Human factor (faktor manusia) maupun human error (kesalahan manusia) telah dibahas di berbagai forum dan tulisan. Di tulisan sebelumnya kita telah membahas Human factor analysis, dan sekarang kita membahas bagaimana mengendalikan human error. Karena cakupan area yang sangat luas dalam kesempatan ini kita akan membahas hanya dalam lingkup flight operations. Selagi masih ada keterlibatan manusia dalam aktifitas penerbangan, maka human error akan selalu ada. Oleh karena itu dunia penerbangan saat ini terus-menerus mencari solusi supaya tingkat keselamatan penerbangan semakin baik. Sampai dengan saat ini human error paling tidak bisa dikendalikan dengan menerapkan tiga strategi  yaitu:

1.            Crew Resources Management (CRM)

Human factor training sudah menjadi suatu mandatory requirement (persyaratan mutlak) bagi personel yang terlibat dalam aktifitas penerbangan. Pelatihan ini harus diulangi (refreshed) dalam jangka waktu tertentu. CRM adalah management human factor yang diterapkan pada flight operations crew , awak pesawat. Di dunia maintenance pelatihan ini sering disebut HFAM (Human factor in Aircraft Maintenance). Pada CRM modern, human error adalah sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan dan sifat manusia yang sulit untuk dihindari tetapi harus dilawan (counter-measure) dengan tiga perlawanan (Helmreich et al, 1999), yaitu:

  • Avoidance: Yaitu mencoba untuk menghindari error sekuatnya dengan cara tidak mengoperasikannya.
  • Trapping: Memerangkap error sedini mungkin sebelum timbul bahaya.
  • Mitigation: Mitigasi akibat dari error yang terjadi dan error yang mungkin tidak terperangkap.

2.            Line Operation Safety Audit (LOSA)

LOSA telah diberlakukan oleh ICAO sejak 1999. LOSA dipercaya sebagai alat utama untuk mengendalikan human error. LOSA biasanya dilakukan oleh seorang observer (auditor) yang duduk di jump seat di belakang penerbang selama penerbangan. Tugasnya mengamati awak pesawat bagaimana sikap mereka dalam menerapkan strategi untuk mengendalikan threat/ error.

Auditor tidak mencari kesalahan yang dilakukan oleh awak pesawat  selama penerbangan. Observasi ini dilakukan dengan jaminan bahwa awak pesawat  tidak akan di kenakan tindakan apapun dari perusahaan mengenai apa yang telah dilakukan atau diamati oleh auditor selama penerbangan. Document LOSA bisa ditemukan di ICAO Doc. No 9803.

3.            Threat and Error Management (TEM)

Sebelum kita bahas mengenai control  strategy, ada baiknya kita ketahui definisi dari “threat”, “error” dan akibat terburuk dari kedua hal tersebut yaitu “undesirable aircraft state”:

  • Threat: Ancaman yang bisa berupa event (peristiwa/kejadian) atau error yang terjadi bukan karena awak pesawat . Threat ini meningkatkan kompleksitas operasi penerbangan, dan memerlukan perhatian awak pesawat  untuk mempertahankan keselamatan suatu penerbangan.
  • Error: Suatu tindakan lambat atau kurang tepat dari awak pesawat  yang menimbulkan suatu penyimpangan dari maksud dan tujuan. Error mengakibatkan berkurangnya tingkat keselamatan dan operasi suatu penerbangan baik di darat maupun saat di udara.
  • Undesirable aircraft state: Suatu error yang tidak di manage dengan baik yang bisa menimbulkan suatu peristiwa yang membahayakan keselamatan penerbangan. Contoh yang nyata adalah posisi, kecepatan, altitude dari suatu pesawat yang diakibatkan dari error oleh awak pesawat baik salah bertindak atau lambat ambil tindakan yang mengancam keselamatan penerbangan.

 

Error Control Strategy

Keselamatan penerbangan yang terus-menerus berevolusi memberikan peningkatan kearah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sebagai salah satu dari tiga penyebab kecelakaan, human error, telah dikendalikan dan dikurangi supaya tidak menimbulkan ancaman bagi keselamatan penerbangan. Setidaknya ada 2 control strategy yang ada pada penerbangan modern saat ini:

1.            Hardware: (Engineering based tool) merupakan perangkat yang terpasang di pesawat untuk mengendalikan error. Contohnya seperti cockpit automation, instrument/ warning display. Alat TAWS (Terrain Awareness Warning System) atau nama lainnya E/GPWS (Enhance/Ground Proximity warning Systems) adalah sebuah contoh kongkrit. Alat ini akan memberikan peringatan saat pesawat mendekati daratan dengan memberikan peringatan audio dan visual agar pilot melakukan tindakan untuk mengoreksi. Stall warning juga termasuk dalam contoh ini.

Walaupun demikian, perangkat perangkat otomatis yang canggih bukan berarti selalu aman. Pada awal perkembangan teknologi microprocessor di pesawat terbang 3 dekade lalu banyak alat yang bertujuan membuat perangkat cockpit dioperasikan secara otomatis. Hal ini justru berakibat pada bertambahnya kompleksitas suatu sistem (njlimet).

Ada dua kesalahan dalam tujuan ini, yang pertama adalah alangkah tidak amannya suatu sistem bila benar benar dioperasikan secara otomatis. Sistem tersebut hendaknya di set-up dan dioperasikan oleh manusia.

Yang kedua, jika sistem ini ‘fail’ maka di perlukan manual mode yang memungkinkan manusia untuk mengambil alih pada saat terjadi deviasi. Hal ini disadari oleh para design engineer yang berprinsip bahwa efek human factor di cockpit bisa dibuat seaman mungkin dengan menawarkan sebuah simplification to automation. Bahasa daerahnya, kalo ada yang sederhana dan aman kenapa harus otomatis tapi njlimet dan was-was. Sehingga pada akhirnya dilakukan perbaikan pada sistem generasi selanjutnya. Contoh nyata hal ini ada pada dua produsen Airbus dan Boeing.

Berbeda dengan Boeing, pada FMS generasi awal yang terpasang di Airbus bisa dibilang tidak memerlukan process approval step by step pada saat pengoperasiannya. Tidak ada campur tangan pilot untuk mengoreksi apabila ada deviasi. Ketika automation berjalan melenceng tanpa sepengetahuan awak pesawat  ternyata akan mungkin mengakibatkan kondisi yang serba terlambat untuk mengatasinya.

Namun hal ini dijadikan perbaikan oleh Airbus pada FMS generasi berikutnya.

 

2.            Software: (Administrative) yang melingkupi checklist, rule/ regulation, prosedur, yang mengarahkan awak pesawat  member untuk mengambil langkah preventif dalam suatu kondisi.

Awak pesawat  dengan pesawat yang bersistem otomatis cenderung pasrah dengan peralatan tersebut. Konsekuensi dari sistem dengan teknologi otomatis ini adalah dibutuhkannya awak pesawat  yang menguasai pengoperasian alat tersebut dengan sebaik baiknya.

Di samping itu, komunikasi verbal saat ini juga menjadi bagian yang paling lemah dalam sistem pesawat modern. ASRS (Aviation Safety Reporting System) mencatat 70 persen dari laporan yang masuk berhubungan dengan masalah oral communication baik terjadi di cockpit maupun dari ground ke cockpit. Salah satu dari penyebab permasalahan ini adalah pelanggaran terhadap ‘Sterile Cockpit Rule’ di mana pilot seharusnya konsentrasi dan tidak seharusnya membicarakan hal hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya pada saat kritis yaitu taxi, take off, landing, dan saat di bawah 10.000 feet kecuali pada saat cruising, atau ketinggian jelajah. 

Dengan CRM, LOSA dan TEM, pelatihan konsep pada awak pesawat  di modern airlines sekarang ini perlu ditekankan pengoperasian dan penguasaan/communication skill pada teknologi mutakhir untuk menghindari atau memerangkap human error secara keseluruhan sehingga konsekuensi yang lebih buruk bisa dihindari.