Pada tanggal 25 Februari 2009, sebuah pesawat Boeing 737-800 Turkish Airlines jatuh sesaat sebelum mendarat di Polderbaan Airport, Amsterdam dengan korban 9 orang meninggal dan 86 orang terluka. Hanya sekitar seminggu kemudian, pada tanggal 4 Maret 2009, Badan Keselamatan Belanda, mengeluarkan Press Release yang berisi kejadian kecelakaan tersebut. Kesigapan ini patut ditiru oleh badan penerbangan terkait di Indonesia.  

Radio Altimeter disebut sebagai sebuah faktor penyebab terjadinya kecelakaan dalam Press Release tersebut.
 
Kemudian pada tanggal 28 April 2009, dikeluarkan laporan awal dari kecelakaan tersebut yang belum merupakan laporan kesimpulan dari apa yang terjadi tapi sudah dapat memberikan gambaran mengapa kecelakaan tersebut terjadi.

Dalam artikel ini kami mencoba menterjemahkan dan menerangkan laporan awal dari The Dutch Safety Board yang dokumen aslinya dalam bahasa Inggris dapat diunduh di:
 http://www.onderzoeksraad.nl/docs/rapporten/Prelimenary_EN.pdf

Penterjemahannya dilakukan secara bebas untuk memudahkan pengertian masyarakat yang awam penerbangan. Untuk pembaca yang familiar dengan istilah penerbangan dapat membaca laporan aslinya di tautan di atas.
Karena sifatnya yang berupa laporan awal maka isi informasinya masih mungkin berubah atau dikoreksi berdasarkan penemuan lain yang mungkin masih akan ditemukan selama penyelidikan tentang kecelakaan ini masih dilakukan.

Data Kecelakaan
Tipe dan registrasi pesawat : Boeing 737-800, TC-JGE
Jumlah dan tipe mesin : 2 buah CFM-56-7B26 turbofan engines
Tahun pembuatan : 2002
Waktu : 25 February 2009, pukul 10:26
Lokasi : 1,5 km Sebelah utara runway 18R “Polderbaan” Amsterdam Airport Schiphol
Tipe penerbangan : Komersial (penumpang)
Isi Pesawat : 7 Awak - 128 penumpang
Meninggal : 4 Awak - 5 penumpang 
Terluka : 3 Awak - 83 penumpang 
Kerusakan : Pesawat hancur

Semua waktu dinyatakan dalam waktu setempat kecuali jika dinyatakan lain.

Penyelidikan
Pada tanggal 25 Februari 2009, sekitar pukul 11:00, Badan Keselamatan Belanda diberitahu bahwa sebuah Boeing 737-800 of Turkish Airlines jatuh di dekat Polderbaan, landasan 18R, di bandar udara Schipol, Amsterdam pada pukul 10:26. Penyelidikan langsung dilaksanakan pada saat itu juga.
 
Berdasarkan pada perjanjian internasional dan pedoman yang dimiliki (terutama di antara Uni Eropa dan International Civil Aviation Organization) maka dilakukan kontak dengan negara-negara yang terlibat, dalam hal ini Turki sebagai negara tempat pesawat diregistrasi dan negara operator, Amerika Serikat sebagai negara tempat pesawat dibuat dan Perancis sebagai negara tempat mesin pesawat dibuat. Badan-badan yang terlibat adalah Dirjen Penerbangan Sipil Turki (Turkish Directorate General for Civil Aviation), the Dutch Transport and Water Management Inspectorate , National Transportation Safety Board (badan keselamatan transportasi) dari Amerika Serikat, perusahaan operator, pabrik pesawat dan pabrik mesin pesawat juga menghubungi The Dutch Safety Board.  
 
The British Air Accident Investigation Branch (badan penyelidik kecelakaan udara Inggris) dan ‘Bureau d’Enquetes et d’Analyse pour la Sécurité de l'Aviation’ dari Perancis juga menawarkan diri untuk ikut membantu dalam penyellidikan ini. Atas permintaan The Dutch Safety Board, perwakilan dari perkumpulan penerbang dan awak kabin juga ikut ambil bagian dalam penyelidikan.

Sejarah penerbangannya
Pesawat Boeing 737-800 tersebut berangkat dari Istanbul International Ataturk Airport, Turki, untuk sebuah penerbangan ke Amsterdam Airport Schiphol, Belanda. Awak penerbangan terdiri dari 3 orang, di kursi kiri seorang line training Captain (kapten instruktur terbang), seorang First Officer/kopilot yang sedang menjalani pelatihan (LFUS, line flight under supervision) di kursi kanan dan seorang First Officer tambahan yang duduk di kursi jumpseat (kursi ekstra) di kokpit. Penerbang ketiga yang ada di kokpit adalah seorang safety pilot. Dia akan segera menggantikan penerbang kedua yang sedang dalam masa pelatihan jika terjadi keadaan darurat atau dalam keadaan jarak pandang yang rendah untuk mendarat. Penerbang yang masih dalam training tidak diperbolehkan untuk menerbangkan pesawat dengan jarak pandang yang rendah.

First Officer yang sedang training tersebut adalah Pilot Flying (penerbang yang menerbangkan pesawat) sedangkan Captain, instruktur, adalah Pilot Non-flying (penerbang yang mengerjakan pekerjaan selain terbang, misalnya komunikasi radio). Penerbangan berjalan normal sampai memasuki ruang udara Belanda.

Pesawat diarahkan oleh ATC (Air Traffic Controller) ke landasan 18R untuk menjalankan pendaratan dengan bantuan ILS (Instrument Landing System). Awak pesawat melakukan pendekatan (approach) dengan satu dari dua autopilot (autopilot B) dan dengan menggunakan autothrottle.

Autothrottle adalah sistem untuk mengatur tenaga pesawat secara otomatis. Penerbang hanya perlu memberi tahu kecepatan yang diinginkan ke komputer dan komputer akan mengatur tenaga mesin untuk menerbangkan pesawat dengan kecepatan yang diinginkan. Sistem ini pada dasarnya mirip dengan cruise control yang ada di mobil mewah yang bisa menjalankan mobil dengan kecepatan yang diinginkan tanpa harus menginjak pedal gas.
 
Prosedur standar untuk mendekati landasan 18R adalah dengan meluruskan pesawat dengan landasan pada jarak 8 nm (nautical mile. 1 nm=1,852 km) dari ujung landasan pada ketinggian 2000 kaki.  ATC boleh untuk menawarkan penerbang untuk masuk ke garis lurus tersebut pada jarak antara 5 nm sampai 8 nm dari landasan. Pada penerbangan ini ATC memberi clearance (perintah/ijin) untuk penerbang agar pesawat dapat masuk ke garis lurus tersebut pada jarak 6 nm dengan ketinggian 2000 kaki.

Pesawat turun ke ketinggian 2000 kaki dan di vector (diarahkan oleh radar ATC) ke localiser. Localiser adalah radio pemancar yang ada di landasan yang membimbing pesawat untuk berada di garis lurus dengan landasan. Roda pendarat dikeluarkan dan flaps 15 di set oleh penerbang.

Sistem autothrottle menerima informasi ketinggian dari radio altimeter yang sebelah kiri pada waktu approach dan landing. Ada dua radio altimeter. Kanan dan kiri atau nomor 1 dan nomor 2. Radio altimeter adalah alat yang mengukur ketinggian roda pendarat dari daratan dengan cara memancarkan sinyal radio ke daratan dan menghitung pantulannya. Sistem ini mirip sistem sonar pada kapal selam.

Radio altimeter tidak bekerja pada waktu pesawat terbang tinggi dan mulai aktif pada saat turun untuk mendarat. Nilai yang terrekam pada  DFDR (Digital Flight Data Recorder) adalah 8191 kaki. Ini adalah ketinggian di mana radio altimeter menjadi aktif. Pada waktu aktif inipun, indikasi ketinggian belum ditampilkan di layar navigasi penerbang. Nilai ketinggian yang dideteksi oleh radio altimeter ditampilkan di layar kokpit pada saat pesawat berada pada ketinggian 2500 kaki di atas permukaan tanah.  
 
Ketika pesawat terus turun di bawah 8191 kaki, rekaman menunjukkan nilai yang berada tetap pada 8191 kaki. Pada saat pesawat berada pada ketinggian sekitar 1950 kaki, tiba-tiba rekaman menunjukkan nilai -8 kaki (8 kaki di bawah permukaan) dan tetap di nilai tersebut sampai sesaat sebelum benturan.
 
Berdasarkan data yang direkam oleh cockpit voice recorder (perekam suara/percakapan di kokpit), terdengar beberapa bunyi peringatan karena konfigurasi pesawat tidak dalam konfigurasi untuk mendarat (contohnya flaps untuk landing tidak sesuai, landing gear (roda pendarat) belum turun dll) pada saat pesawat sudah memasuki ruang udara Belanda. Gunanya bunyi peringatan ini adalah untuk mengingatkan awak pesawat untuk memeriksa bahwa konfigurasi pesawat sudah benar untuk melakukan pendaratan. Peringatan pertama bahwa konfigurasi pesawat tidak pada konfigurasi mendarat, terdengar pada saat pesawat berada di atas Flevoland, padahal pesawat masih ada di ketinggian yang cukup tinggi.

Kemudian pada waktu persiapan pendaratan/approach, bunyi peringatan ini terdengar beberapa kali. Suara peringatan tersebut berbunyi karena sistem komputer pesawat menerima data dari radio altimeter yang mengira pesawat sudah dekat dengan daratan.  
 
Penyebab suara peringatan itu berbunyi dan reaksi awak pesawat masih dalam penyelidikan.

Sementara itu, nilai dari radio altimeter yang kanan dan altimeter (penunjuk ketinggian pesawat) menunjukkan indikasi yang benar. Pada waktu melakukan approach kecepatan pesawat sekitar 144 knots. Pada waktu memasuki sinyal glide slope kecepatan pesawat adalah 160 knots.

Glide slope adalah sinyal radio di landasan yang bersama-sama dengan sinyal localiser membuat ILS (Instrument Landing System). Kalau localiser gunanya adalah meluruskan pesawat dengan landasan secara horisontal, maka glide slope akan memandu pesawat untuk turun dengan sudut tertentu. Biasanya sudut ini adalah 3°. Jadi dengan mengikuti sinyal ILS ini, pada saat yang sama pesawat dipandu oleh 2 sinyal untuk lurus dengan landasan dan turun perlahan-lahan dengan sudut 3°.

Menurut data di radar ATC, pesawat masuk di sinyal localiser pada jarak 5.5 nm dari ujung landasan. Ini mengakibatkan pesawat berada di atas sinyal glide slope. Untuk masuk ke sinyal glide slope, penerbang "memaksa" pesawat untuk turun dengan lebih cepat yaitu dengan kecepatan vertikal 1400 kaki permenit. Menurut pengalaman penulis, jika pesawat berada tepat di glide slope, maka kecepatan vertikal normal adalah sekitar 600-800 kaki per menit.
 
Karena menambah kecepatan vertikal dengan meluncur menundukkan pesawat , maka kecepatan pesawat bertambah dan autothrottle memerintahkan mesin untuk masuk ke retard mode (seperti idle, atau tidak memberikan tenaga), padahal seharusnya mode retard ini bekerja pada waktu flare (menaikkan hidung pesawat waktu mendarat) sesaat sebelum menyentuh landasan. Pada saat ini kecepatan pesawat menjadi 165 knots.

Pada ketinggian sekitar 1330 kaki pesawat sudah berada pada sinyal glide slope sehingga pesawat sudah berada pada posisi yang tepat dan tidak perlu dipaksa turun. Pada saat ini kecepatan pesawat berkurang karena kecepatan vertikal yang tadinya 1400 kaki per menit sudah menjadi normal antara 600-800 kaki permenit.

Pada ketinggian 900 kaki, flaps dipindahkan ke flaps 40 dan kecepatan pesawat makin berkurang. Sekitar 770 kaki, penerbang menyetel kecepatan pesawat di auto pilot secara manual  ke 144 knots. Pada saat itu kecepatan pesawat adalah 144 knots.

Seharusnya autothrottle akan menjaga kecepatan pesawat di 144 knots, tapi karena tuas throttle ada di posisi idle dan sistem autothrotle masih di retard mode maka kecepatan pesawat makin berkurang. Hal ini karena pesawat mengira sudah dekat dengan daratan, karena indikasi menunjukkan ketinggian -8 kaki!.

Di sisi lain, autopilot menahan pesawat untuk tetap menjaga sinyal glide slope. Keadaan ini tidak wajar, karena dengan menjaga posisi pesawat pada glide slope, pesawat butuh tenaga dari mesin. Sedangkan autothrottle yang mengendalikan mesin tidak menambah tenaga tapi tetap berada pada mode retard (idle). Sehingga yang terjadi kecepatan pesawat makin berkurang dan di saat yang sama hidung pesawat makin dinaikkan oleh autopilot untuk menjaga ketinggian di sinyal glide slope.

Indikasi awal akan adanya stall  (jatuh karena kecepatannya terlalu rendah) terjadi di ketinggian 460 kaki, oleh sistem komputer yang menggetarkan batang kemudi, memperingatkan penerbang bahwa sudut hidung pesawat terlalu tinggi. Getaran batang kemudi ini di sebut stick shaker, untuk memperingatkan penerbang akan gejala stall.
 
Data di DFDR menunjukkan bahwa thrust lever (batang pengendali throttle) digerakkan ke depan untuk menambah tenaga, tapi kembali lagi ke posisi idle. Pada waktu kembali ke idle, sistem autothrottle dimatikan. Apakah gerakan thrust lever ini digerakkan oleh penerbang atau oleh sistem autothrottle, hal ini masih dalam penyelidikan.
 
Pada saat ini kecepatan pesawat sudah tinggal sekitar 110 knots, hidung pesawat mendongak sekitar 11° dan angle of attack sekitar 20°.

Di ketinggian 420 kaki, autopilot dimatikan oleh penerbang dan dia mencoba untuk mengembalikan posisi pesawat dengan menurunkan sudut hidung pesawat. Pada 310 kaki, hidung pesawat mengarah 8° ke bawah. Pada waktu yang hampir bersamaan thrust lever juga didorong ke depan untuk menambah tenaga secara maksimal setelah pesawat agak naik dan hidung pesawat juga sudah agak naik.

Posisi terakhir pada saat rekaman berakhir adalah hidung pesawat mendongak 22° ANU (Aircraft Nose Up) dan sayap kiri turun 10°.
 
Kondisi cuaca:
  • angin dari 200 derajat dengan kecepatan 10 knots;
  • jarak pandang 4500 m dengan penurunan sementara 2500 meter;
  • awan scattered pada 700 kaki, broken di 800 kaki, dan overcast di 1000 kaki;
  • suhu 4° Celsius dan suhu 3° Celsius;
  • tekanan udara 1027 hPa.

Data dari  data recorders
Pesawat ini dilengkapi dengan DFDR yang bekerja selama 25 jam dan 2 jam untuk cockpit voice recorder. DFDR memiliki lebih dari 1000 parameter yang direkam. Selain dari kecelakaan tersebut, data dari 9 penerbangan sebelumnya juga terrekam.

Data dari DFDR menyatakan bahwa kedua mesin bereaksi normal terhadap masukan dari penerbang ataupun komputer selama seluruh penerbangan. Tinjauan awal dari rekaman data penerbangan menunjukkan bahwa pesawat juga memberi respon yang normal selama approach.

Hasil rekaman data di cockpit voice recorder berkualitas baik dan masih diselidiki.  

Penyelidikan teknis
Tempat kecelakaan
Pesawat jatuh 1.5 nm di tanah pertanian sebelah utara dari ujung landasan 18R. Panjang bekas jatuhnya di tanah adalah sekitar 100 meter dan membujur ke arah 160°

Bekas awal jatuhnya konsisten dengan bentuk bagian belakang dari badan pesawat. Horizontal stabilizer dan roda pendarat utama terpisahkan dari pesawat dan ada di dekat titik jatuh awal.
Mesin kiri dan kanan terlepas dari pesawat dan ditemukan cukup jauh dari pesawat.  

Bagian belakang pesawat dengan vertical stabilizer, rusak dari mulai bagian depan pintu belakang pesawat. Badan pesawat hancur di sebelah kanan depan sayap. Bagian depan pesawat yang berisi kokpit dan kursi baris 1 sampai 7, jelas-jelas hancur. Bagian belakang pesawat hancur sekitar baris 28.

Semua bagian utama pesawat ditemukan dan tidak ada bukti pesawat hancur di udara. Sejumlah besar bahan bakar masih ada di kedua tanki pesawat dan tidak ada bukti bahwa kedua tanki tersebut hancur.

Tidak ada bukti pesawat meledak. Tidak ada tanda-tanda pesawat terbakar.

Penerbangan sebelumnya
Data penerbangan dari sembilan penerbangan sebelumnya tetap diperiksa. Data menunjukkan contoh-contoh bahwa radio altimeter yang kiri tidak berfungsi normal pada beberapa dari sembilan penerbangan tersebut.  
Di dua kasus yang terrekam tersebut, autothrottle juga memasuki mode retard di atas ketinggian untuk melakukan flare, dan thrust lever bergerak ke arah idle.

Sistem Autothrottle
Sistem Autothrottle menggerakkan thrust lever sehingga tenaga mesin sesuai dengan yang diinginkan oleh penerbang. Thrust lever itu sendiri dapat digerakkan secara manual oleh penerbang kapan saja dibutuhkan. Dalam kasus ini, sistem Autothrottle tidak menjaga kecepatan 144 knots yang diinginkan.

Radio altimeters
Dua buah sistem low range radio altimeter (LRRA) memberikan informasi ketinggain di atas daratan kepada bermacam-macam sistem pesawat termasuk display (layar instrumen), sistem autothrottle, kedua autopilot dan sistem peringatan konfigurasi pesawat dan Ground Proximity (komputer pendeteksi jika pesawat mendekati daratan dengan tidak normal).

Masing-masing sistem radio altimeter terdiri dari tranceiver dan antena yang terpisah untuk transmitter dan receiver.
 
Antenanya terpasang di bagian bawah pesawat. Ketinggian di atas darat ditentukan dengan waktu yang diperlukan oleh sinyal radio yang dipancarkan oleh transmitter pada waktu kembali diterima oleh receiver.
 
Radio altimeter yang kanan memberikan indikasi yang benar di layar tampilan First Officer, dan radio altimeter yang kiri memberikan ketinggian -8 kaki di layar display kapten.
Data ini biasanya digunakan sebagai input pada sistem automatik pesawat dan diharuskan untuk ILS cat II dan cat III. Penerbang biasanya tidak menggunakan informasi ini tapi menggunakan informasi ketinggian dari pressure altimeters. Secara umum penerbang menggunakan informasi radio altimeter ini sesaat sebelum mendarat sebagai tambahan informasi dari pressure altimeter.

Survivability factors
Pesawat dilengkapi dengan 4 buah pintu kabin dan 4 buah pintu di atas sayap. Penyelidik dari Dutch Safety Board menemukan bahwa kedua pintu di atas sayap kanan terbuka dan juga pintu di atas sayap kiri yang bagian depan. Juga pintu utama di depan. Tidak ada slide yang terbuka (alat untuk meluncur turun dari pintu). Sebagian besar kursi-kursi di kelas ekonomi masih tertambat di jalurnya. Lantai di kabin bagian belakang sudah berubah bentuk. Kerusakan kabin yang paling banyak ditemukan di kelas bisnis.

Tidak ada bukti adanya api atau asap di kabin.  Pintu antara kokpit dan kabin terbuka sebagian. Bagian interior kokpit rusak berat.

Air Traffic Control
Pesawat di depannya
Sewaktu di posisi final approach, pesawat sebelumnya adalah Boeing 757 yang tergolong sebagai heavy aircraft untuk wake turbulencenya (putaran angin di ujung sayap yang membahayakan pesawat di belakangnya. Untuk menghindari wake turbulence antara heavy (B757) dan medium (B737) aturan internasional dan aturan setempat mengharuskan jarak minimum 5 NM. Menurut data rekaman radar, pada saat itu jarak antara B757 dengan pesawat tersebut adalah 6,5 nm.

Instrument landing system
ILS (instrument landing system) dari landasan 18R pada waktu itu adalah CAT III. Data dari Remote Monitoring and Control System mengindikasikan operasi yag stabil dan tidak ada penyimpangan dari sistem pendarat yang dipasang di dekat landasan tersebut.

Komunikasi
Komunikasi Air traffic control dengan pesawat tidak menunjukkan keanehan di pesawat. ATC yang bertugas pada Tower West memberikan ijin mendarat pada pukul 10:25. Sesaat kemudian pesawat menghilang dari radar. Dia tidak melihat pesawat baik di radar maupun secara visual. Kemudian dia menyalakan alarm. Tidak ada panggilan darurat (distress call) yang diterima oleh ATC. Tempat jatuhnya pesawat tidak terlihat dari menara ATC.

Search and rescue
Pengelola bandar udara segera mengaktifkan strategi reaksi darurat sesuai dengan prosedur. Laporan dari saksi mata membantu regu penolong untuk mendapatkan lokasi dan operawsi penyelamatan segera dilakukan. Korban yang masih bertahan langsung dikirim ke fasilitas medis untuk perawatan setelah diperiksa oleh personel medis.

Peringatan keamanan
The Dutch Safety Board mengeluarkan peringatan ke Boeing untuk memberi perhatian ekstra pada sebuah bagian dari buku manual DDL (Dispatch Deviation Guide). Dalam buku ini dinyatakan jika salah satu radio altimeter tidak bekerja, maka sistem auto pilot dan autothrottle yang terkait tidak dapat digunakan untuk approach dan landing.
Boeing langsung mengeluarkan 'Multi Operator Message’ (MOM) hari itu juga tentang kerusakan radio altimeters.