Sesuai dengan judulnya, tulisan ini bukan mengulas judul novel ‘Fear of Flying’ yang ditulis oleh Erica Jong tahun 1973, tapi hanya akan fokus pada ketakutan terbang yang dikarenakan faktor psikologi diakibatkan oleh suatu kecelakaan pesawat yang pernah dialami, dilihat atau dibayangkan dan dipandang dari sisi ilmu/sistem keselamatan penerbangan. Di antara kecelakaan pada moda transportasi, kecelakaan pesawat menempati urutan pertama pemberitaannya dan juga urutan pertama dalam fatalitas (severity). Hal ini disebabkan karena teknologi yang diterapkan lebih modern dibandingkan dengan alat transportasi yang lain sehingga membuat publik tertarik dan selalu ingin tahu dan juga karena kecepatan pesawat yang tinggi.

Pesawat diciptakan oleh manusia pertama kali karena terinspirasi oleh burung yang terbang dengan mengepakkan sayapnya yang kemudian mengalami perkembangan dengan tekhnologi yang sangat canggih seperti sekarang ini. Walaupun begitu masih sering kita jumpai kecelakaan pesawat yang akan membuat publik merasa tidak aman, ketakutan dan mungkin membatalkan perjalanan dengan menggunakan pesawat. Reaksi ini adalah normal, seperti yang terjadi akhir akhir ini di tahun 2014 saja telah ditandai dengan beberapa kecelakaan pesawat. Ketakutan public semakin bertambah seiring dengan pemberitaan di media yang tidak mengedepankan akurasi, sumber dan etika pemberitaan.

Siapapun orangnya di masa-masa seperti itu mereka akan mempunyai rasa takut untuk terbang dengan pesawat karena mereka tidak mau akhir hidup mereka berakhir dengan tragis. Bagaimana dengan orang orang yang karena tuntutan pekerjaan harus bepergian dengan pesawat, bagaimana juga dengan pilot, pramugari, apakah mereka harus berhenti bekerja di saat takut melanda?

Besarnya rasa takut untuk terbang dikarenakan rasa ketidaktahuan pada system keamanan pesawat atau bagaimana kemungkinannya sebuah pesawat mengalami kecelakaan. Takutnya penerbang dibandingkan dengan penumpang yang duduk di kabin akan lebih sedikit karena penerbang lebih mengetahui sistem pengoperasian pesawat di saat normal dan emergency yang dilatih setiap 6 bulan sekali melalui simulator training sehingga lebih percaya diri. Penerbang juga mengetahui berapa system yang terpasang (Redundancy) apabila salah satu system failed (tidak bekerja) beserta prosedur yang harus dilakukan selanjutnya.

Terhitung dari sejak pertama kali pesawat berhasil diterbangkan, setidaknya ada 3 fase dimana keselamatan penerbangan ber-evolusi, yaitu:

  1. Fase Technical (1900-1960): Berkurangnya keselamatan penerbangan karena factor teknis, sehingga dilakukan di fase ini dilakukan penyempurnaan pada alat/ tekhnologi pesawat.
  2. Fase Human Factor (1970-1990): Kecelakaan karena faktor teknis berkurang dan fokus pada masalah human factor yang konsentrasi pada standard regulasi dan prosedur, interaksi antar crew, habit dan hal lain yang berhubungan dengan sifat manusia yang mempunyai banyak keterbatasan.
  3. Fase Organizational (1990-Sekarang): Fase ini, menitikberatkan pada manajemen keselamatan penerbangan secara Proactive (Mitigasi Resiko) dan Reactive (Investigasi Kecelakaan) untuk memperkuat faktor teknikal dan human factor. Keterlibatan organisasi/ manajemen penerbangan dalam keselamatan penerbangan menjadi sangat penting. Dalam era ini ditandai dengan penerapan Safety Management System (SMS) yang menjadi sesuatu hal yang diwajibkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) dan harus diimplementasikan oleh operator penerbangan. SMS manual sangat fokus kepada pencegahan kecelakaan dengan cara mengidentifikasi factor penyebabnya sejak dini baik melalui system pelaporan (Safety Reporting System) maupun menganalisa setiap resiko penerbangan dan menemukan cara mengontrolnya sehingga tidak terjadi suatu kecelakaan yang fatal (Pendekatan Proactive). Hasil investigasi dari kecelakaan pesawat (Pendekatan Reactive) bagi dunia penerbangan adalah sesuatu hal yang harus dipahami sebagai sesuatu pembelajaran untuk tidak terjadi lagi dan bagaimana cara mengatasinya dan tidak semata mata sebagai ajang saling menyalahkan apalagi menghukumi dan menghakimi.

Dari gambaran fase di atas bisa disimpulkan bahwa keselamatan penerbangan dari tahun ke tahun berangsur-angsur membaik dan sistem keselamatan penerbangan yang ideal dan up-to-date akan terus dirumuskan yang akan mencakup perubahan prosedur, pembaharuan teknologi maupun cara terbaru menaklukkan alam/cuaca.

Walaupun demikian perlu kita sadari bahwa semua aktifitas manusia apalagi penerbangan pun tidak bisa terbebas dari resiko atau bahaya. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir resiko atau menghindari aktifitas tersebut supaya terbebas dari resiko. Inilah sebenarnya konsep keselamatan penerbangan, dimana terdapat banyak sekali interaksi antara manusia, alam dengan perangkat yang berteknologi tinggi yang sangat potensial menimbulkan operation error dan akibat-akibat lain yang mungkin timbul.

 

Fase evolusi dimana teknologi/peralatan pada suatu sistem adalah sebuah faktor utama terjadinya kecelakaan dianggap telah lewat. Bahkan teknologi penerbangan telah berkembang pesat seiring dengan kejadian-kejadian atau kecelakaan yang terjadi sebagai improvement untuk menghadapi tantangan dalam operasi penerbangan supaya tidak terulang kesalahan yang sama. Salah satu indikatornya adalah terpasangnya beberapa alat yang dianggap menunjang keselamatan penerbangan diantaranya EGPWS (Enhanched Ground Proximity Warning System)/TAWS (Terrain Awareness Warning System) yang memberikan warning bahwa ada objek di depan dan/atau di bawah (dekat dengan daratan), TCAS (Traffic Collision Avoidance System) yang akan memberikan gambaran tentang keadaan di sekitar pesawat terhadap pesawat lain sehingga mengurangi kemungkinan tabrakan di udara, HUMS (Health Usage Monitoring System) pada helicopter yang mendeteksi secara dini sesuatu yang tidak normal yang terjadi di Gearbox dan Rotor serta Weather Radar yang memberikan informasi cuaca/ ketebalan awan yang diidentifikasi berupa warna yang berbeda pada display nya.

Dari sisi publik, untuk mengusir rasa takut terbang, salah satu faktor terpenting adalah berusaha meyakini bahwa keselamatan penerbangan yang telah menjadi standard dunia (ICAO) telah dijalankan oleh airline dan otoritas penerbangan setempat telah menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengawasi dengan melakukan pengecekan secara berkala termasuk kompetensi para crew, prosedur yang baku, peralatan penunjang keselamatan dll. Takut yang berlebihan mungkin akan dianggap wajar apabila kita terbang dengan memakai airline yang diregistrasi di bawah negara ketiga seperti beberapa negara Afrika yang belum mengaplikasikan SMS. Karena SMS hanya sebuah system keselamatan penerbangan, dipenuhinya semua persyaratan SMS secara utuhpun belum tentu juga akan menjamin keselamatan sebuah penerbangan, dan tidak akan memberikan hasil yang maksimal tanpa andil dan kesungguhan dari pihak yang terlibat mulai dari otoritas penerbangan, airlines, crew dan juga penumpang pesawat.

Selebihnya, yakinkan diri sendiri bahwa pihak airlines telah melalui tahapan persyaratan minimum yang harus dipenuhi untuk memberikan keselamatan kepada penumpangnya. Secara sederhana hal ini bisa diketahui dari safety record airline tersebut walaupun bukan jaminan. Sekelumit sistem keselamatan penerbangan diatas adalah sebagai bagian dari ikhtiar manusia untuk menggapai keselamatan dalam penerbangan. Langkah terakhir adalah berdoa dan berserah diri kepada Tuhan, yang menghidupkan dan mematikan semua makhluk di dunia ini lewat berbagai macam kejadian.
Semoga kita dihindarkan dari marabahaya dan penyebab kematian yang tragis. Aamiin.
Agus Hariadi, MSc, AvMP
(Aviation Safety Management)