Sambungan cerita mengenai marketing CEO Embraer, Mauricio Botelho. Ceritanya bersumber dari artikel majalah Fortune edisi November 2005 serta beberapa sumber lainnya seperti Aviation Week dan Flight Global.
Dunia bisnis kadang penuh dengan kisah bernada gurauan. Kenyataan memang terkadang lebih aneh daripada fiksi. Kisah ini bercerita tentang pemasaran produk terbaru Embraer kepada salah satu airline mapan di Amerika Utara, Air Canada. Air Canada, seperti namanya, adalah maskapai yang berbasis di Kanada, rumah bagi rival terbesar Embraer, Bombardier Aerospace. Bagaikan salesman kucing masuk kandang anjing.
Sekitar bulan April 2001, CEO Air Canada, Robert Milton (sekarang CEO dari pemegang saham Air Canada terbesar, Ace Aviation Holdings), mendapati sebuah paket kecil di meja kerjanya pagi itu. Alamat pada paket itu menunjukan São José dos Campos, Brazil (kota markas Embraer). Ia mendapati sebuah DVD player mini seukuran telapak tangan, lalu ia membuka dan menyalakan player tersebut. Di dalam terdapat DVD mini yang seketika berputar menimbulkan suara desis, Milton kemudian melihat seseorang berkacamata dengan rangka emas, berenyum tipis yang sama sekali ia tidak kenal di monitor. Sang orang yang tidak dikenal tersebut adalah CEO Embraer, Mauricio Botelho. "Halo Robert!" ujar orang itu. Botelho ingin agar Air Canada membeli beberapa pesawat terbaru produksi perusahaannya. Lalu di dalam DVD itu, Botelho menambahkan bahwa saat ini sebuah truk sedang berkeliling di Amerika Utara, membawa sebuah mockup interior kabin dari keluarga pesawat terbaru yang berkapasitas 70 hinga 118 penumpang tanpa kursi tengah. "Tuan Milton", ujarnya "Kami berharap anda mau untuk sekedar melihatnya."
Mitlon mengira ini agaknya adalah hal yang cukup gila. Markas Air Canada di Montreal bertetanggaan dengan markas Bombardier, rival terberat Embraer dalam pasaran jet regional. Bagaimana mungkin Air Canada yang merupakan bekas perusahaan pembawa bendera, punggawa milik Pemerintah Kanada, beralih ke Brazil begitu saja? Tapi Milton penasaran, dan ia bergegas menuju truk yang dimaksud, lalu ia pun kembali dengan wajah berbeda.
"Rancangan dan tingkat kenyamanannya sungguh berbeda bagi orang-orang airline," kata Milton. "Kursi lebar, jendela besar, atap setinggi 6'6" (199 cm), bagasi kabin yang dapat memuat tas tarik (tas yang seperti dipakai para awak kabin), konsumsi bahan bakar yang efisien. Ini merupakan sebuah mimpi tentang pesawat bertempat duduk 100 yang menjadi kenyataan. Dan perhitungannya masuk akal. Anda akan menjadi tidak sabar untuk mendapkatkan barang seperti ini."
Milton menyadari bahwa ia tidak bisa begitu saja membeli pesawat buatan Brazil dan mengabaikan Bombardier. Maka, Milton mengadakan sebuah pertemuan. Ia mengundang Bombardier dan Embraer, berikut Boeing dan Airbus untuk mendemonstrasikan produk mereka. Ia juga mengundang eksekutif Air Canada, para analis, media, dan banyak politisi serta orang pemerintahan, berikut frequent flier Air Canada. Milton mengingat bertanya kepada mereka, "Apakah penting apabila Air Canada membeli pesawat buatan Kanada?" para hadirin hanya mengatakan bahwa Air Canada harus membeli pesawat yang terbaik. Jelas, situasi tidak mengenakan bagi Bombardier, ditambah lagi sorotan dari media dan politisi setempat.
Pada bulan Juli 2005, Air Canada menerima Embraer E-175 pertama mereka dari 15 yang dipesan. Mereka juga memesan 45 E-190 serta mengantongi 60 opsi pesanan yang bernilai total USD 3.5 milyar. Mengenai video ajakan Botelho, Milton berkomentar, "Itu adalah salah satu cara pendekatan terpandai dalam penjualan yang saya cari-cari selama ini." Dengan teknik pemasaran yang sama, JetBlue pun mengikuti, pada tanggal 8 November, mereka menerbangkan E-190 pertama mereka.
Botelho berhasil membenahi kinerja Embraer, dari sebuah perusahaan yang ambruk dan hampir tutup ini menjadi salah satu industri yang paling sukses di Brazil. Tidak banyak yang bisa sukses dan menjadi pemain besar di industri penerbangan komersil. Namun Embraer adalah kasus yang berbeda. "Banyak yang telah mencoba, namun gagal", komentar Richard Aboulafia, salah seorang analis industri penerbangan dari Teal Group. "Akan tetapi semenjak 1960, hanya ada satu perusahaan baru dan hanya ada satu negara yang sukses memasuki pasar pesawat komersil."
Mauricio Botelho, seperti CEO kebaratan di dunia timur yang bersahabat kebanyakan, sangat pandai, bersemangat, dan antusias. Ia membuat mengobservasi dan keputusan sulit, tidak kenal takut. Brazil sebagai negara yang mengedepankan kebersamaan, nilai kekeluargaan (mirip negara dunia timur kebanyakan), berhasil mentransformasi salah satu perusahaannya untuk berkompetisi di kancah internasional, di mana pendekatan-pendekatan ala barat lebih sering digunakan. Komentar banyak CEO lain soal Botelho: "Saya kira dia adalah orang yang normal."
Orang normal yang biasa minum-minum bersama pekerja assembly line pabriknya dan tidak ada yang sungkan. Ia pun menormalisasikan kafetaria perusahaan dengan membuat semuanya menjadi satu, bagi para pekerja kantor, insinyur, pekerja lapangan, dan pekerja senior lainnya, semuanya makan bersama, dan hal itu tidak aneh bagi mereka. Normal juga dalam artian, dimana ia bisa menghadap para eksekutif dan para petinggi airline dan para eksekutif tersebut tidak merasa aneh dengannya.
Idenya mungkin aneh dan berlawanan dengan paradigma industri pesawat terbang. Menurutnya, maskapai penerbangan di dunia saat ini menggunakan jet-jet yang terlalu besar. "Hal ini mencerminkan kerugian," ujarnya. Sementara itu, Airbus sedang giat menyebarkan ide bahwa dunia butuh pesawat kapasitas raksasa macam A380, dan Boeing pun tidak mau ketinggalan dengan proyek 747-8nya. Di lain sisi, sesungguhnya adalah pesawat yang berkapasitas sedang dan berjarak tempuh jauh seperti 787 dan A350 yang mereka benar-benar bersaing. Namun pertumbuhan sesungguhnya ada di jarak sedang dan menengah, terutama di Amerika dan Eropa, merupakan fokus bagi Embraer.
Dunia bisnis kadang penuh dengan kisah bernada gurauan. Kenyataan memang terkadang lebih aneh daripada fiksi. Kisah ini bercerita tentang pemasaran produk terbaru Embraer kepada salah satu airline mapan di Amerika Utara, Air Canada. Air Canada, seperti namanya, adalah maskapai yang berbasis di Kanada, rumah bagi rival terbesar Embraer, Bombardier Aerospace. Bagaikan salesman kucing masuk kandang anjing.
Sekitar bulan April 2001, CEO Air Canada, Robert Milton (sekarang CEO dari pemegang saham Air Canada terbesar, Ace Aviation Holdings), mendapati sebuah paket kecil di meja kerjanya pagi itu. Alamat pada paket itu menunjukan São José dos Campos, Brazil (kota markas Embraer). Ia mendapati sebuah DVD player mini seukuran telapak tangan, lalu ia membuka dan menyalakan player tersebut. Di dalam terdapat DVD mini yang seketika berputar menimbulkan suara desis, Milton kemudian melihat seseorang berkacamata dengan rangka emas, berenyum tipis yang sama sekali ia tidak kenal di monitor. Sang orang yang tidak dikenal tersebut adalah CEO Embraer, Mauricio Botelho. "Halo Robert!" ujar orang itu. Botelho ingin agar Air Canada membeli beberapa pesawat terbaru produksi perusahaannya. Lalu di dalam DVD itu, Botelho menambahkan bahwa saat ini sebuah truk sedang berkeliling di Amerika Utara, membawa sebuah mockup interior kabin dari keluarga pesawat terbaru yang berkapasitas 70 hinga 118 penumpang tanpa kursi tengah. "Tuan Milton", ujarnya "Kami berharap anda mau untuk sekedar melihatnya."
Mitlon mengira ini agaknya adalah hal yang cukup gila. Markas Air Canada di Montreal bertetanggaan dengan markas Bombardier, rival terberat Embraer dalam pasaran jet regional. Bagaimana mungkin Air Canada yang merupakan bekas perusahaan pembawa bendera, punggawa milik Pemerintah Kanada, beralih ke Brazil begitu saja? Tapi Milton penasaran, dan ia bergegas menuju truk yang dimaksud, lalu ia pun kembali dengan wajah berbeda.
"Rancangan dan tingkat kenyamanannya sungguh berbeda bagi orang-orang airline," kata Milton. "Kursi lebar, jendela besar, atap setinggi 6'6" (199 cm), bagasi kabin yang dapat memuat tas tarik (tas yang seperti dipakai para awak kabin), konsumsi bahan bakar yang efisien. Ini merupakan sebuah mimpi tentang pesawat bertempat duduk 100 yang menjadi kenyataan. Dan perhitungannya masuk akal. Anda akan menjadi tidak sabar untuk mendapkatkan barang seperti ini."
Milton menyadari bahwa ia tidak bisa begitu saja membeli pesawat buatan Brazil dan mengabaikan Bombardier. Maka, Milton mengadakan sebuah pertemuan. Ia mengundang Bombardier dan Embraer, berikut Boeing dan Airbus untuk mendemonstrasikan produk mereka. Ia juga mengundang eksekutif Air Canada, para analis, media, dan banyak politisi serta orang pemerintahan, berikut frequent flier Air Canada. Milton mengingat bertanya kepada mereka, "Apakah penting apabila Air Canada membeli pesawat buatan Kanada?" para hadirin hanya mengatakan bahwa Air Canada harus membeli pesawat yang terbaik. Jelas, situasi tidak mengenakan bagi Bombardier, ditambah lagi sorotan dari media dan politisi setempat.
Pada bulan Juli 2005, Air Canada menerima Embraer E-175 pertama mereka dari 15 yang dipesan. Mereka juga memesan 45 E-190 serta mengantongi 60 opsi pesanan yang bernilai total USD 3.5 milyar. Mengenai video ajakan Botelho, Milton berkomentar, "Itu adalah salah satu cara pendekatan terpandai dalam penjualan yang saya cari-cari selama ini." Dengan teknik pemasaran yang sama, JetBlue pun mengikuti, pada tanggal 8 November, mereka menerbangkan E-190 pertama mereka.
Botelho berhasil membenahi kinerja Embraer, dari sebuah perusahaan yang ambruk dan hampir tutup ini menjadi salah satu industri yang paling sukses di Brazil. Tidak banyak yang bisa sukses dan menjadi pemain besar di industri penerbangan komersil. Namun Embraer adalah kasus yang berbeda. "Banyak yang telah mencoba, namun gagal", komentar Richard Aboulafia, salah seorang analis industri penerbangan dari Teal Group. "Akan tetapi semenjak 1960, hanya ada satu perusahaan baru dan hanya ada satu negara yang sukses memasuki pasar pesawat komersil."
Mauricio Botelho, seperti CEO kebaratan di dunia timur yang bersahabat kebanyakan, sangat pandai, bersemangat, dan antusias. Ia membuat mengobservasi dan keputusan sulit, tidak kenal takut. Brazil sebagai negara yang mengedepankan kebersamaan, nilai kekeluargaan (mirip negara dunia timur kebanyakan), berhasil mentransformasi salah satu perusahaannya untuk berkompetisi di kancah internasional, di mana pendekatan-pendekatan ala barat lebih sering digunakan. Komentar banyak CEO lain soal Botelho: "Saya kira dia adalah orang yang normal."
Orang normal yang biasa minum-minum bersama pekerja assembly line pabriknya dan tidak ada yang sungkan. Ia pun menormalisasikan kafetaria perusahaan dengan membuat semuanya menjadi satu, bagi para pekerja kantor, insinyur, pekerja lapangan, dan pekerja senior lainnya, semuanya makan bersama, dan hal itu tidak aneh bagi mereka. Normal juga dalam artian, dimana ia bisa menghadap para eksekutif dan para petinggi airline dan para eksekutif tersebut tidak merasa aneh dengannya.
Idenya mungkin aneh dan berlawanan dengan paradigma industri pesawat terbang. Menurutnya, maskapai penerbangan di dunia saat ini menggunakan jet-jet yang terlalu besar. "Hal ini mencerminkan kerugian," ujarnya. Sementara itu, Airbus sedang giat menyebarkan ide bahwa dunia butuh pesawat kapasitas raksasa macam A380, dan Boeing pun tidak mau ketinggalan dengan proyek 747-8nya. Di lain sisi, sesungguhnya adalah pesawat yang berkapasitas sedang dan berjarak tempuh jauh seperti 787 dan A350 yang mereka benar-benar bersaing. Namun pertumbuhan sesungguhnya ada di jarak sedang dan menengah, terutama di Amerika dan Eropa, merupakan fokus bagi Embraer.
All images are courtessy and follow term of use of embraer.com