2 prototype pertama BandeiranteKisah mengenai Embraer ini kembali ke jaman perang dunia kedua, jaman di mana teknologi penerbangan berkembang pesat. Waktu itu Brazil memihak sekutu dan menyatakan perang melawan axis (Jerman, Italia, Jepang). Mereka mengirim tentara, sukarelawan, dan personel-personel lainnya untuk berangkat berperang bersama sekutu.

Nah, ketika orang-orang ini pulang, mereka bawa segudang cerita soal perang modern bagi orang-orang di daerah Amerika Latin yang praktis tidak tersentuh perang dunia kedua yang habis-habisan itu. Cerita yang paling menarik adalah soal mesin terbang yang banyak digunakan selama perang dan yang mengakhiri perang itu sendiri. Dari situ pemerintah Brazil merasa perlu untuk mengembangkan teknologi ini, maka didirikanlah IPD - Instituto de Pesquisas e Desenvolvimento (Institut Riset dan Pengembangan/R&D).

Pendirian Embraer

Memang pada awalnya cuma buang-buang duit, tapi tetap dijalankan demi mengejar ketertinggalan teknologi Brazil dari negara-negara maju di dunia. Sampai pada tahun 1965, IPD membuat proposal untuk membuat pesawat transport turboprop yang hasilnya sekarang kita kenal sebagai EMB 110 "Bandeirante" (pembawa bendera/scouts). Untuk memproduksi pesawat ini secara komersil, diperlukan dana dan fasilitas, tapi hampir tidak ada perusahaan yang tertarik. Maka pada 29 Juli tahun 1969, didirikanlah Embraer dengan bekas pemimpin insinyur IPD yang bertugas mengembangkan pesawat transport turboprop ini sebagai presidennya.

Pesawat latih Tucano merayakan 1 juta jam terbangSukses pertama

Intinya EMB 110 ini sukses, berhasil terjual ke Angkatan Udara Brazil dan beberapa airline regional setempat. Lalu seperti biasa, mereka mengambil lisensi untuk memproduksi pesawat rancangan luar negeri seperti pesawat jet latih ringan, memproduksi pesawat kebutuhan lokal seperti pesawat penyemprot hama dan kebutuhan pertanian lainnya (yang sukses berat). Lalu mereka mendapat lisensi untuk memproduksi pesawat-pesawat Piper, seperti Cherokee, Seneca, dan Navajo. Setelah banyak pengalaman, mereka akhirnya diminta untuk memproduksi pesawat latih terbang pada akhir tahun 1970an, dan pada tahun 1980, lahirlah pesawat latih yang terkenal itu, Embraer Tucano.
 
Bisa ditebak langkah selanjutnya, Embraer mengembangkan produk suksesnya, yakni EMB 110 jadi EMB 120. EMB 120 pun juga cukup laris. Sampai produksinya stop tahun 2002, EMB 120 "Brasilia" total terjual sebanyak 350 unit. Tapi pesawatnya masih bisa diproduksi kalau ada yang mau beli.

EMB 120
Lalu sekitar Juli 1981, Embraer dapat tawaran untuk mengembangkan pesawat jet subsonik untuk keperluan serang dari produsen Italia. Alenia, Aermacchi, dan Embraer akhirnya bekerja sama untuk membuat pesawat jet serang ringan AMX. Pengalaman ini sangat berharga bagi Embraer (yang pertama kali bikin jet), dan akan menentukan bagi mereka.
 
Kejatuhan

Sekali lagi, Embraer dapat tawaran untuk mengembangkan pesawat tuboprop komersil dari sebuah produsen Argentina, FMA (yang bikin IA 58 Pucará itu... kalau yang senang dengan kisah perang/Malvinas pasti tahu). Mereka bergabung untuk membuat CBA 123 Vector. Tahun 1990 pesawat ini berhasil terbang untuk pertama kalinya. Pesawat ini akhirnya tidak sukses dan gagal total di pasaran meskipun canggih, karena harganya kemahalan. Pesawat Vector ini kalau dilihat-lihat bentuknya mirip sekali dengan salah satu jet sukses Embraer saat ini, terutama hidungnya (alias tidak beda sama sekali!) Fotonya: http://www.airliners.net/photo/Embraer/Embraer-CBA-123-Vector/1140110/L/

Produksi Bandeirante di tahun 80'an

Ujung-ujungnya, Embraer terpuruk dalam krisis, selain proyek CBA 123 Vector yang gagal itu, banyak faktor lain yang membuat Embraer terpuruk, seperti situasi politik di Brazil yang kacau (diktator sebelumnya diturunkan), pendanaan dikurangi, krisis minyak dunia, dll. Tapi Embraer tidak putus asa, para insinyur mereka tetap berkonsentrasi untuk mengembangkan pesawat jet komersial berkapasitas 50-an penumpang terbaru mereka: ERJ (Embraer Regional Jet).

Privatisasi/penswastaan dan kebangkitan

Setelah presiden baru terpilih secara demokratis, rencana pemerintah Brazil pertama ya jelas: menswastakan perusahaan-perusahaan pemerintah yang merugi, salah satunya Embraer ini. Embraer berhasil diswastakan dan presiden baru terpilih, yakni Maurício Botelho. Mantan dirut eksekutif perusahaan investasi (holding company) Bozano Group yang cukup besar di Brazil. Ini terjadi di akhir tahun 1994. Embraer ketinggalan oleh pesaingnya: Bombardier, pesawat mereka CRJ-200 yang berkapasitas 50an penumpang sudah terbang lebih dulu.

Bermain di regional jet berkapasitas 50an penumpang masih tidak umum di jaman itu. Bahkan Saab masih mengira turboprop seperti Saab 2000 masih bisa "bermain" di pasaran, intinya jet itu masih "kedodoran", karena jelas jauh lebih mahal dan ongkosnya lebih tinggi ketimbang pesawat turboprop. Tapi Botelho mendengar opini para pemilik airline: mereka butuh pesawat berkapasitas segitu, tapi mereka tidak suka turboprop. Intinya Saab kalah bersaing dan mundur dari bisnis.

Di kondisi internal Embraer sendiri, Botelho mau tidak mau harus mengurangi jumlah pekerja dan memotong gaji mereka. tidak heran kalau akhirnya terjadi perpecahan, para buruh demo dan bernegosiasi dengan sang presiden. Akhirnya mereka setuju untuk pemotongan gaji 10% bagi semua pihak di Embraer, termasuk para jajaran eksekutif. Embraer pun tetap berjalan, pokoknya proyek ERJ tidak bisa berhenti di tengah jalan. Pemerintah Brazil pun memberi dana segar sebanyak USD 98 juta buat mereka untuk terus melanjutkan dan memproduksi ERJ.

ERJ 145 yang ke 600Persaingan

ERJ, kapasitas 50an penumpang

Tahun 1996, ERJ-145 terjual kepada Continental Express, lalu American Eagle, dan seterusnya (sampai 1000 unit lebih). ERJ benar2 fokus pada segmen ini, variannya jauh lebih banyak ketimbang varian pesaingnya (Bombardier CRJ100/200, yang terjual 1200 lebih). Intinya Embraer berhasil mengejar.

E-jets, kapasitas 70an penumpang

Lalu karena merasa sudah tidak bisa apa-apa lagi, mereka akhirnya masuk ke segmen kapasitas 70an penumpang. Tahun 1999, Embraer mengumumkan akan mengembangkan pesawat untuk mengisi pasaran ini. Sekali lagi, Bombardier berhasil masuk lebih dahulu dengan CRJ700/900nya di tahun 2001. CRJ700/900 ini CRJ200 dengan badan diperpanjang serta avionik dan mesin baru. Kapasitas mereka bervariasi antara 60 hingga 90 penumpang.

Embraer, tidak mengikuti langkah yang sama, memutuskan untuk memulai rancangan baru. CRJ700/900 punya badan yang berkonfigurasi bundar ala cerutu, yang sempit dan sulit untuk berjalan di gang aislenya. Embraer memperkenalkan rancangan double bubble yang lebih lega dan lapang untuk pesawat berkapasitas ini. Intinya Embraer bertaruh pada kenyamanan vs. ekonomis. "Anda bahkan bisa kencing sambil berdiri" kagum Satoshi Yokota, wakil presiden eksekutif divisi pengembangan Embrer.

Proyek ini menelan dana sekitar USD 1 milyar, Embraer harus mencari dana dengan cara IPO (menjual saham) di New York pada tahun 2000, lalu menawarkan GE dan Kawasaki Heavy Industries (salah satu member proyek IAE, produsen mesin A320 itu) untuk ikutan menanam modal pada proyek ini. GE dan Kawasaki pun setuju, mereka bertaruh pada proyek E-jets ini.

Perusahaan dari Brazil? Negara dunia ketiga itu bikin pesawat yang mau bersaing sama produsen dari negara tetangga produsen pesawat nomor 1 dunia? Ya tidak selalu lah...

Apa kata Bombardier?

Beraninya mereka!

CEO Bombardier, Pierre Beaudoin berujar bahwa Embraer punya strategi yang berbeda. Bombardier punya CRJ700/900 lebih irit bahan bakar dan lebih murah ongkos operasinya.

Tapi hasilnya mengatakan berhasil terjual sebanyak 850 unit hingga akhir 2008 lalu. Sementara Bombardier CRJ700/900 terjual sekitar 420 unit + 38 untuk CRJ1000 yang belum diproduksi. Bombardier kedodoran untuk pasaran 90-100 penumpang, di mana Embraer sudah masuk terlebih dahulu dengan E-190/195nya. Setelah bingung-bingung, Bombardier memutuskan untuk memperpanjang CRJ700/900 (yang sebelumnya perpanjangan CRJ100/200) menjadi CRJ1000. Sekali lagi, Bombardier mengedepankan kehematan bahan bakar dan ongkos rendah ketimbang kenyamanan, kapasitas, dan jarak tempuh.

Bombardier yang sebelumnya "meninggalkan" segmen 100 penumpang merasa ketinggalan, dan ingin mengulangi sukses sebelumnya, berusaha menyalip Embraer pada segmen selanjutnya, 110-135 penumpang (langsung bersaing dengan Boeing dan Airbus, termasuk A319 dan 737-700 yang berkapasitas 130-150 penumpang itu). Mereka memulai proyek 2 milyar USD mereka, yakni Bombardier C-series. Pesawat baru ini direncanakan akan lebih nyaman (bukan lagi main panjang2in badan pesawat), lebih irit, lebih jauh jarak tempuhnya, dan lebih ramah lingkungan.

Tantangannya pun tidak sedikit, GE tentu akan menawarkan CFM-56, dan bukan CF-34 yang lebih kecil dan irit untuk tipe pesawat ini, karena mereka tidak mau pasar CFM-56 mereka dibabat/disaingi oleh produk sendiri, partner Prancis mereka pasti tidak senang. Dan mengumpulkan dana 2 milyar USD pada situasi seperti sekarang ini merupakan tantangan besar. Bisakah Bombardier sukses dengan C-series mereka? Akankah ada yang tertarik dengan C-series? Bagaimanakah dengan proyek terbaru Boeing Y-1 dan Airbus NSR (yang konon menggandeng Embraer sebagai partner)? Lalu bagaimana dengan kompetitor2 lain yang sudah siap sedia, yakni Russia, Cina, dan Jepang?
 
Siapkah Bombardier?


Reaksi Embraer

Botelho, memutuskan untuk tidak ikut-ikutan "masuk kandang macan" (bersaing dengan raksasa Airbus dan Boeing). Ia tidak berniat bersaing dengan mereka.Embraer Versi Militer
 
Dan strateginya adalah mendiversifikasi produknya, yakni masuk ke pasar militer dan jet pribadi. Embraer saat ini sedang getol memasarkan varian pesawat ERJ mereka yang dirancang ulang untuk kebutuhan patroli maritim, mata-mata, dan survei udara bagi keperluan militer. Selain itu, mereka juga giat memasarkan jet pribadi terbaru mereka, yakni seri Phenom dan Legacy yang dikabarkan cukup sukses.
Kabin Phenom 100
Boeing dan Airbus

Boeing dan Airbus memutuskan untuk tidak ikutan bermain di pasarannya Embraer dan Bombardier, yaitu jet regional. Keluarga pesawat terkecil mereka, 737 dan A320, paling kecil pun berkapasitas 110-120an penumpang, dan itupun terbilang berat. Semenjak 737-200, tidak ada yang bisa menggantikan pesawat ini bagi airline2 Indonesia, selain mungkin Embraer E-jets ini. 737-600 dan A318 sangat mahal (harganya yang termurah 51 jutaan USD, sementara E-jets termahal 39 juta USD).

Namun untuk proyek terbaru mereka, yakni Boeing Y-1 dan Airbus NSR, siapa yang bisa menebak?
 
All images are courtessy and follow term of use of embraer.com