Pada tanggal 11 January 2006, pukul 0830 pagi hari di kota Edinburgh, UK, sebuah Avro 146-RJ100 bermesin empat turbofan akan melakukan penerbangannya. Crew yang terdiri dari 2 orang pilot dan 3 orang cabin crew bersiap-siap untuk melakukan penerbangan ke London. Captain mengetahui dari Maintenance Log bahwa APU (Auxiliary Power Unit) tidak bekerja sehingga mereka harus mempersiapkan start Engine 4 di gate 22 (dengan menggunakan tenaga pneumatik dari GPU, Ground Power Unit), lalu diteruskan dengan pushback lalu melakukan crossbleed start untuk Engine 3, 2, 1 (menyalakan mesin dengan tenaga pneumatik dari mesin lain).
 
Setelah melakukan procedure engine 4 start maka Captain memerintahkan ground mechanic utk melepas External Power dan GPU (Ground Power Unit) yang dilanjutkan dengan melakukan pushback dan berhenti di abeam gate 23 (di dorong sampai di depan gate 23). Setelah tow bar dilepas, ground mechanic memberikan clearance untuk melakukan procedure crossbleed start. Captain melakukan engine 3 start. Pada saat captain menekan start button untuk engine 3 dia menyadari telah lupa menambah power hingga N2 65% sebagaimana tertulis pada procedure cross bleed start.
Secara refleks Captain aborted (membatalkan) start engine 3 tapi dalam waktu bersamaan Generator no 4 trip off sehingga pasokan listrik untuk Avro 146-RJ100 ini hanya didapat dari battery saja. Sialnya lagi dalam waktu bersamaan ground mechanic memberitahu Captain telah terjadi tail pipe fire pada engine 4 (api di lubang bagian belakang mesin), kedua pilot tidak bisa melihat secara langsung kondisi engine 4 dari cockpit dan kondisi tail pipe fire inipun tidak dapat dideteksi dari cockpit panel.
 
Pada situasi normal jika APU bekerja dengan baik  procedure yang dilakukakan cockpit crew adalah Shut down Engine 4 lalu dilakukan motoring /memutar mesin dengan menggunakan bleed pressure/ tekanan udara (tiupan udara pneumatik) yang dihasilkan oleh APU. Tapi kali ini APU tidak bekerja sehingga satu-satunya opsi yang bisa dilakukan adalah shut down Engine 4 dilanjutkan dengan discharge Engine 4 fire Extinguisher (menyemprotkan isi botol pemadam kebakaran yang ada di mesin).
 
Captain melakukan opsi tersebut yaitu shut down engine 4 dilanjutkan dengan discharge engine 4 Fire extinguisher. First Officer melakukan “Mayday” call kepada Air Traffic Controller dan hampir dalam waktu bersamaan kedua pilot melihat “DOOR” warning light menyala menandakan pintu telah dibuka!.
 
Secara manual Captain membuka cockpit door untuk bertanya kepada purser apa yang terjadi……..ternyata cabin crew telah melakukan emergency evacuation procedure tanpa berkomunikasi dengan Pilot. Emergency evacuation adalah evakuasi penumpang karena adanya keadaan darurat.
 
Inisiatif dari Emergency Evacuation tersebut dilakukan oleh Cabin crew karena beberapa hal:
  • Cabin crew mendapat informasi dari penumpang adanya engine 4 fire
  • Cabin crew pada saat preflight check telah mengetahui bahwa PA dan interphone system bekerja dengan baik
  • Dalam investigasi diketahui bahwa seluruh Cabin crew tidak memahami apabila terjadi kondisi Battery only power (kondisi hanya ada batere sebagai pemasok daya), maka PA (Passenger Address, pengeras suara untuk berbicara pada penumpang) dan Interphone masih bekerja, hanya saja bel dan lampunya yang tidak bekerja.
  • Cabin crew tidak mengetahui ketika pada kondisi battery power only, pintu kokpit tidak dapat dibuka dari luar, hanya bisa dibuka secara manual dari cockpit saja.
  • Adanya kondisi panik akan adanya engine 4 fire ditambah lagi mereka merasa tidak bisa menghubungi Cockpit crew yang sedang sibuk melakukan fire fighting procedure dan ditambah lagi cabin crew tidak bisa membuka cockpit door sebagai upaya menghubungi pilot maka terjadilah evacuation procedure yang sebenarnya tidak perlu dilakukan,
Dalam proses investigasi disimpulkan bahwa Airline tidak memberikan training yang cukup kepada Flight attendantnya termasuk dalam mengatasi situasi yang sangat khusus ini. Airline tersebut kemudian direkomendasikan untuk meninjau ulang training terhadap flight attendant. Hasil penemuan team investigasi menyimpulkan adanya kesalahan perusahaan pada kejadian ini, dan kepada flight attendant bersangkutan setelah mendapatkan training ulang diperbolehkan kembali bekerja lagi pada airline yang sama.

Mimpi airlines akan membahas kasus ini untuk mendefinisikan ulang tantangan yang sangat berat bagi profesi pramugari dan pramugaranya.

Pramugari/a memiliki dua tugas yang sangat mendasar, tugas pertama adalah menjalankan tugas passenger service obligation yang dibebankan kepadanya oleh perusahaan. Sedangkan tugas kedua adalah sangat penting karena menyangkut keselamatan penumpang dan keselamatan mereka sendiri baik dalam situasi normal maupun abnormal.

Untuk menjadi pramugari/a seseorang harus memiliki sifat dan pribadi pekerja keras yang bekerja tanpa mengenal lelah setiap saat on duty hours, dan seorang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan penumpangnya yang datang dari berbagai karakter dan sifat berbeda-beda, seseorang yang siap menghadapi situasi emergency termasuk ketika mengalami inflight medical emergency. Pramugari/a adalah profesi yang sangat penting ketika sebuah pesawat harus melakukan emergency passenger evacuation.

Pramugari pada zaman sekarang ini tidak lagi memerlukan sertifikat perawat sebagai salah satu persyaratanSejarah pramugari/a

Menurut sejarah flight attendant pertama di dunia adalah 3 orang anak berumur 14 tahun yang bekerja sebagai cabin boy, mereka dikontrak oleh Daimler airways pada tahun 1922. Mereka memakai seragam seperti bellboy dan hanya melakukan tugas pada penerbangan penting saja. Didalam penerbangan tersebut tidak disajikan makanan maupun minuman, sehingga adanya bellboys tersebut lebih sebagai simbolisme dibanding sebagai fungsi utamanya melakukan service atau pelayanan. Lambat laun fungsi dari Daimler’s bellboys tersebut ditingkatkan lebih berorientasi terhadap fungsi servicenya.
 
Sementara itu beberapa airline di Eropa terus meningkatkan fungsi service dari pramugaranya dengan mulai merekrut laki2 dewasa untuk melayani penumpangnya, diluar Daimler’s bellboys yang tetap dipertahankan keberadaannya.

Pada tahun 1930 United Airline di Amerika Serikat merubah pandangan tentang pelayanan di pesawat terbang secara drastis. Munculnya Ellen Church, seorang pramugari pertama di dunia telah mengubah image terhadap tugas serta tanggung jawab pramugara/i di dunia penerbangan.
 
United airlines atas pemikiran salah satu CEOnya mulai merekrut gadis-gadis yang atraktif, cantik dan menarik, single atau belum menikah serta memiliki sertifikat sebagai perawat untuk dijadikan sebagai pramugari pertama di seluruh penerbangan United Airlines. Gadis-gadis tersebut harus berusia dibawah 25 tahun untuk dapat diterima sebagai pramugari United Airlines.
 
Tugas utama mereka adalah memberikan rasa nyaman para penumpangnya serta membuat para penumpang merasa lebih aman. Pramugari pada zaman sekarang ini tidak lagi memerlukan sertifikat perawat sebagai salah satu persyaratan dan batasan umurpun sekarang tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan, termasuk status sudah menikah atau masih single telah dihapuskan oleh banyak perusahaan penerbangan, bahkan pada saat ini banyak perusahaan penerbangan telah merekrut sejumlah pramugara.

Pada awal nya pekerjaan sebagai pramugari/a tidak pernah dijadikan sebagai pekerjaan yang menjanjikan untuk sebuah pekerjaan karir. Alasan utamanya adalah pekerjaan ini sangat rentan untuk di PHK apabila salah satu persyaratan sudah tidak terpenuhi lagi. Ketika mereka tidak cantik dan tidak menarik lagi, ketika mereka menikah sehingga tidak single lagi maka saat itulah karir yang bersangkutan terhenti karena perusahaan penerbangan sudah tidak ingin lagi memperpanjang kontrak yang ada.
 
Permasalahan ini sedikit demi sedikit mulai berubah setelah para pramugari2 membentuk suatu serikat pekerja atau union, dimana mereka memiliki bargaining power / kekuatan menawar terhadap perusahaannya. Banyak sekali manfaat yang didapat setelah para pramugari/a membentuk suatu serikat pekerja, pelan tapi pasti mereka mendapatkan gaji yang lebih baik, mereka mampu menghapuskan persyaratan-persyaratan yang menyangkut umur, jenis kelamin serta status perkawinan dll. Pramugari dengan adanya serikat pekerja tersebut telah mendapatkan keuntungan yang didapatkan oleh pegawai-pegawai yang lain seperti free ticket, asuransi kesehatan bahkan program pension telah menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari profesi sebagai permugari/a.Dengan adanya kondisi yang telah berubah tersebut maka profesi sebagai pramugari/a banyak dipilih sebagai salah satu pilihan karir sebagaimana karir sebagai pilot, engineer, dokter dll.
 
Di dalam dunia penerbangan keberadaaan pramugari/a sering sekali dihubungkan dengan pelayanan dan kenyamanan penumpang oleh karena itu perusahaan penerbangan selalu mempromosikan keberadaan mereka selain menonjolkan pesawat dengan teknologi barunya. “Safety role” yang dijalankan pramugari/a pada zaman sekarang ini merupakan perjuangan dari union atau serikat yang panjang serta mendapatkan dorongan dari pilot union serta regulatornya. Tujuannya untuk lebih mengefektifkan fungsi cabin crew dalam menjalankan proses evacuasi penumpang ketika terjadi emergency situation.

Pemikiran untuk lebih mendayagunakan cabin crew pada saat emergency evacuation karena belajar dari beberapa kecelakaan fatal yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Dengan menjalankan training yang baik serta membentuk suatu procedure kerja yang baik menyangkut hubungan dengan cockpit crew maka korban yang tidak perlu dapat dihindari.

Pramugari/a dan struktur organisasi

Pada zaman sekarang ini Cabin crew department dan Pilot Deparment seringkali tidak berada dalam satu department pada struktur organisasi sebuah airlines, apakah hal ini sesuatu yang disengaja?
Sejak awal sejarahnya cabin crew memang lebih difokuskan untuk menemani, melayani dan membuat penumpang lebih nyaman diperjalanan, sangat sedikit tugas2 safety yang dibebankan kecuali menginisiasi suatu proses evakuasi ketika terjadi sebuah kecelakaan.

Pilot lebih banyak berkonsentrasi untuk menerbangkan pesawat saja dengan sedikit pemikiran untuk memberikan pelayanan kepada penumpangnya. Adanya pemisahan Cabin crew dengan pilot dalam struktur organisasi sedikit banyak berpengaruh terhadap crew communication yang tidak bisa maksimum dan terbatas hanya pada situasi emergency dan abnormal saja. Secara organisasi pramugari/a biasanya berada dibawah divisi Marketing atau Niaga, dengan pertimbangan mereka adalah ujung tombak dari marketing serta merupakan image maker bagi airlines.

Sampai hari ini struktur organisasi yang terpisah antara pilot department dengan cabin department tetap dilakukan meskipun sudah muncul pemikiran-pemikiran untuk menyatukan cabin crew department dengan pilot department dalam satu divisi Operasi. Masih menjadikan suatu pembahasan atas plus serta minusnya hal ini, namun demikian kedua model struktur organisasi tersebut memiliki tujuan sebagai berikut:

• Adanya keinginan untuk lebih memaksimalisasi cockpit-cabin crew communication baik dalam kondisi normal maupun abnormal atau emergency
• Adanya sikap saling menghargai terhadap masing2 tugas dan kewajibannya
• Memberikan sebuah budaya atau kultur terhadap cabin crew dan cockpit crew menyangkut tugas2 cabin crew terhadap safety serta tugas pelayanan kepada penumpang dan cockpit crewnya.


Licensing

Pada awal adanya profesi pramugari diseluruh dunia, mereka tidak dibekali dengan license ataupun sertifikat. Hal ini banyak merugikan profesi pramugari/a sebab perusahaan penerbangan memiliki bargaining power yang lebih ketika harus melakukan pengurangan pegawai, memudahkan airlines untuk mencari pramugari/a pengganti apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Dengan dorongan pilot union dan regulator diseluruh dunia akhirnya hari ini setiap pramugari/a harus mengantongi license sebelum dapat bertugas di pesawat terbang.
 
Untuk mendapatkan license tersebut setiap calon cabin crew harus melalui tahapan training yang syllabusnya telah dipersyaratkan oleh regulator. Sebagai contoh di Amerika Serikat, Initial training sebagai cabin crew dilakukan selama 2 ½ bulan dengan subject-subject seperti service, security, safety aspect termasuk di dalamnya adalah Dangerous goods training. Pada tahun 1993 di Amerika serikat terjadi strike/pemogokan besar-besaran oleh cabin crew yang menyebabkan airlines kekurangan cabin crew untuk menjalankan operasinya. Atas permintaan airlines dan desakan berbagai pihak sejak itu FAA sebagai regulator mengijinkan airlines melakukan cabin crew training dalam waktu hanya 8 hari saja. Pertimbangan supply and demand dan pertimbangan bahwa 8 hari adalah waktu yang mencukupi dalam membekali cabin crew menyangkut safety.

Penutup

Seorang pramugari/a harus peduli terhadap 3 hal yaitu:

1. Pramugara/i teman sekerja
2. Cockpit Crew
3. penumpang


Interaksi sesama cabin crew sangat erat menyangkut kerjasama team work dalam menjalankan tugas-tugas service dan safety. Interaksi diantara cabin crew dengan cockpit crew sangat kritikal terutama sekali ketika mereka bersama-sama sebagai team menghadapi kondisi emergency .
Beberapa interaksi tersebut haruslah mengandung semangat kerja sebagai berikut :

1. Adanya sikap respect atau saling menghargai di antara cabin crew dengan cocpit crew
2. Adanya interaksi ini akan lebih menjamin lancarnya crew communication di antara cabin crew dan cockpit crew ketika menghadapi situasi emergency
3. Adanya pemahaman yang baik atas tugas masing2 baik cabin crew maupun cockpit crew.
4. Adanya informasi yang sama atas sebuah kejadian atau informasi (contoh: emergency code entry cockpit door)

Interaksi antara cabin crew dan cockpit yang terjalin baik tersebut bertujuan untuk lebih mengupayakan sebuah budaya atau kultur safety dengan memakai konsep dan bahasa yang sama yang dimengerti oleh kedua belah pihak, konsep ini setidak-tidaknya akan bisa mencegah suatu kejadian sebagaimana ditulis pada awal pembahasan kita diatas……………………………………………

Blue sky fly safe/ Hendriady Ade