Tulisan ini dibuat sehari setelah penulis mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi pesawat KT-1B Wongbee milik Jupiter Aerobatic Team yang diparkir di bandara internasional Juanda, yang akan melakukan unjuk kemampuan aerobatic dalam rangka perayaan HUT TNI yang ke-69.
Saat penulis mendapatkan kesempatan untuk berfoto dengan 2 penerbang Jupiter Aerobatic Team, terbersit di pikiran penulis :
“Tinggi mereka tidak setinggi saya (tinggi penulis adalah 175cm) tapi toh mereka tetap bisa menerbangkan pesawat, malahan dapat kehormatan untuk mengharumkan nama bangsa dengan menunjukkan kemampuan aerobatic di event-event penting yang berhubungan dengan kemiliteran ataupun kedirgantaraan.”
Jika di sekolah pilot yang ada di Indonesia, baik swasta maupun milik pemerintah, ada persyaratan tinggi badan minimum untuk menjadi penerbang. Untuk pria minimal 165cm, sedangkan untuk wanita adalah 160cm. Awalnya saat penulis berusia remaja, penulis berpikir wajar saja kalau ada persyaratan tinggi minimum. Karena produsen pesawat sebagian besar berasal dari negara-negara Eropa maupun Amerika. Di wilayah-wilayah ini rata-rata orang-orangnya memiliki tinggi badan yang lebih tinggi daripada orang-orang Asia pada umumnya.
Namun, saat penulis lulus SMA dan mendapat kesempatan untuk belajar di MAF (Mission Aviation Fellowship) di base Nabire dan mempelajari pesawat bermesin piston (Cessna TU-206), penulis mendapat kesempatan bertemu dengan salah seorang pilot MAF dari dari base timika, beliau menerbangkan pesawat Cessna 208B Grand Caravan, dan ternyata tinggi badan beliau tidak setinggi penulis. Tinggi beliau sekitar 160cm. Kalau beliau mendaftar untuk masuk di sekolah pilot di indonesia, pasti akan gagal karena tidak memenuhi syarat tinggi minimum.
Kembali ke judul di atas, “apakah menjadi pilot harus tinggi?”
Setelah penulis menghabiskan waktu 1 tahun untuk belajar di MAF, penulis menyadari kalau kursi di cockpit (ruang kemudi pesawat) itu dapat diatur maju dan mundur, bahkan bisa diatur naik dan turun berdasarkan postur tubuh pilot dan posisi yang memungkinkan penerbang untuk mengemudikan pesawat dengan baik dan nyaman. Apakah buktinya dari apa yang penulis katakan mengenai kursi kokpit yang bisa diatur?
Saat penulis bertemu dengan anggota grup facebook ilmuterbang.com di bandara Halim Perdanakusuma pada bulan September 2014, penulis bertemu dengan seorang penerbang, captain untuk rating pesawat Airbus A330. Nama beliau adalah pak Fadjar Nugroho. Dan untuk ukuran tinggi badan, tinggi beliau sekitar 160-165cm, di mana dalam mindset orang-orang awam, tidak mungkin orang dengan tinggi segitu menerbangkan pesawat sebesar A330 (karena pemikiran pesawat besar pasti kursinya tinggi dan dibutuhkan pilot yang tinggi pula untuk mengoperasikannya).
Tapi tunggu dulu, ternyata asumsi itu tidak benar, toh beliau dengan tinggi yang untuk masuk standar tinggi minimum di Indonesia kemungkinan fail, tetapi ternyata beliau berhasil menjadi pilot, bahkan memiliki rating pesawat sebesar Airbus A330.
Lalu, bagaimana dengan penerbang pesawat tempur atau pesawat aerobatic seperti Jupiter Aerobatic Team ?
Justru mereka-mereka yang ingin menjadi penerbang dengan kebiasaan terbang yang “tidak umum” ini, disarankan dari orang-orang dengan tinggi badan yang untuk ukuran tinggi ideal pilot bisa dibilang “pendek”.
“kok bisa begitu?”
Untuk menerbangkan pesawat aerobatic sambil bermanuver melebihi batasan normal yang biasa dilakukan oleh pesawat latih sipil, pesawat angkut sipil, maupun pesawat angkut militer, dibutuhkan ketahanan fisik terhadap G-effect lebih daripada orang-orang pada umumnya. Ketahanan ini hanya didapat pada orang-orang dengan postur tubuh pendek. Karena pada orang dengan postur tubuh pendek, suplai oksigen dari jantung menuju otak berlangsung lebih cepat daripada orang dengan postur tubuh tinggi. Hal ini membuat orang-orang dengan postur tubuh pendek lebih lama untuk mengalami hipoksia maupun blackout setelah menerima G-force.
Ketahanan tubuh terhadap G-effect, tetap sadar dan tidak hipoksia bahkan blackout setelah melakukan manuver yang berat bahkan setelah menerima G-force, merupakan modal yang cukup utama bagi seorang pilot pesawat aerobatic dan juga pesawat tempur. Dan ini merupakan keunggulan bagi orang-orang dengan postur tubuh pendek.
Jadi, apakah menjadi pilot harus tinggi?
Kesimpulan dari penulis adalah :
“Selama orang yang ingin menjadi pilot ini kakinya mampu menyentuh rudder pedal dan mampu mengendalikannya dengan baik, dan matanya dapat melihat dengan jelas apa yang ada di depannya, baik instrumen ataupun visual yang ada di luar, lalu tangannya mampu melakukan kerja di kokpit tanpa mengalami kesulitan, serta orang ini disiplin dan memiliki good airmanship, bagi saya orang ini bisa dan mungkin untuk menjadi seorang pilot.”