Saya sedang bersekolah di sebuah sekolah penerbang helikopter di Amerika Serikat. Selama hampir sepuluh bulan saya menempuh pendidikan disini, sudah ada sekitar tujuh orang teman saya yang keluar/ditarik pulang dari sekolah. Latar belakang teman-teman saya itu pun berbeda-beda, ada yang memang dari keluarga kaya dan memiliki kemampuan ekonomi untuk membiayai sekolah sendiri, ada yang mendapatkan beasiswa dari instansi/maskapai, bahkan ada juga yang datang dari kadet angkatan bersenjata.

Saya cukup sedih mendengar kabar teman-teman saya tidak bisa menyelesaikan pendidikan penerbang ini, terlebih kepada mereka yang datang dari program beasiswa karena sayang sekali tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang sudah diberikan dengan baik, padahal di luar sana banyak orang yang berharap bisa dapat kesempatan menempuh sekolah penerbang dengan gratis.

Saya sempat berbincang dengan mereka ketika mereka masih menempuh pendidikan. Kasus yang dialami pun berbeda-beda, ada yang karena kesulitan faktor bahasa, kesulitan pada teori penerbangannya, dan ada juga yang karena progress terbangnya yang lambat. Namun, dari apa yang mereka sampaikan, saya mendapat sebuah benang merah. Saya menyimpulkan mereka kehilangan satu komponen penting yang harus ada di jiwa penerbang. Komponen itu adalah “Airmanship”.

Apa itu Airmanship?
Menurut DeMaria, Chris, CFI (2006-11-09). "Understanding Airmanship". Aviation Channel. Retrieved 2007-02-24, jika diterjemahkan akan menjadi demikian : “ Airmanship adalah kemampuan dan pengetahuan yang diterapkan dalam navigasi udara, yang mencakup keahlian dan kebiasaan dari penerbang, yang tidak hanya bisa mengukur kemampuan dan teknik menerbangkan pesawat, tetapi juga dapat mengukur kesigapan yang bersangkutan dalam kaitannya terhadap pesawat, kondisi dan area terbang, juga faktor psikologis penerbang itu sendiri.

Salah satu contoh dari good airmanship pernah tercatat dalam sebuah kecelakaan pesawat. Pada 19 Juli 1989, sebuah pesawat DC-10 milik United Airlines dengan nomor penerbangan 232 jurusan Stapleton Int. Denver – O’Hare Int Chicago, mengalami kerusakan pada mesin ketiga (yang terletak di vertical stabilizer, di ekor), kemudian ada puing dari komponen mesin yang rusak tersebut beterbangan dan merusak semua sistem hidrolik dari pesawat tersebut. Akibatnya, selain kehilangan daya dorong dari mesin ketiga, pilot juga kehilangan semua kendali pesawat karena semua kendali pesawat DC-10 menggunakan system hidrolik.

Apa yang terjadi kemudian cukup mencengangkan, pilot dan kopilot melakukan improvisasi dan dapat mengendalikan pesawat dengan mengatur tenaga dari dua mesin yang masih berjalan normal. Untuk mengatur ketinggian mereka menggunakan tenaga dari dua mesin bersamaan, sedangkan untuk berbelok mereka mengatur tenaga dari masing-masing mesin untuk menciptakan momen sehingga pesawat dapat berbelok. Dengan improvisasi ini, mereka dapat mengarahkan pesawat ke Bandara Sioux Gateway dan melakukan pendaratan darurat di salah satu runway. Pendaratan pun terjadi dengan rate of descent yang besar dan kecepatan tinggi karena pesawat tidak bisa melakukan flare. Pesawat kemudian patah, terbalik , dan terbakar. Namun, berkat keputusan yang diambil awak pesawat, mereka dapat menyelamatkan 185 orang (62.5%) dari seluruh penumpang.

Apa yang menunjukkan penerbang pesawat itu memiliki good airmanship? Karena mereka tahu pengetahuan penerbangan, paham akan sistem pesawat, dan tahu bagaimana menerapkannya pada kondisi nyata.

Kembali lagi pada apa yang saya lihat di sini dalam proses pendidikan penerbang, hanya diajarkan dasar dan teknik terbang, juga disiplin dan pengetahuan tentang peraturan penerbangan itu sendiri. Apakah dengan keahlian yang diajarkan di sekolah penerbang sudah cukup untuk menciptakan penerbang yang baik? Jawabannya menurut saya sudah cukup.

Pertanyaan selanjutnya, apakah penerbang yang baik saja sudah cukup?
Penerbang yang baik adalah pilot yang punya good airmanship, yang berawal dari good knowledge & skill, maka siswa-siwa yang rajinlah yang cenderung akan punya good airmanship.

Selain good pilot, kemudian ada yang disebut dengan good passionable pilot. Perbandingannya pada pendidikan formal di perguruan tinggi misalnya, bedanya Sarjana Sastra Teknik dengan Insinyur. Keduanya bisa melaksanakan sebuah tugas 100% mission accomplished, perbedaannya yang satu hanya selesai melakukan tugas kemudian sudah selesai, yang lainnya terus mengekplorasi tugas yang sudah diselesaikan karena rasa antusiasme yang besar pada dunia penerbangan.

Sehingga saya pribadi berkesimpulan, penerbang haruslah memiliki good airmanship, yang datangnya dari good knowledge & skill, semakin banyak knowledge & skill akan semakin baik, dan karena itulah menurut saya penerbang juga harus selalu menggali pengetahuan dunia penerbangan , tapi kembali lagi rasa ingin tahu untuk menggali pengetahuan bergantung ke seberapa besar passion seorang penerbang terhadap dunia penerbangan itu sendiri.