Dear admin ilmuterbang, saya hanya sekedar ingin menyampaikan opini saya tentang culture/budaya di dunia penerbangan yang penuh dengan automation. Diawali dari pengalaman saya ketika pertama lulus ab-initio training, di mana 6 bulan pertama menjalani line flying saya dimanjakan dengan autopilot dan FMS. Dan ketika saya kembali ke simulator dan harus menerbangkan pesawat tanpa autopilot maupun autothrust, saya merasa tingkat kesusahannya menjadi lebih tinggi. Sebabnya karena ketrampilan (skill) terbang secara manual yang menurun, instrument scanning yang melambat, sehingga mengakibatkan beban kerja yang sangat tinggi. Saat itu juga saya merasakan bagaimana skill menerbangkan pesawat secara manual dengan mudah terkikis apabila tidak sering digunakan.

Di “jaman now”, dan di dalam konteks penerbangan komersil, di mana pesawat dilengkapi peralatan avionics yang semakin canggih, beban kerja seorang pilot semakin berkurang. Ada FMS yang membantu pilot mengatur penerbangannya, ditambah dengan autopilot yang membantu menerbangkan pesawat dari beberapa detik sejak lepas landas hingga mendaratkan pesawat dengan fitur autoland. Tidak bisa dipungkiri fitur canggih tersebut sangat berpengaruh positif terhadap keselamatan penerbangan, akan tetapi ada kekhawatiran fitur tersebut terlalu memanjakan pilot sehingga melahirkan sebuah masalah baru, yaitu “automation dependency.”

Canggihnya sistem autopilot maupun FMS pesawat transport membuat pilot airline memiliki sangat sedikit waktu untuk terbang secara manual atau sering disebut hand-flying. Automation dependency bisa mengakibatkan terkikisnya ketrampilan penerbang dalam menerbangkan pesawat secara manual, terutama penerbang-penerbang yang memulai karirnya dengan menggunakan pesawat yang serba otomatis. Hal ini bisa diperburuk dengan kebijakan operator/airline yang tidak mendorong atau menganjurkan pilotnya untuk lebih banyak terbang secara manual.

Beberapa kecelakaan yang terjadi membuat banyak kalangan menyorot permasalahan skill terbang pilot. Salah satu kecelakaan yang banyak disorot adalah Asiana 214 di San Fransciso, di mana NTSB dalam hal ini menyarankan Asiana Airline untuk menyesuaikan automation policy mereka. Dalam hal ini untuk lebih memberi pilotnya lebih banyak kesempatan untuk terbang manual. Tidak hanya NTSB dan FAA di Amerika, EASA di Eropa juga mengeluarkan buletin yang menyarankan operator untuk lebih menekankan pentingnya menjaga skill menerbangkan pesawat secara manual.

Pernah seorang rekan berkata “pesawatnya sudah pinter, single engine saja bisa autoland, kita pilot jadi operator saja.” Sebuah cara pandang yang menurut saya memiliki pengaruh yang buruk di lingkungan flight training. Walaupun pesawat sudah serba otomatis, tapi semua kecanggihan tersebut sifatnya adalah sebuah “aid”, atau bantuan. Autopilot dan FMS tidak diciptakan untuk mengambil alih tanggung jawab seorang pilot dalam menerbangkan pesawat, tetapi untuk membantu meringankan beban kerja pilot. Tanggung jawab seorang pilot tidak berubah, pilot harus bisa menerbangkan pesawat, bukan sekedar operator yang hanya mahir memanipulasi tombol-tombol di FMS.

Ketika sebuah masalah dalam penerbangan tiba, ia tidak hanya tiba dalam bentuk masalah engine yang selalu dilatih setiap 6 bulan di simulator, banyak masalah teknis yang bisa membuat pesawat kehilangan fitur autopilot. QF32 yang mengalami engine failure di atas Batam membuat mereka mengalami banyak system malfunction, 2 kali autopilot disconnected saat approach, dan harus diterbangkan secara manual dengan banyak sistem yang terdegradasi.

Ada juga Garuda ditching di Sungai Bengawan Solo atau US Airways ditching di Hudson River, deadstick landing yang tentunya dilakukan tanpa bantuan autopilot, kesuksesannya kerena keahlian pilot-pilot tersebut dalam menerbangkan pesawatnya secara manual.

Pilot yang sedang menjalani pelatihan di flying school atau yang sedang melakukan pelatihan di airline sebagai ab-initio pilot baiknya diberi penekanan terhadap pentingnya skill terbang manual apapun jenis pesawat yang akan diterbangkan. Operator juga harus lebih memberi peluang para pilot untuk terbang manual baik dalam simulator maupun ketika dalam penerbangan sehari-hari. Skill terbang manual tidak bisa didapatkan hanya dengan menghafal angka-angka, tetapi dengan sering dipergunakan agar tetap handal. Practice makes perfect. Ketika sebuah situasi mengharuskan kita untuk terbang secara manual, tidak ada lagi waktu untuk latihan.

Bacaan lebih lanjut:

1. Asiana Accident Summary: https://www.ntsb.gov/news/events/Pages/2014_Asiana_BMG-Abstract.aspx

2. EASA Bulletin: https://ad.easa.europa.eu/blob/SIB_201305_Manual_Flight_Training_and_Operations.pdf/SIB_2013-05_1

3. QF32 Report: https://www.atsb.gov.au/media/4173625/ao-2010-089_final.pdf

4. FAA SAFO: https://www.faa.gov/other_visit/aviation_industry/airline_operators/airline_safety/safo/all_safos/media/2017/SAFO17007.pdf