Oleh
DR.H.K.Martono SH LLM 1
DR.H.K.Martono SH LLM 1
1.Pendahuluan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan2 disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 17 Desember 2008 dan ditanda tangani pada tanggal 12 Januari 2009. UURI No.1/2009 tersebut sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena sebagai dasar hukum telah mengatur secara komprehensif:
- pengadaan pesawat udara sebagaimana terdapat dalam konvensi Cape Town 2001,
- prinsip ekstra teritorial,
- kedaulatan atas wilayah udara Indonesia,
- pelanggaran wilayah kedaulatan,
- produksi pesawat udara,
- pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
- kelaikudaraan,
- pengoperasian pesawat udara,
- keselamatan penerbangan,
- keamanan penerbangan di darat maupun dalam pesawat udara,
- asuransi pesawat udara,
- independensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
- pembentukan majelis profesi penerbangan,
- lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU),
- berbagai jenis angkutan udara baik niaga dalam negeri maupun luar negeri,
- angkutan udara bukan niaga (general aviation),
- perlindungan pengguna jasa transportasi udara,
- hak-hak dan kewajiban pengguna jasa transportasi udara,
- persyaratan perusahaan penerbangan baik manajemen, operasional, teknologi maupun permodalan, mayoritas saham (single majority), jaminan bank (bank guarantee), kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, komponen tarif, biaya tambahan (surcharge), pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability),
- tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi,
- sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara otoritas bandar udara (airport authority), pelayanan bandar udara,
- navigasi penerbangan,
- fasilitas navigasi penerbangan,
- keamanan penerbangan,
- lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider),
- penegakan hukum,
- penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur,
- budaya keselamatan penerbangan,
- penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional,
semuanya dimaksudkan sebagai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis penulis berpendapat bahwa jiwa dari UURI No.1/2009 bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas, tidak tumpang tindih, transparan. Secara umum UURI No.1/2009 ini mengalami perubahan yang signifikan, dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya, sebab konsep semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Artikel ini bermaksud menguraikan UURI No.1/2009 dari sisi bandar udara khususnya mengenai pengoperasian, fasilitas, personel bandar udara, kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara, pengusahaan di bandar udara, pelayanan dan fasilitas khusus, tanggung jawab dan ganti kerugian, tarif jasa kebandarudaraan, bandar udara khusus, tempat pendaratan dan lepas landas helikopter, bandar udara internasional, dan penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara, namun demikian sebelum menguraikan hal tersebut, lebih dahulu dijelaskan pemisahan antara regulator dengan operator sebagai berikut.
2.Pemisahan Regulator Dengan Operator
Penulis berpendapat tampaknya suasana kebatinan UURI No.1/2009 adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Dengan pemisahan tersebut masing-masing mempunyai peran yang jelas, terpisah, tidak tumpang tindih, transparan. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, semua kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bilamana boleh meminjam istilah dalam UURI No.5/19603, perkataan “menguasai” berarti negara berwenang “mengatur” penggunaan atau kemanfaatan “kegiatan yang menguasai orang banyak” Berdasarkan kewenangan tersebut, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kewenangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, memisah-misahkan kegiatan-kegiatan yang menguasai hidup orang banyak yang dilakukan oleh regulator atau oleh operator, agar regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak sebagai regulator. Kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi tidak menguntungkan, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini unit penyelenggara pemerintah yang merupakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation), sedangan kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi menguntungkan, maka diserahkan kepada operator baik milik negara maupun swasta yang merupakan pelayanan keikut sertaan swasta (private service participant) dengan memungut biaya dari penerima jasa yang diterima, sedangkan kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat membiayai diri (cost recovery) dapat diselenggarakan oleh badan tertentu (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh badan tersebut.
Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang sudah ada.
Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah
Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang sudah ada.
Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan,
(c) kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa,
sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) ciri-cirinya adalah
(a) kegiatan tersebut menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut menguntungkan,
(c) kegiatan tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN),
(d) pemberi pelayanan boleh memungut keuntungan dari penerima layanan,
(e) pemberi pelayanan bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi,
(g) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela.
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaik dan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaik dan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, tetapi mampu membiayai diri sendiri (cost recovery),
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut memungut biaya dari penerima jasa layanan sesuai dengan kebutuhan teknologi,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Bilamana kriteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah
Bilamana kriteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah
(a) mengutamakan keselamatan penerbangan,
(b) tidak berorientasi pada keuntungan,
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) biaya yang dipungut dikembalikan kepada penerima jasa pelayanan,
(e) berdasarkan teori iure imperium, pemberi pelayanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Berdasarkan kriteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator berbentuk BLU dan PT sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh operator dalam bentuk BLU, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati, secara teoritis ada ketidak adilan bilamana mereka tidak menikmati jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai.
3.Pengoperasian Bandar Udara 4
Pengoperasian bandar udara diatur dalam Pasal 217 dan 218 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur persyaratan sertifikat bandar udara, register bandar udara beserta sanksi pelanggarannya. Menurut Pasal 217 UURI No.1/2009 tersebut setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara. Bilamana bandar udara tersebut telah memenuhi keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan dan pelayanan jasa bandar udara, maka Menteri Perhubungan akan memberikan (a) sertifikat bandar udara atau (b) register bandar udara.
Sertifikat bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara dengan kapasitas pesawat udara yang lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas pesawat udara lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, sedangkan register bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas pesawat udara maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat pesawat udara maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.
Persyaratan untuk memperoleh sertifikat bandar udara berbeda dengan persyaratan untuk memperoleh register bandar udara. Persyaratan yang pertama, sertifikat bandar udara adalah setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang telah memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas,
(c) prosedur operasi bandar udara, dan
(d) sistem manajemen keselamatan operasi penerbangan,
sedangkan untuk memperoleh register bandar udara yang diberikan oleh Menteri Perhubungan, setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas, dan
(c) prosedur operasi bandar udara.
Setiap orang yang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan dipidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah),dalam hal menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar), bilamana menyebabkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar)5, sedangkan setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, penurunan tarif jasa bandar udara, dan/atau pencabutan sertifikat6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara, dan pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
4.Fasilitas Bandar Udara
Fasilitas bandar udara diatur di dalam Pasal 219 sampai dengan Pasal 221 UURI No.1/2009. Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang diberikan sertifikat fasilitas bandar udara oleh Menteri Perhubungan. Sertifikat tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, varifikasi dan/atau kalibrasi fasilitas bandar udara untuk mempertahankan (sustainability) kesiapan fasilitas bandar udara7, sedangkan untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personelnya, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.
Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara yang tidak menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan serta pelayanan jasa bandar udara, melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi dan/atau kalibrasi, tidak meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel8, dan pengoperasian bandar udara yang tidak dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial bidang teknis dan/atgau operasi bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa (a) peringatan, (b) pembekuan sertifikat, dan/atau pencabutan sertifikat bandar udara9, Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur penggunaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
5.Personel Bandar Udara 10
Personel bandar udara diatur di dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 225 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kewajiban, persyaratan personel, lisensi bandar udara yang diberikan oleh negara lain dan sanksi administratif. Menurut Pasal 222 UURI No.1/2009 setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi11 atau sertifikat12 kompetensi. Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara13 wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
Lisensi tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) administratif,
(b) sehat jasmani dan rohani,
(c) memiliki kompetensi di bidangnya, dan
(d) lulus ujian.
Sertifikat kompetensi di bidangnya diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Menter Perhubungan14
Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib
(a) melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya,
(b) mempertahankan (sustainability) kemampuan yang dimiliki, dan
(c) melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Personel bandar udara yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompentensi dikenakan sanksi administratif berupa
(a) peringatan,
(b) pembekuan lisensi, dan
(c) pencabutan lisensi15.
Menurut Pasal 224 lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri Perhubungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri16
6.Kegiatan Pemerintahan dan Otoritas Bandar Udara 17
Kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara18 diatur dalam Pasal 226 sampai dengan 231 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan, kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan dan otoritas bandar udara. Menurut Pasal 226 mengatakan kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan dilakukan oleh otoritas bandar udara, sedangkan fungsi kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan19
Menurut Pasal 227 UURI No.1/2009, Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi20 dengan pemerintah daerah.
Menurut Pasal 227 UURI No.1/2009, Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi20 dengan pemerintah daerah.
Otoritas bandar udara di samping mempunyai tugas membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara sebagaimana, juga mempunyai tugas dan tanggung jawab
(a) menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(b) memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(c) menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara,
(d) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya,
(e) melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara,
(f) melaporkan pelaksaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri Perhubungan.
Otoritas bandar udara yang dibentuk oleh Menteri Perhubungan tersebut mempunyai wewenang
(a) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara yang bersangkutan,
(b) mengatur, mengendalikan dan mengawasi palaksanaan ketentuan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan di bandar udara yang bersangkutan,
(c) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan pelestarian lingkungan,
(d) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara,
(e) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udar serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara,
(f) mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara, dan
(g) memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskan bahwa aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kretaria yang ditetapkan Menteri Perhubungan yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan.
7. Pengusahaan di Bandar Udara
Pengusahaan di bandar udara diatur dalam Pasal 232 sampai dengan Pasal 238 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur jenis kegiatan pengusahaan, pelayanan jasa kebandarudaraan21 yang dilaksanakan oleh badan usaha kebandarudaraan.
Menurut Pasal 232 UURI No.1/2009, kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas pelayanan jasa kebandarudaraan, dan pelayanan jasa terkait bandar udara. Yang pertama, pelayanan jasa kebandarudaraan, meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan (a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara, (b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos, (c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi libah buangan, dan (d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara 22, sedangkan yang terakhir, pelayanan jasa terkait dengan bandar udara untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara yang meliputi (a) penyediaan hanggar pesawat udara, (b) perbengkelan pesawat udara, (c) pergudangan, (d) katering, (e) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), (f) pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos23.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas
(a) penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran,
(b) penyimpanan kendaraan bermotor,
(c) pelayanan kesehatan,
(d) perbankkan dan/atau penukaran uang, dan
(e) tranportasi darat24,
sedangkan jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan
(a) tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan,
(b) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor,
(c) periklanan25.
Pelayanan jasa kebandarudaraan berupa
(a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara,
(b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos,
(c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan, dan
(d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara,
dapat diselenggarakan oleh
(a) badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan atau unit penyelenggara bandar udaras untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah26.
Izin Menteri Perhubungan yang tidak dapat dipindahtangankan27 terhadap bandar udara yang diselenggarakan oleh badan usaha untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial diberikan setelah memenuhi persyaratan administratif28, keuangan dan manajemen29, sedangkan pelayanan jasa yang terkait bandar udara yang meliputi penyediaan hanggar pesawat udara, perbengkelan pesawat udara, pergudangan, katering, pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos30.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran, penyimpanan kendaraan bermotor, pelayanan kesehatan, perbankkan dan/atau penukaran uang, dan tranportasi darat31, jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan, pengisian bahan bakar kendaraan bermotor, periklanan dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia32.
Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, badan usaha kebandarudaraan dan atau unit penyelenggara bandar udara wajib
(a) memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;
(b) menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara, personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara, fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;
(c) menjaga dan meningkatkan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, ketertiban bandar udara,
(d) memelihara kelestarian lingkungan;
(e) melakukan pengawasan dan pengendalian secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta kompetensi personel bandar udara;
(f) mempertahankan (sustainability) dan meningkatkan kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara; (g) memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan laporan secara berkala kepada Menteri Perhubungan, otoritas bandar udara33.
Setiap orang yang melanggar ketentuan pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, dan/atau pencabutan izin34 .
Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri Perhubungan dan dituangkan dalam perjanjian35, hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya mengenai pelayanan jasa kebandarudaraan, merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan36. Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1(satu) atasu lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial37
Masalah modal pengusahaan bandar udara diatur di dalam Pasal 237 UURI No.1/2009. Menurut Pasal tersebut, pengusahaan kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan dan pelayanan jasa terkait bandar udara yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia terbagi dalam beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing38, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan39
8. Pelayanan dan Fasilitas Khusus
Pelayanan dan fasilitas khusus diatur di dalam Pasal 239 UURI No.1/2009. Penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus40 dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara. Pelayanan dan fasilitas khusus untuk pelayanan penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak tersebut meliputi
(a) pemberian prioritas pelayanan di terminal,
(b) penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal,
(c) sarana bantu bagi orang sakit,
(d) penyediaan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery),
(e) penyediaan personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit dan orang lanjut usia serta
(f) penyediaan informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit dan lanjut usia.
Ketentuan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan41
9. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian
Tanggung jawab dan ganti kerugian diatur di dalam Pasal 240 sampai dengan Pasal 242 UURI No.1/2009. Menurut Pasal-pasal tersebut diatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan orang perseorangan warga negara Indonesia. Menurut Pasal 240 UURI No.1/2009, badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara42 dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.
Tanggung jawab tersebut terhadap kerugian (a) atas kematian, (b) musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara 43.
Resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian atas kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara wajib diasuransikan44.
Resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian atas kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara wajib diasuransikan44.
Setiap orang termasuk badan hukum yang tidak mengasuransikan resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian karena kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan sertitifikat dan/atau pencabutan sertifikat45.
Di samping itu, orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatan mereka46. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan47
10. Tarif Jasa Kebandarudaraan
Tarif jasa kebandaudaraan diatur di dalam Pasal 243 sampai dengan Pasal 246 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 243 setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan. Menteri Perhubungan menetapkan struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan terhadap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara48.
Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara, sedangkan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan (a) peraturan pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara, atau (b) peraturan daerah untuk bandar udara yang diselenggarakan oelh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah49 dan besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa50. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan51
11.Bandar Udara Khusus
Bandar udara khusus diatur di dalam Pasal 247 sampai dengan Pasal 252 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 247 UURI No.1/2009, dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri Perhubungan.
Izin pembangunan bandar udara khusus diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan,
(b) rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat,
(c) rancangan teknik terinci fasilitas pokok, dan
(d) kelestarian lingkungan52.
Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan53. Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri, digunakan untuk melayani kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan54.
Bandar udara khusus dapat berubah menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara55 dan ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan56
12.Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur di dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 255 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 253 UURI No.1/2009 tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas
(a) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport),
(b) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport), dan
(c) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).
Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan helikopter baik di darat (surface level heliport), di atas gedung (elevated heliport) maupun di perairan (helideck) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Perhubungan yang meliputi aspek penggunaan ruang udara, rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter dan standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan57. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan58
13.Bandar Udara Internasional
Bandar udara internasional diatur dalam Pasal 256 UURI No./2009. Menurut Pasal tersebut Menteri Perhubungan menetapkan beberapa bandar udara internasional dengan mempertimbangkan rencana induk nasional bandar udara, pertahanan dan keamanan negara, pertumbuhan dan perkembangan pariwisata, kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional serta pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri, di samping pertimbangan dari menteri terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
14.Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara
Penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara diatur dalam Pasal 257 sampai dengan Pasal 259 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 257 UURI No.1/2009 dalam keadaan tertentu59 bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara dan sebaliknya pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara. Penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara, keselamatan, keamanan dan kelancaran penerbangan, keamanan dan pertahanan negara serta peraturan perundang-undangan.
Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama berlaku ketentuan penerbangan sipil, sedangkan pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait60, sedangkan bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden61.
Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama berlaku ketentuan penerbangan sipil, sedangkan pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait60, sedangkan bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden61.