Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Baggage Towing Tractor (BTT), alangkah baiknya untuk membaca dan memahami terlebih dahulu materi tentang “Pengenalan umum GSE (Ground Support Equipment)” di http://ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/teori-penerbangan-mainmenu-68/826-pengenalan-umum-gse-ground-support-equipment
Secara umum jika kita sedang berada di bandar udara seringkali melihat sebuah kendaraan berupa Tractor yang sedang menarik baik itu beberapa gerobak bagasi maupun beberapa peralatan lain yang mendekat ke pesawat yang kita naiki.
Artikel kali ini kita akan membahas secara singkat dan umum tentang kendaraan tersebut serta beberapa fungsinya.
BAGAGE TOWING TRACTOR (BTT) adalah salah satu GSE motorized, merupakan kendaraan / traktor yang digunakan untuk menarik peralatan pendukung operasional pesawat terbang (GSE lainnya) yang tidak dapat bergerak mandiri (non motorized dan/atau harus ditarik) serta dibutuhkan untuk bongkar muat (loading unloading).
Berikut adalah beberapa peralatan yang dapat ditarik BTT :
BTT sedang menarik BCC (Baggage / Cargo Cart)
Karena fungsi penting BTT ini, lisensi rating BTT juga digunakan sebagai syarat wajib untuk pendidikan / pelatihan lisensi rating GSE lain yang harus ditarik oleh BTT, seperti rating GPS (Ground Power System/GPU), ACS (Air Conditioner System/AC Car) dan ASS (Air Starter System/ASU/GTC) serta pra-syarat untuk rating ATT (Aircraft Towing Tractor)
Selengkapnya: [GSE Introduction] - BAGGAGE TOWING TRACTOR (BTT)
Seperti yang kita ketahui, saat ini pandemi covid 19 terjadi hampir di seluruh negara, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk mengatasi penyebaran virus covid 19 tersebut, banyak negara yang menerapkan social distancing, hingga menerapkan lockdown. Salah satu dampak dari penerapan lockdown tersebut adalah berkurangnya orang untuk bepergian dan dampaknya adalah sektor transportasi menjadi kehilangan pemasukan. Transportasi udara pun ikut mengalami penurunan jumlah penumpang yang signifikan. Banyak airlines yang terpaksa harus meng-grounded sebagian besar armadanya dan bahkan beberapa airlines menutup seluruh operasionalnya.
Di berbagai kanal berita dapat kita lihat bahwa saat ini banyak pesawat yang harus grounded dan parkir di airport. Persoalan selanjutnya adalah tidak semua airport memiliki parking stand yang mencukupi untuk menampung banyak pesawat yang grounded tersebut. Beberapa pesawat harus diparkir di taxi way atau bahkan ditempatkan di runway.
Pesawat yang grounded tersebut tentu harus menjalani beberapa maintenance yang bersifat protection dan preservation selama tidak terbang. Tujuannya yaitu antara lain untuk melindungi pesawat agar tidak terkontaminasi debu, partikel, FOD yang dapat merusak komponen pesawat. Selain itu pesawat juga harus terlindungi dari faktor cuaca atau environmental effects yang dapat menimbulkan corrosion dan deterioration. Tujuan akhirnya adalah untuk menjaga kelaikudaraannya sekaligus supaya pesawat tersebut bisa digunakan kembali dalam kondisi prima ketika dibutuhkan.
Dalam Aircraft Maintenance Manual (AMM) ATA chapter 10, ada 2 metode storage yang bisa dipilih oleh airlines untuk menjaga kondisi pesawat agar tetap airworthy selama pesawat tersebut grounded.
Selengkapnya: PENERAPAN PROSEDUR PARKING & STORAGE PADA PESAWAT UDARA
Dunia penerbangan, terkhusus aspek keselamatan penerbangan, adalah ranah yang pelik dan kompleks. Begitu kompleksnya hingga pengamat penerbangan Christine Negroni mengaitkan penyelidikan penyebab jatuhnya pesawat dengan “curse of knowledge”, atau “kutukan” dari pengetahuan, yakni ketika sesuatu itu terlalu rumit dan kompleks untuk dipaparkan di level dasar (Crash Detectives: How to Solve Air Disaster Mystery, www.aerotimes.aero). Negroni hendak mengatakan bahwa aspek keselamatan penerbangan terkhusus kecelakaan udara bukanlah dimaksudkan untuk konsumsi orang kebanyakan. Meski infromasi deras diberitakan oleh media dan sumber-sumber lainnya, ia belum tentu sumber ilmu karena informasi bisa benar dan bisa juga keliru, namun informasi yang benar dan persepsi yang benar itulah ilmu.
Terdapat banyak faktor di balik sebuah kecelakaan udara, di antaranya adalah faktor bandara, maskapai, human factors (interaksi dengan sistem pesawat dan serta automation dependency), jadwal penerbangan, cuaca, komunikasi antara petugas menara kendali dan penerbang, dan beban kerja penerbang. Secara singkat, tiga faktor utama [duniawi] sebagai penyebab kecelakaan pesawat adalah faktor teknis, cuaca, dan kesalahan manusia (Agus Hariadi. Human Factor Analysis. Ilmuterbang.com).
Miskonsepsi terjadi ketika informasi diterjemahkan secara keliru sehingga membentuk persepsi yang keliru. Contoh sederhana adalah kenyamanan penumpang saat roda-roda pesawat menyentuh landasan pacu dalam proses pendaratan (touchdown). Mendarat “dengan hentakan keras” seringkali dipahami sebagai sesuatu yang negatif dan dikaitkan dengan “inkompetensi” serta lack of skill penerbang. Meski memang ada keterkaitan antara “hard landing” dengan keputusan penerbang, namun “keras” atau tidaknya touchdown juga ditengarai oleh berbagai faktor lain, semisal berat pesawat, panjang landasan pacu, angin, dan juga keadaan permukaan landasan pacu, misalnya ketika permukaan tarmac tergenang air atau bersalju.
Berikan komentar anda dan membuat diskusi terbuka di grup FB ilmuterbang.com di:
Gunakan fasilitas cari di FB dengan kata kunci ilmuterbang.com
Follow @ilmuterbang