KOMPAS, 17-09-1996. Halaman: 23

KALAU ditanyakan, apa beda instruktur Indonesia dengan instruktur asing, khususnya Amerika, agaknya jawaban yang keluar akan seragam. "Kedua instruktur punya kebiasaan sama, suka turun tangan," ujar para penerbang lulusan luar negeri sambil tertawa.

Instruktur terbang AS akan tanpa sungkan turun tangan, mendorong pesawat ke tempat aman untuk distart, juga melepas tali-tali ikatan ke landasan. Tetapi mereka santun dalam mengajar, menganggap siswa adalah kawan sendiri yang punya hak dan derajat sama dengan dirinya.

Instruktur Indonesia, tidak sedikit yang suka "turun tangan", memukul, menjewer atau mencubit dan memaki-maki siswa jika siswa melakukan kesalahan. "Pernah sepanjang perjalanan cross country telinga saya dijewer instruktur terus, kadangkala tengkuk saya dipukul," kata seorang penerbang tamatan domestik.

Menurut seorang instruktur, siswa perlu dikerasi agar pelajaran lebih cepat masuk, daripada meresap pelan-pelan. "Ini soal nyawa, lho," ujar seorang instruktur. Ia mengaku selalu membawa tongkat kecil saat ia mengajar siswa terbang dan kalau siswanya pulang dengan pegal-pegal, itu biasa.

Instruktur Amerika tanpa sungkan akan ikut melakukan preflight check, yaitu pemeriksaan pesawat sebelum diterbangkan. Pemeriksaan awal sangat perlu dan wajib dilakukan, sebab kekurangan atau kesalahan sekecil apa pun akan bisa berakibat fatal. Bukankah tidak mungkin berbuat apa-apa jika sudah mengudara kita tiba-tiba sadar bahwa oli mesin belum diisi, atau tangki bahan bakar ternyata kosong, atau pitot cover belum dibuka? Dengan pitot tertutup, pilot tak akan tahu berapa kecepatan pesawat, sehingga salah-salah ia bisa stall (jatuh).

Langit memang luas, tidak terbatas, tetapi tak boleh sedikit pun ada error atau kesalahan jika kita sudah melangit. Separuh lebih keselamatan penerbangan ada di tahap preflight check tadi, sehingga banyak pilot kawakan tak pernah mempercayakan preflight check kepada orang lain atau pada mekanik.
***

DI beberapa sekolah penerbangan asing, instruktur selalu menempatkan diri sebagai pelayan dari siswa dan mereka tak pernah merasa lebih hebat. Bukan suatu yang aneh jika instruktur justru menjemput siswanya untuk terbang sesuai jadwal hari itu, sementara si siswa masih enak-enak tidur.

Di Amerika, jarang ada instruktur tetap, bertahun-tahun atau belasan tahun jadi instruktur. Kebanyakan mereka menjadi instruktur hanya sebagai sasaran antara, batu loncatan untuk menambah jam terbang saja. "Instruktur yang baik tak pernah bertahan lebih dari dua tahun," ujar seorang pengelola sekolah penerbangan di AS.

Selama dua tahun itu mereka akan mengumpulkan jam terbang hingga 1.500 jam, lalu mengambil ujian ATPL (air transport pilot licence) dan bekerja di perusahaan penerbangan (airline). Kualifikasi ATPL harus ditempuh seorang pilot sebelum ia boleh terbang di perusahaan penerbangan sebagai kapten. "Mereka yang tetap sebagai instruktur - kecuali yang memang dikehendaki oleh sekolah itu - adalah mereka yang ditolak perusahaan penerbangan," katanya pengelola itu pula.

Karena sebagai batu loncatan saja, banyak instruktur yang rela dibayar murah, asal ia bisa menambah jam terbang (gaining hours). Beberapa sekolah terbang cuma membayar sekitar 600 dollar AS (kurang dari Rp 1,5 juta) untuk instruktur. Walau masih ditambah dengan enam dollar per jam terbang, paling banyak seorang instruktur cuma mendapat 1.500 dollar, jumlah yang sangat kecil untuk hidup di AS.

Di perusahaan penerbangan, gaji awal seorang pilot mencapai 2.500 dollar AS, yang terus naik sejalan dengan pengalaman yang ditandai dengan jumlah jam terbang, serta jenis pesawatnya. Makin besar pesawat - yang memerlukan jam terbang tinggi untuk rating-nya makin besa pula penghasilan pilotnya. Seorang pilot Boeing 737-200 di AS bisa mendapat sekitar 3.500 dollar AS atau lebih.

Instruktur terbang saya adalah seorang gadis, Heather Popio (24). Dalam waktu dekat ia akan meninggalkan Southwind untuk bekerja di perusahaan penerbangan. Ia yang tamatan program D4 penerbangan salah satu perguruan tinggi AS, sudah mengumpulkan lebih dari 1.200 jam terbang. "Jumlah itu cukup jika kita akan bergabung ke commuter airline," kata Heather.

Heather adalah idaman tiap siswa. Cantik, langsing, cara mengajar sangat sabar dan tenaganya kuat sekali. Seorang siswa (pria) Indonesia yang pernah diajarnya mengaku bahwa ia kalah kuat saat menginjak rudder agar pesawat tidak spin (berputar) saat dimatikan sebuah mesinnya.

Saya agak terkesima ketika dia mempersiapkan segala sesuatu sebelum terbang, mengisi log book, preflight check. Ia juga masuk ke kolong-kolong memeriksa kejernihan bahan bakar dan mendorong pesawat ke arah aman. Tidak cuma sekali, ia menjemput saya ke hotel pagi-pagi sekali untuk terbang.