahkan oleh peretas handal sekalipun. Selain itu, sistem-sistem tersebut juga memiliki mekanisme backup system yang memadai. (Cyber Terrorism and Civil Aviation, H.H Whiteman)
Namun Aviation security hanya bersifat reaktif dan defensif. Ia selalu didikte oleh situasi dan potensi ancaman. Memang terobosan pihak otoritas penerbangan berupaya menutup berbagai kemungkinan munculnya ancaman melalui berbagai modifikasi, baik teknis maupun regulasi. Namun pada kenyataannya, horison baru mengenai dari mana sebenarnya ancaman terorisme dapat muncul, baru terbuka pasca terjadinya suatu peristiwa berdarah.
Cumulonimbus Ekstrimisme
Pasca tragedi Woyla, penerbangan komersial Indonesia masih dinilai relatif aman dari ancaman terorisme. Namun demi melindungi industri aviasi sipil nasional di masa depan, pemerintah harus mulai mengidentifikasi potensi ancaman sedini mungkin dengan menerawang jauh ke luar ranah aviasi. Salah satunya adalah komitmen untuk merekonstruksi cara penindakan dan pencegahan terorisme. Mengedepankan pendekatan humanis dan edukasi keagamaan juga harus diprioritaskan.
Meredam kekerasan dengan kekerasan akan mendorong kaderisasi kelompok ekstrimisme baru, dengan metode dan target baru. Hal ini selaras dengan apa yang digaungkan oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan, “Pendekatan kekerasan tidak pernah membuahkan hasil, sebagaimana yang dapat kita lihat di Afghanistan dan Irak”.
Ancaman terorisme di ranah aviasi sipil tidak berdiri sendiri, ia adalah asap dari kobaran api konflik di sejumlah kawasan. Menanggulangi ancaman terorisme dengan berkutat pada spektrum aviasi sipil saja tanpa menyusuri akar konflik di berbagai wilayah dunia akan berbuntut pada agnostisme.
Memang bukan pekerjaan mudah untuk menginisiasi senja kala ancaman terorisme di ranah aviasi sipil. Akan tetapi jika tidak diupayakan segera, setinggi apapun pesawat terbang mengudara, ancaman terorisme dalam aviasi sipil akan selalu mengintai di balik awan gelap.
Namun terlepas dari ancaman terorisme yang menyasar penerbangan komersial, apakah bepergian melalui udara saat ini masih aman? Fakta statistik menjawab lugas, ya! Kemungkinan hilangnya nyawa karena terjatuh dari tempat tidur saat terlelap lebih besar dari kehilangan nyawa dalam kecelakaan udara
***